18.

6.6K 720 80
                                    

"Ya?!"

" ... "

"Baik, saya ke sana."

Seokjin meremat tangannya panik. Beberapa saat setelah telepon itu berakhir, ia segera meninggalkan setumpuk pekerjaan di atas meja kerja dan keluar dari ruangan dengan langkah tergesa.

'Abeoji, Yoongi kambuh. Aku pergi ke sekolahnya untuk menjemput,' bunyi pesan yang ia kirim kepada sang ayah.

.

.

.

Seokjin membuka pintu ruang kesehatan. Tibanya ia disambut oleh lelaki yang ia tahu merupakan salah satu petugas kesehatan di sekolah ini.

"Selamat siang, saya Kakak Ko Yoongi," tuturnya sopan. Lelaki di depannya mengangguk paham. Menyingkir sedikit hingga Seokjin bisa melihat adiknya yang tengah terlelap di ranjang ruang kesehatan.

"Kata teman sekelasnya, Yoongi merintih sakit setelah jam olahraga usai. Setelahnya, ia membawa Yoongi kemari. Saya sarankan untuk izin di sisa jam pelajaran hari ini untuk pulang dan diperiksa, karena kami sendiri tidak bisa membantu banyak. Saya akan ambilkan tas milik Yoongi sekaligus meminta izin pada guru piket," kata lelaki itu. Seokjin mengangguk paham.

"Terima kasih," ucap Seokjin. 

Seokjin menumpu tubuh di atas kursi di dekat ranjang ruang kesehatan. Sembari tangannya mengelus pelan surai sang adik, lelaki itu menghela napas panjang. 

Beberapa hari lalu, hasil cek kesehatan sang adik memang membuatnya kecewa. Ginjal tunggalnya diketahui mengalami penurunan fungsi. Itu yang membuatnya merasa waswas selama beberapa hari ini. 

"Hyung?"

Nampaknya, elusannya pada surai membuat Yoongi terbangun. Anak itu bangkit, mengubah posisinya menjadi duduk ketika menyadari keberadaan sang kakak di sampingnya.

Seokjin mendengus kecil. "Kau tidak bawa obat, nakal?" tanyanya. 

Yang lebih muda menunduk. "Tidak kubawa. Kupikir aku akan baik-baik saja hari ini. Tapi ternyata tidak," sesalnya.

Yoongi kira, semua akan baik-baik saja tanpa ia membawa botol obatnya hari ini. Mengingat pagi tadi, tubuhnya terasa benar-benar segar dan sehat. Ia sama sekali tidak merasa ada yang salah pada tubuhnya pagi tadi. Lagipula, hal seperti ini juga bukan keinginannya. Ia tidak pernah menginginkan sakit seperti ini pada tubuhnya.

Pintu ruang kesehatan dibuka oleh petugas yang sama yang menyambut tibanya Seokjin. Lelaki itu datang dengan tas hitam dalam jinjingannya.

"Ini tas Yoongi. Saya sudah meminta izin pada wali kelas serta guru piket, dan Yoongi, tunggu hingga kau merasa benar-benar baik untuk kembali ke sekolah, arrachi?" tutur lelaki itu dengan petuah di akhir kalimat. 

Yoongi mengangguk. "IyaTerima kasih, Ssaem," balasnya patuh.

"Jadi, kita pulang?" tanya Seokjin, setelah si petugas pergi dari ruang kesehatan.

"Eum ...."

.

.

.

Drrtt ... drrtt.

Dalam perjalanan pulang, getar ponsel milik Seokjin memecah hening antara keduanya.

"Dari siapa, Gi?" tanya Seokjin tanpa mengalihkan fokusnya dari jalanan yang cukup padat.

"Dari Abeoji," Yoongi menjawab, setelah membaca nama penelepon yang membuat ponsel milik kakaknya bergetar.

"Angkat," ujar Seokjin. Kedua mata Yoongi membesar. 

Ia? Dirinya? Angkat?

"Angkat, Hyung?  Yoongi?" tanyanya ragu.

Seokjin mengangguk ringan. "Tentu saja kau, adikku yang nakal. Hyungmu yang tampan ini tidak bisa membalas telepon sambil menyetir," balasnya gemas.

Benar juga. Tidak boleh bertelepon ketika sedang berkendara, itu adalah salah satu prosedur keselamatan berkendara yang Yoongi tahu.

"Yoongi angkat, Hyung?" anak itu kembali bertanya. 

Seokjin mendengus gemas. "Iyaa, angkat saja. Hyung sudah memintamu mengangkatnya sedari tadi."

Yah, mau tidak mau, harus dirinya yang mengangkat telepon dari sang ayah.

Yoongi tidak takut, kok. Ia hanya sedikit ... gugup.

"Halo—"

"Jin, Yoongi baik-baik saja?"

Belum selesai Yoongi berucap, ayahnya terlebih dahulu memotong dengan pertanyaan singkat yang entah kenapa membuat hati Yoongi menghangat.

"Jin, ada apa?" Suara sang ayah membuyarkan lamunannya. 

"Ya, Abeoji?" Yoongi berucap.

"Oh, Yoongi?"

"Iya." Anak itu menjawab, kaku. Sampai-sampai membuat Seokjin yang ada di sampingnya tertawa geli.

"Kau baik-baik saja?" suara sang ayah melembut, sarat akan rasa khawatir, yang tiba-tiba saja membuat Yoongi merasa bersalah.

"Iya. Maaf membuat Abeoji khawatir," lirihnya.

"Ya sudah. Yoongi bersama Seokjin Hyung, 'kan?"

"Iya, kami berdua dalam perjalanan--

"Anak nakal ini bersamaku. Tidak perlu khawatir! Sudah dulu, ya, Abeoji? Seokjin tutup teleponnya. Annyeong!"

Kali ini Seokjin yang menyahut disusul dengan memencet ikon telepon merah di layar ponsel. Diam-diam, ia menyimak percakapan adiknya dengan sang ayah. Terkikik geli saat mendengar bagaimana kakunya sang adik saat berucap.

"Sampai di rumah nanti, minum obatmu," Seokjin berujar. Yoongi hanya bergumam pelan. 

"Iya," jawabnya lirih.





Tbc

SORRY |  Brothership ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang