3.

9.4K 1K 94
                                        

"Selamat, Jin-ah!"

Seokjin berbalik dengan raut bingung yang terpancar. Tapi setelah dirinya melihat kedua mata sang ayah yang menyipit karena senyum, nampaknya Seokjin mengerti apa yang terjadi hingga sang ayah mengucap kata selamat untuknya.

Bahu lebar Seokjin ditepuk sebanyak dua kali. Sang ayah menyungging senyum. Senyum yang terpancar rasa senang dan bangga.

"Kudengar rapat direksi siang ini berjalan dengan baik." Dowoon berujar dengan menaikan satu alisnya untuk menggoda si sulung.

Seokjin menggaruk tengkuk. Lelaki itu mengangguk membenarkan. "Berjalan dengan baik, Abeoji," tuturnya. Sang ayah bergumam. Ia tepuk bahu sang putra dan melenggang ke lantai atas.

Ada rasa senang dan bangga di hati Dowoon, melihat sang anak dapat menggantikannya menggapai impian. Hal itu benar-benar sesuatu yang bisa membuat hatinya menghangat.

.

.

.

Seokjin melangkahkan kaki hendak pergi menuju kamarnya, yang sayangnya harus ia batalkan karena melihat pintu kamar sang adik yang sedikit terbuka.

Ia berjalan mendekat. Membuka pintu kamar Yoongi dengan perlahan, berusaha untuk membuat celah semakin lebar tanpa menimbulkan suara.

Satu helaan napas pelan keluar dari bilah bibir Seokjin kala melihat sang adik yang masih sibuk berkutat dengan buku, walau waktu hampir tengah malam. Ia kembali menghela napas panjang. Tidak seharusnya Yoongi masih terjaga saat ini.

Niatnya ingin membuka pintu ini lebar-lebar, dan berkata pada sang adik agar segera tidur dan meninggalkan buku-bukunya di atas meja. Namun, lelaki itu memilih untuk mengabaikan iba yang ada di dalam hatinya dan pergi tanpa bersuara sedikit pun.

.

.

.

Satu yang tidak diketahui Seokjin dan Dowoon, Yoongi menangis dalam diamnya. Hatinya berdenyut ngilu, demi apapun rasanya sangat sakit.

Yoongi mendengar semua. Ia mendengar semua yang dibicarakan sang ayah dan kakaknya. Tentag bagaimana ucapan selamat itu terlontar dengan bangga dan senang yang membuatnya serasa ingin menangis. 

Di saat seperti ini, Yoongi merasa marah pada dirinya.

Ia menyadari dirinya berbeda dari sang kakak. Jika Seokjin bisa membuat secarik senyum terukir di wajah Dowoon, maka hal itu bukan sesuatu yang bisa Yoongi buat dengan mudah. Perlu diingat, Yoongi bukan Seokjin yang penuh dengan segudang kebolehan.

Yoongi tahu, dan hal itu membuatnya paham akan batasan.

.

.

.

Pukul enam pagi Yoongi bangun, dan pertama kali yang ia lakukan adalah mendesis sakit. Tangannya terulur memijit kepalanya yang entah kenapa terasa pening sekali.

"Jam berapa?" anak itu bergumam sebari melirik jam meja di atas nakas.

Setelahnya, Yoongi bangkit untuk pergi ke kamar mandi. Satu yang menjadi tujuannya hanyalah sekolah tempatnya menuntut ilmu.

.

.

.

Jam istirahat telah tiba, tapi Yoongi hanya duduk diam di tempatnya. Bukannya tak memiliki teman, tapi masalahnya ada pada Yoongi sendiri. Anak itu tidak pandai berteman. Ia juga tidak tertarik untuk berteman.

Menelungkupkan kepala dalam lipatan lengan, hal itulah yang Yoongi lakukan sekarang. Pening di kepalanya semakin lama semakin menjadi. Bahkan, saat pelajaran tadi, Yoongi harus jujur jika ia tak memperhatikan dengan benar.

Tapi katakan, bagaimana ia bisa fokus jika pening terus mengganggunya?

"Yoongi? Kau baik?"

Sebuah suara menerobos pendengarannya. Ia tahu ini suara teman sekelasnya, Kim Namjoon. Si pintar nomor satu di kelas, dan tonggak yang ditetapkan oleh ayahnya untuk dilampaui.

"Hm ...," Yoongi bergumam tanpa berniat menampakkan wajahnya. 

Kim Namjoon, anak itu menggaruk tengkuk. Ia tidak banyak bicara dengan Yoongi, dan percakapan singkat ini membuatnya merasa canggung.

"Tidak ke kantin?" Namjoon kembali bertanya, niatnya untuk menghapus canggung.

Kali ini, anak itu duduk di bangku depan Yoongi dengan mata yang setia mengamati si teman sekelas.

Yoongi terdiam. Namjoon bertanya seperti itu, untuk apa ia harus peduli pada urusan orang lain?

"Yoongi?"

"Tidak lapar."

Namjoon mengangguk walau tatapan penasaran tercetak jelas. Sepasang iris cokelat miliknya menatap penuh selidik pada Yoongi yang tak bergerak barang satu inci. Namjoon butuh berpikir cukup lama, hingga ia memberanikan diri untuk menyentuh tengkuk Yoongi.

"Kau sakit?" kagetnya,"Mau kuantar ke ruang kesehatan, Yoon?" Namjoon bertanya. Tapi hanya gelengan kecil yang ia dapatkan.

"Tidak perlu. Pergilah--" Ucapannya terpotong oleh bel masuk yang berbunyi. Diam-diam Yoongi menghela napas lega. Setidaknya, bunyi bel bisa membungkam mulut Namjoon yang tidak berhenti melontarkan pertanyaan.

Perlahan ia angkat kepalanya, dan betapa terkejutnya Yoongi ketika mendapati Namjoon masih ada di sampingnya.

"Kau pucat," anak itu berucap. Yoongi menghela napas kasar.

"Pergi ke kursimu, Namjoon. Bel masuk sudah berbunyi," katanya. Alih-alih menuruti, Namjoon justru diam di tempatnya, anak itu sengaja menunggu Pak Choi masuk ke kelas.

"Kim Namjoon ...," Yoongi mendesis.

Sesaat setelah Pak Choi memasuki kelas, Namjoon, anak itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

"Maaf, Pak. Saya meminta izin untuk mengantar Yoongi ke ruang kesehatan!" ujarnya lantang sembari melirik Yoongi yang mendelik tidak setuju.





Tbc

SORRY |  Brothership ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang