Never Tell Him, Please

1.7K 75 4
                                    

Begitu cepat masa berlalu. Sudah empat bulan usia kandunganku. Perutku memang sudah kelihatan membuncit, tidak mungkin lagi aku menutupinya. Pertemuanku dengan Janet memang kuhindari beberapa bulan ini.

Tetapi pada petang yang malang itu, aku terlalu ingin untuk merasa ABC. Aku sengaja mencari gerai yang tidak mungkin dikunjungi oleh teman-temanku atau teman-teman Daniel. Namun nasib tidak menyebelahiku. Di situ aku bertemu Janet dan suaminya yang merupakan teman rapat Daniel.

"Tatiana!" Janet melopong melihat perut buncitku. Begitu juga dengan suaminya.

"Kamu mengandung? Siapa ayahnya? Daniel?" Janet bertanya bertubi-tubi. Aku memeluknya dan kutepuk-tepuk belakangnya.

"Jangan panik begitu, Jane," kataku memujuknya.

"Ceritakan, Tatiana!" desak Janet. Suaminya, Russel turut memandangku.

"Ceritakan siapa yang membuatmu mengandung," katanya.

Aku menariknya agar duduk di sebelahku. Jujur, aku kecut melihat wajah marahnya.

" Aku memang mengandung, Jane. Sudah empat bulan," kataku jujur. Janet menggelengkan kepalanya.

" Empat bulan.. dan kamu menghindar dari kami semua, " katanya kesal.

"Tolong jangan katakan pada Daniel yang aku mengandung," pintaku. Aku memandang Janet dan suaminya bersilih ganti, berharap mereka mahu memenuhi permintaanku. Aku menunggu hampir lima minit sebelum Janet mengangguk. Tetapi Russel hanya diam dan masih memandangku. Aku tidak tahu apa yang ada dalam fikirannya.

" Jadi benar Daniel ayahnya?" tanya Janet sambil tangannya menyentuh perutku. Aku mengangguk.

"Ya, Janet. Daniel ayahnya. ," aku menjelaskan. Kisah di petang yang pahit itu membuat dadaku terasa pedih lagi.

"Daniel perlu tahu, Tati. Itu anaknya," kata Russel setelah agak lama tidak berkata-kata.

"Tidak. Daniel dan keluarganya tidak perlu tahu tentang bayi ini," aku membantah.

"Dengar, Tatiana. Kamu mengandung dan Daniel perlu tahu. Aku akan memaksanya jika dia tidak mahu bertanggungjawab," Russel menekankan suaranya.

"Kamu dan Janet sudah berjanji akan merahsiakannya," kataku dengan nada kecewa. Kulihat Russel menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak pernah berjanji, Tatiana," katanya.

" Kamu mengandungkan anaknya, Tatiana. Dia harus bertanggungjawab," dia mengulang kata-katanya.

"Dia sudah bertunang, Rus. Biarkan dia bahagia," kataku. Sekali lagi Russel menggelengkan kepalanya.

" Lagipun ibunya tidak menyukaiku." Lalu kuceritakan kisah di kafe beberapa bulan lalu yang akhirnya membawa kepada perpisahan kami.

"Daniel tetap perlu tahu," ujar Russel.

"Please, Russ. Never tell him," rayuku. Tetapi Russel tetap dengan keputusannya.

"Daniel perlu tahu, Tatiana. Jangan pentingkan diri sendiri," katanya tegas.

_______________________________________

Aku berbaring sambil merenung siling kamar. Malam terasa begitu kosong dan sepi. Fikiranku menerawang jauh, menjangkau kisah yang terjadi dua tahun lalu. Aku tersenyum mengingat bagaimana pertama kalinya keakrabanku dan Daniel terjadi.

Menyahut cabaran mengunjungi sebuah rumah tunggal yang dikatakan berhantu di malam Halloween merupakan titik mula kisah cinta kami, aku dan Daniel.

"Hatiku tidak salah memilihmu, Tatiana," kata-kata Daniel tika itu masih segar dalam ingatanku. Ah, itu kisah dulu. Tiga bulan lalu Daniel mengatakan yang sebaliknya.

"Ternyata hatiku salah memilihmu, Tatiana," pengakuan Daniel yang paling menyakitkan setelah dua tahun hubungan kami.

Aku mengusap perutku. Ini hadiah terindah yang kuterima dari kesilapanku menilai erti cinta. Air mata tidak berguna untuk dititiskan. Perjuangan untuk hidup dan  menanggung malu hanya perlu ketabahan dan kesabaran.

"Hanya kita berdua, sayang. Kita akan melalui semuanya berdua," kataku. Semoga bayiku di dalam sana mendengarnya dan mahu mengerti segala rasa duka yang ditanggung ibunya.

Bercinta memang indah hingga aku lupa diri. Aku menyerahkan harga diri kepada lelaki yang aku cintai, tetapi sayangnya dia tidak begitu mencintaiku. Betapa malu bila mengingat aku diminta pergi dari apartment dan hidupnya kerana dia merasa hatinya telah silap memilihku.

Pergilah air mata kerana aku tidak ingin menangis. Aku terluka dan patah hati. Tetapi bagiku kebahagiaannya lebih penting. Merelakan juga satu bentuk mencintai yang tulus. Itu pendapat temanku di Wattpad.

Read and vote, ok.
Happy reading.

To be continued...

Just Three Words ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang