(40)

13.9K 1K 13
                                    

Hampir lebih dari dua jam kita semua nunggu didepan ruang operasi Kak Reza, luka tusukan? Gue hampir gila pas tahu kalau itu adalah alasan Kak Reza berbaring didalam sana.

Denger kata tusukan aja udah ngebuat gue tambah gak bisa nafas, kalau Kak Reza aja bisa berakhir kaya gini, gimana sama nasib suami gue? Gue gak bisa ngebayangin apapun.

Semua orang bahkan udah duduk tertunduk dengan wajah yang sama sekali gak bisa gue terbaca, Mas Ian yang ikut menenangkan Kak Kenza sedangkan Mas Arya yang masih setia mengusap tangan gue dengan wajah penuh lukanya.

Melihat wajah penuh luka Mas Arya membuat gue bangkit dan menggenggam erat tangan Mas Arya untuk gue bawa ke bagian kesehatan yang lain, luka Mas Arya juga butuh pengobatan.

"Mas gak papa Dek, ini bisa Mas obatin sendiri, Adek gak perlu khawatir." Ucap Mas Arya mendudukkan kembali tubuh gue.

Gue mengusap wajah gue kasar dan kembali menundukkan wajah gue, setiap air mata yang jatuh dari mata gue selalu ada tangan Mas Arya yang mengusapnya, mendekap gue dalam diam, memberikan ketenangan tanpa perlu mengeluarkan kata.

Gue mendapatkan kekuatan gue dari Mas Arya dengan sikap tenangnya, gur gak perlu berpikiran lebih buruk karena dibelakang gue masih ada keluarga, gue harus bertahan.

Gue yang semula tertunduk dengan mata kosong tanpa arah, langsung narik lengan Mas Arya bangkit begitu lampu di ruang operasi Kak Reza berganti warna.

"Keluarga Reza!" Ucap salah satu dokter yang baru aja keluar.

"Saya Kakaknya Dok, bagaimana dengan keadaan Adik saya?" Mas Arya yang maju.

"Syukur alhamdulillah Adik Mas selamat, hanya saja karena ada beberapa saraf yang ikut terluka, mungkin butuh waktu yang sangat lama untuk Adik Mas bisa berjalan seperti semula." Air mata gue kembali mengenang.

"Tapi Adik saya masih bisa disembuhkan Dok?" Tanya Mas Arya masih mencoba setenang mungkin.

"Insyaallah bisa, istirahat yang cukup dan juga ikut terapi rutin, keluarga juga bisa membantu dengan menyemangati, pasien juga sudah bisa dijenguk kalau sudah di pindahkan ke ruang biasa, kalau begitu saya permisi dulu."

"Terimakasih Dok!"

.
.
.

"Siapa mau masuk lebih dulu?" Tanya Mas Arya, Kak Reza belum bisa dijenguk orang rame soalnya.

"Mas sama Rian aja gak papa ya Mas, Kenza juga gak begitu baik." Gue bangkit berdiri begitu nama Kak Kenza disebut,

Untuk sesaat gue lupa kalau ada Kak Kenza diantara kita berempat, gue lupa, lelaki yang menyandang status suami gue, lelaki yang belum gue tahu keadaan dan keberadaannya adalah adik dari seorang Kenza.

"Kak, Rian minta maaf! Semua karena Riana!" Walaupun Kak Ken selalu bilang kalau ini semua bukan kesalahan gue tapi coba pikir pake otak deh, kalau bukan gue yang salah terus ini kesalahan siapa?

"Ini pilihan Kendra, semuanya bukan kesalahan kamu!" Gue tersenyum miris.

"Jujur Kakak bukannya membenci tapi tolong, bersikap lebih bijak Riana, jangan berisi keras seolah kamu bisa nyelesain masalahnya sendirian."

"Kalau kamu sampai kenapa-napa, Kakak harus ngejelasin apa sama Ken kalau dia tahu nanti?" Kak Kenza nepuk pelan bahu gue.

"Ken akan pulang jadi tolong, dengan kamu menjaga kesehatan kamu, dengan kamu menjaga kandungan kamu, Kendra akan sangat bahagia, kamu tahu kenapa? Karena kamu kebahagiannya." Kak Kenza hanya menatap gue dengan tatapan sangat terpukul.

"Kakak pulang!" Gue mengangguk pelan.

"Ya, gue pulang, kabarin gue!" Kak Kenza melirik Mas Arya sekilas sebelum berlalu ninggalin gue sama Mas Arya di tempat.

"Lo balik kesini lagi apa gimana?" Tanya Mas Arya ke Mas Ian.

"Balik Mas, orang-orangnya Kenza masih terus nyari keberadaan Kendra juga, kita bahas nanti."

Selepas Mas Ian sama Kak Kenza pergi, gue masuk ke ruangan Kak Reza dan langsung tertunduk, ah semuanya karena gue, keadaan sekacau ini juga karena gue, gue tahu menyalahi keadaan itu percuma tapi rasa bersalah beneran jadi masalah gue sendiri.

"Reza akan baik-baik aja Dek!" Lagi-lagi gue hanya mengangguk pelan.

Mungkin ini terdengar egois atau bahkan gue akan di anggap adik yang gak tahu berterima kasih, tapi seberapa keras gue coba, otak gue gak bakalan bisa lepas dari yang namanya Kendra, dimana? Gimana? Gue sangat mengkhawatirkan suami gue.

"Kendra akan pulang!" Ucap Mas Arya lagi dan mengusap bahu gue.

Harus kuat Riana, lo harus tahu situasi, semua orang lagi kesusahan nyari keberadaan Kendra jadi tolong, jangan nambah beban dengan terus bersikap kaya gini,

Wajar lo sedih, itu sesangat wajar tapi dibelakang lo masih banyak lagi keluarga yang juga harus lo pikirin perasaannya juga.

Lo kacau? Mereka juga merasakan hal yang sama, mereka terus nyari Kendra dengan salah satu sisi harus ngejamin keselamatan lo juga, harusnya lo banyak bersyukur bukan malah bersikap keras kepala kaya gini.

Jangan bersikap seolah-olah lo bisa ngelakuin semuanya sendirian, jangan bersikap seolah-olah lo gak butuh mereka, lo harus belajar untuk jauh lebih sabar, lo harus belajar untuk bersikap jauh lebih tenang dalam menghadapi masalah yang ada, lo harus. Gue membatin.

"Mas, begitu Mas dateng dan nemuin Kak Reza, apa gak ada orang lain disana? Mas udah ngecek GPS Kak Ken belum?" Tanya gue mencoba setenang mungkin.

"Beneran gak ada orang Dek, GPS udah jadi urusan Ian dan kita sama sekali belum nemuin info apapun, Adek yang sabar, Kendra kuat, bukannya Adek kenal Kendra lebih baik dari siapapun?"

Gue narik nafas dalam dengan penjelasan Mas Arya, Mas Arya bener, gue kenal Kak Ken lebih baik dari siapapun, Kak Ken kuat, Kak Ken juga bakalan baik-baik aja, gue harus yakin.

"Lebih baik sekarang Adek istirahat, untuk sekarang Mas cuma berharap kalau Reza akan segera bangun."

"Semoga Mas!" Gue manatap Kak Reza sekilas.

Berbalik natap Kak Reza, ucapan dokter tadi juga ngambil alih perhatian gue, untuk sementara mungkin Kak Reza gak akan bisa jalan itu artinya Kak Reza juga butuh perhatian lebih banyak.

"Bunda udah tahu Mas?" Tanya gue lagi, bagaimanapun Bunda tetap ibu kandungnya.

"Bunda belum tahu, Mas gak tahu harus ngejelasin gimana, masalah Reza atau bahkan masalah Kendra kalau ingat kondisi Bunda yang juga gak begitu baik Dek!"

"Tapi Bunda harus tahu Mas!"

"Akan Mas kabarin besok pagi!" Gue setuju, sekarang masih jam empat pagi, gue yakin Bunda belum bangun.

"Mas, Lily gimana?" Entah kenapa tetiba gue kepikiran Lily, Kak Ken udah janji mau ngejelasin tapi keadaan beneran udah gak memungkinkan.

"Lily bebas bersyarat satu hari yang lalu."

Married with My Senior (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang