21.

7.9K 773 162
                                    

"Ayo turun."

Yoongi mengangguk kecil. Langkah yang membawanya masuk ke dalam restoran nampak ragu-ragu. Jujur saja, ia sedikit gugup dan bingung tentang apa yang harus ia lakukan di tempat ini.

"Selamat malam, Tuan Kang. Saya pikir Anda datang terlalu awal," Dowoon berucap disertai tawa basa-basi singkat.

Seorang lelaki paruh baya di hadapan mereka--Tuan Kang--tersenyum kecil. "Anda benar. Jadi, bisa kita mulai perbincangannya?"

"Tentu."

.

.

.

Di sepanjang acara, Yoongi hanya diam. Selain karena tak tahu menahu tentang apa yang dibicarakan oleh sang ayah dan kliennya, anak itu juga sedang menahan sakit yang tiba-tiba menghujam punggungnya dan sialnya saja, semua sakunya kosong ketika ia merogohnya. Yang artinya, obatnya pasti tertinggal di dalam mobil.

Ditepuknya pelan sang kakak yang duduk di sampingnya. "Hyung, kapan kita bisa pulang?" bisiknya lirih.

Seokjin menatap yang lebih muda. Baru saja lelaki itu akan menyahut, suara berat milik Ko Dowoon terlebih dahulu mengalun.

"Ada apa?" Sang ayah menoleh pada Yoongi dengan tatapan tanya yang membuat lidah anak itu terasa kelu.

"Tidak ada apa-apa, Abeoji," Yoongi menunduk. Anak itu tahu diri untuk tidak mengacaukan acara penting di malam hari ini.

"Kita pulang setelah acaranya selesai, ya? Hanya sebentar lagi, kok," Seokjin berucap pelan seraya mengacak singkat rambut sang adik. 

Yoongi mengangguk. Walau nyatanya, anggukan itu datang bersamaan dengan rasa sakit yang tiba-tiba. Terasa seperti tusukan yang datang bertubi, membuatnya meringis dalam diam.

Rasanya sakit, hingga ia ingin mengerang. Rasanya sakit hingga Yoongi ingin menangis.

Sekali lagi anak itu menarik napas panjang, yang justru berbuah pada rasa sesak luar biasa pada dadanya.

Sakit ini, Yoongi ingin semua rasa sakit ini pergi darinya.

.

.

.

Hampir pukul sembilan ketika Tuan Kang pamit undur diri dan hingga selama itu, Yoongi berdiam di tengah serbuan rasa sakitnya. Sakit yang membuatnya lemas, hingga Yoongi rasa ia tidak lagi dapat berdiri.

"Tuan Ko, saya pamit undur diri. Soal kerja sama dan investasi, akan saya hubungi Anda sesegera mungkin."

Dowoon mengangguk."Terima kasih atas waktunya, Tuan Kang. Saya harap negosiasi ini berujung dengan hasil yang bulat," ujarnya. Tuan Kang mengangguk singkat. Membungkuk sopan lalu berlalu dari sana.

Setelah si klien tidak lagi terlihat punggungnya, saat itulah Ko Dowoon bisa menghela napas panjang. Merasa lega, karena semua pekerjaan melelahkannya di hari ini selesai dengan berakhirnya makan malam ini.

"Sudah selesai, 'kan, Abeoji? Kita bisa pulang sekarang?" tanya Seokjin. Dowoon mengangguk. 

"Ya. Kalian berdua pergilah ke mobil. Abeoji ke toilet dulu," balas lelaki itu yang ditimpali si sulung dengan anggukan patuh.

"Ayo, Yoon. Kita bisa pulang sekarang." Seokjin berucap pada sang adik yang belum beranjak dari tempat duduknya. Anak itu menunduk, dan satu hal yang Seokjin tidak tahu, Yoongi sedang menahan sakit dan tangis hingga matanya memerah.

"Yoon?"

Seokjin kembali memanggil, tapi tak ada respon yang didapat. Lantas ia menangkup kedua pipi Yoongi. Mematung sejenak kala merasakan pipi dingin itu penuh dengan keringat.

Seokjin mencelos. Ia menatap khawatir raut pucat pasi sang adik dengan ruam samar berwarna merah padam yang tercipta di sana. Panik dan takut bercampur menjadi satu. Lelaki itu menelan ludah. Ada apa dengan adiknya?

"Yoongi? Hei, ada apa?" 

Mata Seokjin mulai memerah ketika sang adik membuka matanya perlahan. Menatapnya dengan sorot sayu yang memerah, membuat ia merasa sesak. Tatapan itu seolah membaginya rasa sakit yang Seokjin tidak pernah bisa bayangkan. Tatapan yang membuatnya merasa sesak dan sakit pada dadanya.

"Hyung, sakit ...."

Lelaki itu tertegun. "T-tunggu sebentar," katanya, sembari ia merogoh satu-persatu saku sang adik, mencari benda yang ia harap bisa membuat adiknya merasa lebih baik. Namun, nihil. Sebotol obat yang menjadi harapannya tidak dapat ia temukan di mana pun. 

"O-obatmu ada di mana? Tertinggal di mobil? A-ayo ... ayo kita keluar." 

Karena kalutnya, Seokjin bahkan tidak bisa bicara dengan benar. Tangannya bergetar, di tengah linglung dan takutnya harus berbuat apa.

"Obatmu ada di mobil, bukan? Kalau begitu, tunggu sebentar," lelaki itu berucap. Tujuannya hanya pergi ke mobil untuk mengambil sebotol obat sang adik yang tertinggal, lalu kembali secepat mungkin. Berharap dengan meminum obatnya, adiknya bisa merasa lebih baik.

Namun, rupanya ia terlambat. Sebab, baru beberapa langkah ia menjauh, suara debum yang cukup kuat disertai teriakan para pengunjung lain terdengar olehnya. 

Sesaat setelah Seokjin berbalik, lelaki itu dapat melihat dari celah di antara beberapa pengunjung yang berkerumun pada satu tempat, sang adik yang terbaring tak sadarkan diri.

"Ambulans!"

"Telepon ambulans!"

Lelaki itu terdiam, kakinya terasa menolak untuk mendekat, hingga sang ayah juga para petugas kesehatan tiba, meminta kepada para pengunjung agar tidak lagi berkerumun.

Saat itulah napasnya tertahan. Anak yang terbaring di atas tandu, itu benar-benar adalah adiknya.

"Y-yoon?"





Tbc

SORRY |  Brothership ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang