8.

8.4K 938 96
                                    

Hanbin menatap sendu Yoongi yang tertidur di sampingnya. Lelaki itu menghela napas panjang, ketika mengingat apa yang terjadi beberapa saat lalu.

Ya, ia ada di sana, tepat ketika Yoongi keluar dari ruangan dengan ringisan sakitnya.

Kadang, Hanbin berpikir tentang apa kesalahan bocah lugu ini hingga harus menerima segala bentuk kesakitan. 

Rasanya Hanbin ingin membawa Yoongi pergi kerumahnya di desa. Tinggal bersama keluarga kecilnya yang penuh dengan kehangatan, membebaskan anak itu dari jeratan aturan materialis. 

Tapi, tentu saja, semua hanya akan berhenti pada pemikiran. Ia tidak punya kekuatan untuk melawan kuasa Tuannya. Terlebih, ia masih membutuhkan pekerjaan ini, yang berarti semua pemikirannya hanya akan tertinggal dalam semu.

"Ughh ...."

Hanbin menoleh sekilas, menatap Yoongi yang menggeliat lucu hendak bangun dari tidurnya. Beberapa saat setelah lenguhan terdengar, anak itu mengusap kasar kedua matanya yang terasa berat.

"Belum sampai, ya, Hyung?"

Hanbin menggeleng singkat. Fokusnya sama sekali tak ia alihkan dari jalanan padat di depannya.

"Jalanan sedikit padat. Mungkin lima belas menit lagi kita sampai. Mau tidur lagi? Biar Hyung bangunkan saat sampai di rumah nanti," tawarnya. Tapi Yoongi menggeleng. Ia menegakkan duduknya, ikut mengamati jalanan yang banyak diisi oleh kendaraan beroda.

Jalanan yang ramai oleh kendaraan bukanlah hal yang ia pikirkan, melainkan perkataan kakaknya beberapa waktu lalu.

Apa kakaknya berucap dengan sungguh-sungguh, dan apakah Yoongi bisa menaruh kepercayaan pada perkataan sang kakak?

.

.

.

Seperti yang dikatakan Hanbin, lima belas menit kemudian mobil berhenti di pekarangan rumah keluarga Ko. Yoongi keluar dari mobil dan melangkah masuk, seketika itu, hal yang sama sekali tak pernah ia duga terjadi.

Im Ahjumma tiba-tiba memeluknya hangat. Membuat secarik senyum terlukis di wajah Yoongi.

Andai saja Yoongi bisa mendapatkan pelukan seperti ini dari kakak ataupun sang ayah. Pasti rasanya akan lebih hangat. Lebih menyenangkan daripada ini.

Tapi, hanya andai, bukan?

"Ahjumma," Yoongi merengek. Meminta agar pelukannya dilepaskan.

"Yoongi ke kamar dulu, Ahjumma," pamit Yoongi. Im Ahjumma mengangguk.

"Silakan istirahat, Tuan Muda ...."

.

.

.

Yoongi tidak tidur. Ia juga tidak beristirahat seperti apa yang menjadi alasannya pada Im Ahjumma. Alih-alih berbaring, anak itu justru memapak dirinya pada kursi, menuliskan beberapa kata pada lembar buku bersampul cokelat tua seperti kebiasaannya.

"Ukh."

Ia meringis, ketika merasa nyeri pada punggungnya. Anak itu merogoh tas jinjing, mencari obat pereda sakit dari dalam sana lalu menelan satu butir dengan bantuan air. Setelahnya, Yoongi menjatuhkan dirinya di kasur. Berusaha menarik napas panjang untuk meredakan sakit luar biasa yang ia rasakan.

Lama meredam sakit, kini kantuk mulai menyingsing. Membuat si empu memejamkan matanya pasrah, pergi ke alam mimpi dengan segala kesakitan yang ia rasa.

.

.

.

"Abeoji kenapa mendorong Yoongi?"

Dowoon melepas fokus dari ponsel. Ia tatap Seokjin penuh tanya. Tidak pernah terpikir olehnya sang putra akan menanyakan hal seperti ini padanya.

"Kenapa?"

Seokjin menunduk. "Dia adikku," ia melirih. 

"Yoongi sakit, Abeoji. Aku melihat darah keluar dari hidungnya tadi," Seokjin berucap. 

Helaan napas samar terdengar. "Apa maksudmu? Biasanya juga seperti itu, bukan? Adikmu itu lemah. Abeoji tidak menyukainya," Ko Dowoon berucap. Tak acuh, tidak sadar jikalau kalimatnya berhasil membuat si sulung meringis getir.

Memang benar jika kalimat itu bukan ditujukan untuk Seokjin. Namun, entah kenapa walau bukan dirinya, kata-kata sang ayah masih dapat membuatnya merasa sesak.

Tentu. Itu karena Yoongi adalah adiknya. Ada hubungan saudara antara keduanya yang tidak akan cukup jika dijelaskan dengan kata-kata.

"Abeoji, aku ingin segera pulang," Seokjin melirih. Ia ingin segera pulang, menemui sang adik dan membayar semua yang telah ia lakukan dulu.

"Hmm ... masih harus menunggu hingga lukamu sembuh benar," sang ayah menjawab.

Seokjin menghela napas. Ia bahkan masih harus menunggu untuk bisa mengucap maaf.

Seokjin tidak bisa lagi untuk tidak peduli, setelah ia melihat seberapa besar tekanan yang ditimpakan pada pundak Yoongi, dan seberapa keras sang ayah pada adiknya.

Kesempurnaan yang dituntut oleh sang ayah. Seokjin bisa melihat bagaimana ketamakan menghancurkan kesempurnaan itu dengan perlahan.

Tidak apa jika itu dirinya, karena mungkin tidak akan terasa berat untuknya. Tetapi jika itu adiknya--Seokjin rasa, tolerir untuk peraturan tak kasat mata tidak lagi bisa dipegang.





Tbc

SORRY |  Brothership ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang