(9)

18.2K 1.9K 211
                                    

"Lagi mikirin suami." Balas gue melirik Kak Ken sekilas.

"Bukan masalah, Kakak bersedia jadi suami kamu baby!" Hah?

"Bisa stop manggil aku, baby? Enek dengernya, lagian Kakak mau apa coba?" Gue narik diri menjauh ngasih jarak untuk Kak Reza.

"Mau hati kamu, mau jadi pacar Kakak?" Ah gila ni orang.

"Mau!" Bukan gue tapi Lily yang baru aja balik dan langsung ngejawab dengan seenak jidatnya.

"Enggak, jadi tolong jangan dateng ke rumah aku atau nemuin aku lagi kaya gini." Gue minta tolong baik-baik jadi janvan uji kesabaran gue.

"Sekarang kamu bisa nolak tapi lain kali enggak, kamu akan jadi milik Kakak apapun caranya." Kak Reza nepuk kepala gue sekilas yang langsung gue tepis, makin lama makin ngelunjak aja sikapnya.

"Suka boleh tapi ngerep jangan berlebihan." Gue bangkit dan berjalan mendekat ke arah Kak Ken, mau orang-orang natap gue aneh juga nggak masalah, didekat suami adalah tempat teraman menurut gue.

"Dasar gila!" Ucap gue yang membuat seorang Kendra menutup buku bacaannya.

"Temen Kakak itu waras nggak? Baby baby, mau muntah aku dengernya." Manatap gue sekilas, Kak Ken menjulurkan minumnya ke gue dan mulai membuka kembali buku bacaannya, tumben nggak ngusir?

"Ri, lo ngapain disini?" Tanya Lily yang ternyata nyusulin gue.

Lily narik gue menjauh dan ngajak gue untuk balik masuk ke kelas, yaelah ni anak kenapa lagi coba? Baru juga hitungan menit gue duduk bareng suami udah digiring paksa aja.

"Apaan sih Ly? Ngapain lo narik-narik gue?" Gue melepaskan pegangan Lily dilengan gue dan ngambil posisi duduk dikursi tadi.

"Lo yang apa-apaan? Kak Reza nembak lo tapi bisa-bisanya lo langsung nolak segampang itu, lo bahkan lebih milih duduk bareng cowo cupu nan culun kaya gitu? Lo gila apa gimana?" Kesal Lily ke gue, yak kenapa malah dia yang kesal? Harusnya gue.

"Kalau lo suka kenapa nggak lo aja yang pacaran sama tu orang? Sama satu lagi, gue selalu bilang jangan menilai seseorang dari luarnya doang, lo susah banget pahamnya." Gue juga bisa kesal.

"Lo sebenernya punya hubungan apa sama Kak Kendra? Ini minumnya diakan? Ngapain lo minum? Gak jijik lo?"

"Lily!" Bentak gue ngedeprak meja.

"Lo mau suka sama siapa aja gue nggak pernah ngelarang jadi tolong, jangan menilai orang yang gue suka dengan cara pandang lo, itu nggak adil." Kak Ken terlalu baik untuk mendapatkan penilaian buruk dari Lily.

Gue beneran nggak suka sama sifat Lily yang memandang seseorang cuma dari penampilannya, apa kalau gue yang berpenampilan culun sama cupu kaya gitu, Lily bakalan ngejauhin gue? Menilai dengan cara kaya gitu jelas nggak baik.

"Ya sorry tapi lo nggak harus semarah itu jugakan? Memang Kak Ken siapa lo?" Lily mengulang pertanyaan yang sama.

"Di keluarga gue jadi tolong jaga sikap lo, gue balik duluan." Gue ninggalin Lily gitu aja, gue nggak mau berantem sama Lily cuma buat ngebandingin Kak Ken sama Kak Reza, mereka berdua berbeda dimata gue, Kak Ken akan selalu lebih berharga.

Selama perjalanan pulang, gue masih sangat kesal sama ucapan Lily, jijik? Apa bisa gue menjadikan Lily seorang sahabat kalau sifatnya selalu kaya gini? Awalnya gue berniat jujur ke Lily mengenai status gue sama Kak Ken tapi ngeliat reaksi Lily sekarang kayanya gue harus mikir ulang.

Masih gue fokus dengan pemikiran gue sendiri, dentingan handphone gue membuat pandangan gue teralih, siapa lagi coba?

"Kakak dibelakang, stop sekarang dan turun dari taksinya."

Gue langsung berbalik arah dan melirik ke arah belakang dan bener aja, Kak Ken udah dibelakang ngikutin gue dengan motornya.

"Pak, tolong berhenti didepan ya?" Gue ngasih ongkos taksinya dan beralih naik ke motor Kak Ken.

"Ganti baju dimana?" Tanya gue ngeliat pakaian Kak Ken sekarang, pakaian culun nan cupunya tadi kemana?

"Kakak ngebiarin kamu sekampus sama Kakak itu penuh pertimbangan." Ucap Kak Ken berbalik arah natap gue sekarang

"Pertimbangan apa?" Dan gue nggak mendapatkan jawaban apapun, Kak Ken cuma narik nafas dalam dan makain gue helmnya.

"Kita mau kemana?" Tanya gue lagi, gue nanya nggak mengharapkan jawaban, beneran, jadi kalau nggak direspon ya nggak bakalan makan hati.

Mengeratkan pegangan gue dipinggang Kak Ken, gue hanya diam memperhatikan jalan, sikap Kak Ken nggak bisa gue jelasin pakai kata-kata, sekeras apapun gue coba, gue nggak akan pernah bisa nebak jalan pikirannya, diluar prediksi BMKG.

"Kita dimana?" Gue turun dan mulai merhatiin sekeliling tempat gue berdiri sekarang.

"Rumah kita." Hah?

Rumah kita? Rumah gue sama Kak Kendra maksudnya? Yang bener aja, ngapain nambah rumah kalau gue punya rumah orang tua gue sendiri? Kak Ken juga punya rumah orang tuanyakan?

"Maksudnya apa? Rumah kita? Untuk apa?" Dan untuk pertama kalinya gue sadar dengan pertanyaan bodoh gue sendiri, gue nanya sesuatu yang jelas-jelas udah gue tahu jawabannya.

Natap gue sambilan geleng-geleng kepala, Kak Ken narik kunci motornya dan berjalan masuk lebih dulu, wahhh! Seriusan ini rumah kita berdua? Menang lotre dimana?

"Hadiah pernikahan kita dari Papa." Hah? Ini apaan lagi? Hadiah pernikahan nggak harus sebesar ini.

"Kita pindah minggu depan." Hah?

Entah udah untuk keberapa kali gue kaget hari ini? Hah hah hah gue udah nggak terhitung, kenapa harus pindah coba? Gue masih mau tinggal bareng orang tua gue.

"Memang kita beneran harus pindah? Aku masih mau tinggal bareng Ayah sama Bunda, semua keluarga aku juga masih tinggal disana jadi kenapa aku harus pindah?" Gue nggak mau.

"Tapi suami kamu nggak tinggal disana." Kak Ken melemparkan jaketnya ke gue dan berjalan naik ke atas lebih dulu, dasar suami kejam, semaunya dia aja terus.

Mengikuti langkah Kak Ken, gue ikut masuk ke kamar yang didalamnya terdapat foto pernikahan gue dan foto SMA gue sama Kak Ken, menatap fotonya sekilas membuat senyum gue mengembang, gue beneran udah nikah ternyata.

"Ri!"

"Heumm, kenapa?" Gumam gue berbalik natap Kak Ken yang entah sejak kapan udah berdiri dibelakang gue.

"Ayo punya anak!" Hah?

Gue bahkan udah nggak tahu harus bereaksi gimana sama ucapan Kak Kendra barusan, yang bener aja mau punya anak? Umur gue baru 19 tahun beda sama Kak Ken yang udah 22 tahun, Kak Ken udah mampu jadi seorang Ayah nah gue belum.

Lagian kenapa mendadak ngebahas itu, gue sama Kak Ken aja sentuhan cuma sekedar pegangan tangan sama pelukan, sesekali Kak Ken ngusap atau ngejitak kepala gue, lah sekarang malah ngomongin anak? Otaknya Kak Ken kepentok apaan?

"Kakak becanda?" Tanya gue bahkan tertawa kecil sekarang.

"Kakak udah mikirin ini lama, ini yang terbaik untuk kita!"

Married with My Senior (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang