7.

8.1K 925 124
                                    

Hari ini merupakan hari dimana Yoongi akan keluar dari rumah sakit. Tentu saja anak itu senang, terlihat dari senyum yang tidak pernah absen dari wajahnya, menambah kesan imut bagi siapa pun yang melihat.

Kakinya yang menggantung antara lantai dan ranjang ia ayunkan pelan. Fokusnya masih pada Jo Hanbin, lelaki yang sibuk dengan sebuah tas jinjing berisi baju milik Yoongi.

Perlu waktu cukup lama bagi Hanbin untuk selesai berkutat dengan tumpukan baju. Setelahnya, lelaki itu dapat menghela napas lega saat semua baju telah selesai ia kemas ke dalam tas jinjing. Pandangannya beralih pada Yoongi yang duduk di atas ranjang.

"Kita pulang sekarang?" tanya Hanbin. Yoongi mengangguk. Segera melompat dari ranjang rumah sakit lalu meringis nyeri mengingat luka jahit yang belum sepenuhnya kering.

"Ok, ok. Tidak sakit, kok!" anak itu berucap cepat, menyela Hanbin yang hendak membuka mulut. Berakhir dengan si lelaki yang hanya bisa menggeleng pasrah.

"Ayo," ujar Hanbin. Gelengan cepat ia dapat untuk ajakannya.

"Tunggu sebentar, Hyung. Yoongi keluar sebentar, ya? Tunggu di sini saja. Hanya sebentar." Senyuman dan kerlingan nakal ia berikan pada Hanbin yang hanya bisa terdiam.

"Astaga."

.

.

.

Kamar rawat Seokjin merupakan satu-satunya tujuan yang Yoongi punya. Tujuan yang bahkan sudah dipikirkannya sejak hari pertama ia berada di tempat ini. Sialnya saja, meskipun niatnya untuk menemui sang kakak telah bulat, masih ada gugup dan takut ketika ia hendak membuka pintu. 

Tangannya ia remas kuat. Ayolah. Kenapa jadi memalukan seperti ini? Bukankah ia harus masuk? Bukankah niat awalnya memang untuk menemui kakaknya?

Butuh waktu lama baginya untuk meletakkan tangan pada kenop pintu. Hingga akhirnya, setelah satu helaan napas panjang Yoongi buang, pintu itu dapat terbuka oleh dirinya.

"Seokjin Hyung."

Ketika pintu terbuka, dan setelah ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, saat itulah Yoongi bisa bernapas dengan lega. Dalam ruangan ini hanya ada kakaknya, tidak terlihat presensi sang ayah dalam radar pengelihatannya.

"Yoon, kemarilah," Seokjin berujar dan Yoongi menurutinya begitu saja. Anak itu berjalan mendekat, berdiri di samping ranjang sang kakak.

"Kenapa baru datang hari ini?" Pertanyaan Seokjin ia balas dengan senyum sekenanya. Tidak ada satu pun kata yang ia ucapkan untuk membalas pertanyaan sang kakak.

"Apa masih sakit, Hyung?" tanya Yoongi. Mata sayunya mengedar menatap satu-persatu luka Seokjin yang ia harap segera menghilang. Begitupun miliknya. Luka-luka itu tidak cocok berada di tubuh kakaknya.

"Tidak," Seokjin berujar, "kau sendiri? Wajahmu pucat." tanyanya. Ia tatap Yoongi dengan dahi mengernyit dan benar saja. Adiknya terlihat pucat.

Mendapat pertanyaan dan tatapan penuh selidik seperti itu, Yoongi justru tertawa kecil. "Yang sakit itu Hyung. Buktinya Seokjin Hyung harus tidur di kasur jelek ini," balasnya. 

Dasar! Bahkan dirinya baru saja bisa bebas dari "kasur jelek" beberapa detik lalu.

Tawa kecil Yoongi membuat Seokjin tersenyum kecil. Entah kapan terkahir kali ia melihat tawa itu. Seokjin rasa, ia tidak pernah melihatnya, sejak aturan tak kasat mata sang ayah ditetapkan.

"Aku akan segera pulang, dan setelahnya kita pergi berdua, bagaimana?" Seokjin berucap. Ia sadar bahwa selama ini tidak sedikit pun dari waktunya pernah ia luangkan untuk sang adik, bahkan hanya untuk bercengkerama atau pergi bersama.

Yoongi membulatkan matanya. Dalam pikirannya sama sekali tak terbayang yang kakak akan menawarinya hal seperti ini. Hal sederhana yang bahkan terasa asing dalam hidupnya yang penuh kekangan. 

Dengan semangat anak itu mengangguk, hingga membuat poni depannya bergerak lucu.

"Bagus! Setelah aku keluar dari sini--Yoon?!" Seokjin memekik panik. Matanya membulat dan dengan cepat meraih kotak tisu di atas nakas. 

Yoongi yang mendengar teriakan sang kakak segera menyentuh permukaan bawah hidungnya. Saat itulah jemarinya menyentuh cairan pekat yang sebenarnya tidak lagi asing baginya.

Uluran tisu dari Seokjin ia terima untuk menyeka darah yang keluar perlahan. 

"Aku ke kamar mandi sebentar, Hyung," ucapnya lalu memasuki kamar mandi yang ada di dalam ruangan.

Dengan perlahan, Seokjin menapakkan kedua kaki tak beralasnya di lantai dingin lalu mulai melangkah dengan tangan kiri yang menyeret tiang infus.

Memang bukan pertama kali hal ini terjadi. Ketika kelelahan, mimisan cukup sering terjadi pada adiknya, dan ini bukan pertama kalinya Seokjin khawatir. Selalu. Resah selalu ia rasakan ketika melihat cairan pekat mengalir melewati filtrum.

"Yoon, biar Hyung bantu."

"Yoon?" 

"Yoon--"

"Seokjin, kenapa kau turun?"

Suara yang Seokjin kenal betul terdengar. Suara sang ayah yang membuat tengkuknya meremang.

"Abeoji?"

"Seokjin, kembali ke kasurmu." Ko Dowoon di sana dengan tas kerja yang ia jinjing. Lelaki itu mengernyit dalam ketika mendengar suara aliran air dari toilet.

"Siapa yang ada di dalam?" tanyanya. Seokjin menggeleng kecil.

"Tidak ada siapa-siapa, Abeo--"

'Ceklek'

Demi Tuhan. Seokjin ingin sekali merutuki Yoongi yang harus keluar sekarang. Tidak bisakah adiknya tetap berada di dalam lebih lama? Setidaknya hingga ia berhasil membujuk ayahnya keluar dari ruangan?

"Abeoji--

"Keluar!"

Ucapan Seokjin dipotong oleh Dowoon. Sang ayah berteriak marah dengan muka memerah memerintah Yoongi agar keluar dari ruangan. 

"Keluar, Ko Yoongi!" Teriakan berupa perintah ia lontarkan bersama dengan dorongan keras pada bahu si bungsu.

Ko Yoongi. Anak itu meringis sakit kala merasakan nyeri pada punggung yang beradu dengan dinding ruangan. Ia menunduk takut. Entah hilang ke mana semua niat dan keberanian yang telah ia kumpulkan sebelum pergi kemari.

"Keluar." Lagi, suara berat nan dingin sang ayah mengalun. Suara yang entah mengapa selalu memberinya sensasi sengatan yang semu.

Dalam takutnya Yoongi mengangguk. Masih dengan tundukkan kepalanya ia berujar "maaf" dan segera keluar dari kamar rawat kakaknya, sebelum sang ayah mengulang perintah dengan suara dinginnya.

Suara yang selalu menjadi ketakutan terbesarnya.






Tbc

SORRY |  Brothership ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang