Seokjin melangkah dibalut emosi yang memuncak. Ada lembaran kertas di tangannya yang sudah lusuh di sekitar genggaman tangannya, bukti seberapa kuat emosi yang lelaki itu pendam."Jin, ada apa?"
Srak!
Lembaran kertas yang berupa salinan rekam medis ia hempaskan ke atas meja.
"Ada apa, Seokjin?"
Dowoon diam. Masih belum mengerti apa yang dimaksud oleh si sulung, hingga ia memungut satu-persatu lembaran kertas dan membacanya.
"Tidakkah ini keterlaluan, Abeoji?" Seokjin melirih. Suaranya serak, matanya memerah. Satu tetesan air mata adalah pertanda hancurnya bendungan emosi yang sedari tadi ia pendam.
"Kenapa harus seperti ini? Kenapa Abeoji tega melakukannya?"
Dihadapkan pada fakta, Seokjin tidak lagi bisa menahan emosinya. Bendungan emosinya telah hancur sempurnya. Lelaki itu menangis dengan wajah memerah. Bukan karena sedih, tetapi karena kecewa, dan hal yang membuatnya kecewa adalah, bagaimana sang ayah sampai hati melakukan hal keji pada adiknya.
"Jin ...."
"Yoongi sakit, Abeoji .... Adikku sakit! Setelah ini ... bagaimana aku pantas disebut kakak?" Seokjin melirih di hadapan Dowoon yang terdiam. Ia menjatuhkan dirinya, terduduk dengan lutut yang menjadi tumpuan. Barangkali, Seokjin tidak bisa lagi menahan rasa kecewanya. Rasa kecewa yang entah ditujukan pada sang ayah, atau pada dirinya sendiri.
Ko Dowoon terdiam memandangi sulungnya yang terisak. Lelaki itu merasa lidahnya kelu, membuatnya tidak bisa membalas lirihan sulungnya, bahkan meski hanya sepatah kata.
.
.
.
"Sudah?"
Seokjin bertanya setelah menyuapkan suapan terakhir. Untung saja Yoongi tak menolak makan tadi. Karena buktinya, adiknya itu makan cukup lahap, yah ... walau sesekali menolak karena rasanya makanannya yang hambar.
"Kapan Yoongi bisa pulang, Seokjin Hyung?" Yoongi bertanya, setelah suapan terakhir ia telan.
Di hadapannya, Seokjin hanya bisa tertawa kecil.
"Kau bosan?" tanyanya.
Yoongi mengangguk.
Yah, dilihat dari sudut mana pun, semua orang dapat melihat bagaimana raut jemu anak itu. Wajar, karena tidak ada hal menarik yang bisa ia lakukan di tempat ini. Semua orang pun akan merasa bosan ketika tidak bisa menemukan hal yang bisa dilakukan.
"Ingat perkataan dokter tadi? Kau bisa pulang ketika cairan infusnya habis," Seokjin berujar.
Yah .... Itu artinya, Yoongi masih harus menunggu cukup lama.
"Apa tidak bisa sekarang?"
"Tidak."
"Yoongi ingin pulang, Seokjin Hyung ...."
"Tunggu sebentar, Yoon," balas Seokjin yang membuahkan cemberut di wajah sang adik.
"Tapi kenapa harus menunggu sampai infusnya habis?"
"Yoon ...."
Lirikan malas Seokjin sukses membungkam yang lebih muda dengan berbagai pertanyaannya.
Bocah itu mendengus. "Mhmm, oke ...," jawabnya setengah hati.
.
.
.
Setelah menunggu cukup lama--ingga cairan infus habis, tentu saja--akhirnya, datang seorang perawat untuk mencabut jarum infus dan membantu mengurus kepulangan Yoongi. Hal yang sedari tadi telah Yoongi tunggu-tunggu; pulang.
Yang lebih tua mendorong pintu dengan helaan napas panjang. Sedikit merasa berat hati untuk pulang dan bertemu dengan sang ayah, semenjak percakapan Seokjin dengan ayahnya beberapa waktu lalu.
"Ayo, Yoon," Seokjin berujar dan tan tak butuh waktu lama, wajah lucu sang adik menyembul dari balik pintu besar. Anak itu mengedarkan pandangan ke sudut-sudut ruangan, lalu menghela napas lega saat tak melihat ayahnya di sana.
"Abeoji tidak di rumah, Hyung?" tanyanya sembari menatap sekeliling, dan yang ia dapatkan hanyalah jawaban singkat tak acuh.
"Tidak tahu."
Dahi Yoongi mengernyit. Ada apa? Kenapa kakaknya terlihat cuek sekali? Apa kakaknya marah karena ia memaksa pulang tadi?
Oh tidak! Ini buruk! Amat sangat buruk! Yoongi tidak ingin membuat jarak antara dirinya dan sang kakak. Cukup dulu, sekarang jangan lagi.
"Seokjin Hyung, kau marah?" Anak itu menghentikan langkahnya, berucap lirih sembari menunduk dengan wajah sayu, yang otomatis membuat perhatian Seokjin terpusat padanya.
Huh? Marah? beo Seokjin.
Ia marah? Pada Yoongi? Untuk apa?
"Ada apa?" tanyanya bingung. Beberapa saat kemudian, Yoongi mengangkat wajahnya. Menampilkan rupa yang memerah dengan mata berkaca-kaca hendak menangis.
"J-jangan marah, Yoongi minta maaf karena memaksa Hyungie untuk pulang tadi. Tapi jangan marah ... Yoongi tidak mau jadi jauh-jauh seperti dulu lagi."
Oh, apa?
Seokjin menatap lekat sang adik yang kini bersimbah air mata.
"Hyungie marah! Huu~ Jangan tatap-tatap seperti itu!"
Seokjin hanya bisa tertawa. Ia dekati sang adik untuk memberinya tepukan di atas kepala.
"Tidak ada yang marah, kok," ujarnya.
"Hiks, tidak ada?"
Seokjin menggeleng menjawab pertanyaan polos itu. Ia menumpukan dagunya di pucuk kepala sang adik.
"Tidak ada. Sekarang, ayo ke kamar, Hyung temani tidur, bagaimana?"
Dan kali ini Yoongi sukses mengangguk semangat. Ia menghapus air mata dengan cepat walau tak bisa menyembunyikan rona memerah di wajahnya.
"Ayoo!"
Sahutan semangat yang membuat Seokjin tidak bisa menyembunyikan senyum gemasnya.
Tbc
![](https://img.wattpad.com/cover/204700739-288-k814937.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SORRY | Brothership ✔
FanfictionDisclaimer: fanfiction | Brothership - Completed Ko Yoongi .... Semua ia lakukan hanya untuk mendapat setitik kasih sayang dari sang Ayah. [03-10-19]-[30-12-19]