"Yoon, ayo Hyung antar."
Yoongi menoleh, mendapati sang kakak yang telah rapi dengan setelan jasnya.
"Hyung tidak sarapan?" tanyanya. Seokjin menggeleng kecil.
"Hyung akan makan di kantor nanti. Selesaikan dulu makanmu," Seokjin berujar. Ia duduk di sofa ruang keluarga lalu mengeluarkan ponsel dari saku, untuk meneliti kembali beberapa dokumen menyangkut pengembangan produk yang akan segera diluncurkan oleh perusahaan ayahnya.
Hal ini juga yang membuat Dowoon sering menginap di kantor. Ia jarang pulang ke rumah beberapa hari ini. Ia beserta para pekerja yang lain harus merancang produk yang akan diluncurkan sedemikian rupa dan sebaik mungkin dalam waktu yang terbatas. Ada ribuan keputusan yang harus ia ambil demi membuat satu detail penting.
"Hyung, ayo."
Seokjin menoleh, mendapati Yoongi yang telah siap dengan tas ransel di punggungnya. Ia mendongakkan kepala, menatap sarapan sang adik yang tak sepenuhnya habis.
"Kenapa tidak dihabiskan?" tanya Seokjin.
"Kita tidak akan terlambat, ini masih pagi," lanjutnya sembari menunjukkan jam yang melingkar pada pergelangan tangannya.
Yoongi menggeleng. Ia menarik tangan Seokjin hingga mau tak mau, kakaknya itu harus mengikuti langkah kakinya.
"Hanya tidak lapar, Hyung."
"Vitamin, sudah diminum?" tanya Seokjin. Yoongi mengangguk. Anak itu melenggang masuk ke dalam mobil dan duduk di bangku belakang.
"Ayo, Hyung."
"Hm? Ya."
Di sepanjang perjalanan, tidak ada yang membuka suara. Hanya ada Seokjin yang fokus menyetir dan Yoongi yang sibuk mengamati sekitar.
"Anak bodoh."
Umpatan sang ayah beberapa hari lalu masih terngiang dalam kepalanya. Rasanya sakit tiap kali sang ayah mengumpat padanya. Umpatan berisi kata-kata kasar yang sebenarnya tak asing lagi bagi telinga Yoongi. Tapi entah kenapa, rasa sakitnya selalu sama, dan mungkin akan selalu terasa.
"Yoon, Hyung tidak bisa menjemputmu nanti. Akan kuminta Hanbin Hyung untuk menjemputmu nanti. Tidak apa?" Seokjin bertanya. Yoongi mengangguk saja. Lagipula bukan masalah baginya.
"Bagaimana bisa kau bawa pulang nilai sebegini rendah?!" seruan ayahnya, disusul dengan bantingan kertas yang bersuara nyaring. Semua itu masih teringat dengan sempurna dalam kepalanya.
"Yoon, tidak mau turun?"
Ucapan Seokjin membuyarkan lamunan Yoongi. Ia menatap sekeliling, dan benar saja. Mereka telah sampai di sekolah Yoongi.
"Jika ada apa-apa hubungi Hyung, oke?" tutur Seokjin, dibalas dengan senyum dan simbol 'ok' yang Yoongi buat dengan jemarinya.
Tingkah anak itu membuat Seokjin tertawa kecil, lain dengan maniknya yang menatap sendu.
Entah hanya perasaannya saja atau memang adiknya semakin kurus tiap hari?
.
.
.
21.00
"KO YOONGI!!"
Dalam kamar, Yoongi terlonjak kaget. Ia tutup buku tugas miliknya dan pergi ke lantai bawah dengan tergesa.
Abeoji ....
Yoongi terdiam. Lagi, dan lagi. Ini bukan pertama kali ia melihat sang ayah pulang dalam keadaan mabuk. Bahkan sebotol penuh alkohol masih digenggam dengan erat, abai akan kesadarannya yang sudah timbul-tenggelam.
"Di mana bocah itu? Akh, sialan! Ko Yoongi!"
Dowoon masuk dengan langkah terhuyung. Hampir saja botol di tangannya terlepas, jika ia tak menangkapnya dengan cepat. Menyadari bahwa botol berisi minuman keras itu adalah hartanya.
"Hei! Kau--hik, ada di sana sejak tadi? Kau tuli, ya? Kemari, sialan!!"
Terlonjak kaget, Yoongi menggigit bibir bawahnya kuat. Ia menuruni tangga takut-takut, sementara sang ayah telah menunggunya di lantai bawah.
"Cepat!"
"A-abeoji."
Gigitan pada bibir bawah Yoongi kian menguat. Bagi dirinya, sang ayah yang berada di ambang kesadaran terlihat puluhan kali lebih menakutkan dari biasanya.
"Hei, jangan menatapku seperti itu. Tatapanmu itu, membuatku ingin memukul wajahmu."
Kalimatnya diucap serupa bisikan. Semuanya terasa begitu cepat, sebab Yoongi telah berada dalam belenggu sang ayah, dengan batas dinding yang menempel dengan punggungnya.
"Abeoji ...."
"DIAM!"
Satu pukulan dihantam pada pipi. Pukulan yang membuat Yoongi mendesis, menyesap ngilu dan pening akibat kepala yang terantuk dinding.
"Terlalu berisik untuk ukuran bocah--hik, sepertimu."
Belenggu dilepas, dan tidak membuang kesempatan, Yoongi berlari dengan bekal sakit dan pening pada tubuhnya. Ini adalah satu-satunya kesempatan untuk kabur dari belenggu sang ayah. Persetan dengan akan semarah apa sang ayah pada dirinya, Yoongi hanya akan mengurung diri di dalam kamar hingga esok hari. Hal yang sama, seperti apa yang selalu ia lakukan ketika Ko Dowoon pulang sebagai seorang pemabuk.
"Ugh ...."
Sayangnya saja, punggungnya harus membentur lantai terlebih dahulu, sebelum kakinya menapak pada anak tangga ketiga.
"Tidak perlu berlari secepat itu."
"Lepaskan Yoongi, A-abeoji ...."
Lirihannya sama sekali tidak didengar. Ko Dowoon kembali dengan belenggu eratnya. Ia cengkeram dagu sang anak, membuka mulutnya, dan memaksa Yoongi meneguk sebotol cairan berbau menyengat yang ia bawa. Tiga, empat teguk, hingga isi botol itu habis berpindah tempat.
Suara pecahan kaca menggelegar, begitu Dowoon menjatuhkan botol kosong di tangannya. Lelaki itu mendesis lirih, menyumpahi pening yang terasa, hingga akhirnya terjatuh dan terlelap pada sofa.
"Uhuk! Aakh ...."
Yoongi menahan sakitnya hingga wajahnya berubah merah. Carian yang dipaksa masuk itu membuat kerongkongannya terasa panas. Belum lagi aroma menyengat membuat pening semakin menjadi.
Seluruh tubuhnya terasa sakit, namun Yoongi terlalu lemas untuk pergi ke kamar--tempat yang terpikir olehnya, yang mungkin merupakan satu-satunya tempat di mana ia bisa bersembunyi dari sang ayah. Hingga menahan semuanya adalah pilihannya. Menahan sakit pada kepala, sesak yang membelenggu dada, serta ngilu di beberapa bagian tubuh benar-benar membuat Yoongi lelah.
Sakit .... ini sakit, Eommonim ....
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
SORRY | Brothership ✔
FanfictionDisclaimer: fanfiction | Brothership - Completed Ko Yoongi .... Semua ia lakukan hanya untuk mendapat setitik kasih sayang dari sang Ayah. [03-10-19]-[30-12-19]