1.

14K 1K 76
                                        

Yoongi membuka pintu besar rumah di waktu matahari telah tenggelam sepenuhnya. Wajahnya lusuh, bak kertas yang dilipat hingga beribu kali. Seharian berjibaku dengan materi dan teori, cukup membuatnya merasa rindu pada kamar, kasur, dan bantal.

Menapaki puluhan ubin hingga menaiki sekitar dua puluh anak tangga telah Yoongi lakukan. Perutnya keroncongan sekarang ini, tapi yang ada dipikirannya hanya kamar. Daripada makan, Yoongi ingin segera tidur guna mengistirahatkan tubuh dan pikirannya yang lelah.

Selesai membersihkan tubuh, Yoongi empaskan tubuhnya pada kasur. Ia menarik napas panjang sembari menatap langit-langit ruangan. Tatapan lelah ia biarkan berbaur dengan kekosongan yang mengisi jiwa. Anak itu menghela napas panjang sebelum mengubah posisinya menjadi menyamping.

Ia kedipkan matanya beberapa kali. Dahinya mengernyit ketika merasa ada sesuatu yang hampir ia lupakan. Mungkin saja sesuatu yang penting, hingga terus mengganjal dalam pikirannya.

Anak itu berbaring dengan dahi mengernyit, cirinya ketika berusaha mengingat sesuatu. Baru ketika ingatan tentang guru fisika yang mengumumkan akan diadakannya penilaian harian esok hari membuatnya tersadar dan segera beranjak dari kasur menuju meja belajar.

Ada penilaian harian esok dan Yoongi harus mendapatkan nilai bagus. Bukan hanya sekadar nilai bagus, tetapi nilai bagus dalam kacamata sang ayah.

.

.

.

"Ko Yoongi. Kudengar hari ini ada penilaian harian, itu benar?"

Suara sang ayah mengalun tegas di ruang makan. Yoongi menghentikan makannya sejenak. Menaruh sendok di piringnya lalu menunduk.

"Iya ...," ia menjawab singkat. Tapi jika diperhatikan lamat lagi, ada rasa takut yang terselip di dalamnya. Sayang mereka tak menyadarinya, baik Dowoon maupun Seokjin.

"Aku hanya menerima nilai bagus yang sampai di tanganku. Masih ingat, bukan?" Suara tegas sang ayah kembali mengalun, membuat Yoongi merasa segan untuk menjawab. Kepalanya tertunduk semakin dalam. Biarkan ia menjawab pertanyaan sang ayah dalam diam.

Diamnya sang putra dianggap sebagai kata 'iya' bagi Dowoon. Lelaki itu beralih pada si sulung.

"Kau berangkat ke kantor pukul berapa, Jin-ah?" ia bertanya. Membuat Seokjin yang berkutat dengan ponsel mengalihkan perhatiannya. Si sulung itu melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiri.

"Setelah ini Seokjin akan berangkat, Abeoji," jawabnya. Dowoon mengangguk. Dirasa cukup, ia letakkan sendok dan garpu di atas piring. Lelaki itu menyeka bibirnya menggunakan sapu tangan dan berdeham sejenak.

"Abeoji berangat dulu," ia berujar. Tak lupa mendaratkan satu tepukan di bahu lebar Seokjin.

"Ya. Hati-hati, Abeoji ...," balas Seokjin. Senyuman kembali terbit di wajah Dowoon. Lelaki itu memakai jas kerjanya dan mulai melangkahkan kaki keluar dari rumah.

Tersisa Yoongi dan Seokjin di ruang makan, dan tidak ada satu pun dari keduanya yang melontarkan sepatah kata pun, hingga Yoongi mengangkat kepala. Bodohnya ia hampir melupakan waktu yang terus berjalan. Segera saja dirinya berdiri, lalu membungkuk pada kakaknya dengan ucapan canggung yang mengalun.

"Yoongi berangkat dulu, Hyung."

Anak itu meringis ketika tidak mendapat balasan. Seokjin lebih sibuk dengan ponselnya, hingga enggan menoleh hanya untuk sebuah jawaban singkat.

Bohong jika Yoongi baik-baik saja. Berada di tengah ketegangan, di mana tidak ada hubungan keluarga yang berjalan tanpa aturan itu benar-benar canggung. Tekanan ini terlalu berat baginya.

Tapi Yoongi tahu, tidak ada yang bisa ia lakukan, terlebih dengan dirinya yang sekarang. Tidak ada sedikitpun dari suaranya yang akan didengar, terlebih oleh sang ayah.




Tbc

SORRY |  Brothership ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang