(7)

19.1K 1.8K 91
                                    

"Semalam masuk ke kamar dengan isak tangis tertahan? Dan sekarang narik kesimpulan sendiri dengan airmata ngalir juga? Turun kalau kamu selesai dengan pemikiran aneh kamu." Kak Ken balik membuka pintu dan berlutut tepat dihadapan gue sekarang.

"Pemikiran aneh? Apa aku aneh dimata Kakak?" Tanya gue bahkan tersenyum miris sekarang, aneh? Apa ada yang aneh dari seorang istri yang menginginkan sedikit perhatian dari suaminya?

"Gak perlu Kakak jawab, pertanyaan aku nggak guna jugakan? Ayo turun sarapan." Gue bangkit dan berjalan lebih dulu meninggalkan Kak Ken dengan segala pemikirannya.

Gue udah milih nerima Kak Ken jadi gue nggak punya hak untuk protes sekarang, semua udah nggak guna, tugas gue cuma membantu Kak Ken keluar dari dunia kesendiriannya, cuma itu dan gue nggak harus mengharapkan apapun.

Dibawah, gue memaksakan senyum canggung dan duduk diam ikut sarapan bareng keluarga Kak Ken, sesekali tatapan gue bertemu dengan Kak Ken yang susah payah gue hindari, gue akan bertahan, ini janji gue dulu, terus tadi gue nangis kenapa? Bodoh banget.

"Kuliah gimana Ri?" Tanya Kak Kenza buka suara.

"Alhamdulillah cukup lancar Kak." Balas gue tersenyum sekilas, gue nggak tahu harus bereaksi gimana? Gue nggak mungkin ngadu ke Kak Kenza kalau adiknya nggak mau ngakuin gue dikampuskan?

"Jagain Rian, jangan cuma sibuk sama buku kamu, Ken." Dan Kak Ken hanya menatap gue sekilas dengan tatapan datarnya.

Gue menyelesaikan sarapan gue dengan pemikiran melayang entah kemana? Selesai sarapan gue juga milih untuk ngebantuin Bi Sri ngeberesin bekas sarapan kita ketimbang harus ngadepin mukanya Kak Ken dikamar.

"Kakak tunggu diparkiran dalam lima menit." Gue berbalik dan natap Kak Ken sekilas yang udah siap dengan kunci motornya.

Gak mikir lama, gue membersihkan tangan gue dari sisa sabun dan berlari kecil naik keatas ngambil tas gue, tu orang kenapa selalu seenak jidatnya coba?

"Kita mau kemana?" Tanya gue yang sama sekali nggak dapat jawaban.

"Naik." Nutup rapat mulut gue, gue naik dan diam nggak berniat ngomong apapun lagi.

Selama perjalanan gue cuma memperhatikan jalanan yang begitu ramai, setidaknya jalanan yang ramai bisa sedikit membantu memperbaiki suasana hati gue yang makin semberaut sekarang.

Mas Arya sama Mas Ian bener, nggak ada gunanya gue mikirin sikap dinginnya Kak Ken karena dari awal gue memang udah tahu itu, gue udah setuju menikah itu artinya gue udah siap nerima segala perlakuan Kak ken ke gue, gue nggak punya alasan untuk nangis karena hal yang sama, buang-buang waktu sama tenaga.

Masih dengan mata yang menatap penuh jalan, gue mengalihkan perhatian gue begitu ngerasa Kak Ken menggenggam tangan gue dan membawa tangan gue melingkar dipinggangnya.

.

"Assalamualaikum." Ucap gue begitu membuka pintu rumah dan gumaman "Waalaikumsalam." yang diikuti Kak Kendra dibelakang gue sekarang.

Gue pikir Kak Ken bakalan ngebawa gue kemana sangking buru-buru kaya tadi tapi ternyata rumah gue adalah tujuannya, kalau mau pulang kerumah setidaknya ngasih tahu gue bisakan? Gue bisa beli sesuatu dijalan untuk makan siang sama makan malam nanti.

"Kakak beneran mau nginep disini? Kalau nggak juga nggak papa, aku bisa sendirian." Ucap gue yang entah kenapa terdengar canggung.

Setelah ucapan Kak Kendra tadi pagi gue harus jujur kalau gue sedikit takut, Kak Kendra nggak membentak tapi Kak Ken ngomong dengan nada nggak enaknya, dingin dan terkesan jelas nggak mau dibantah, disini itu posisi gue istri dan dia suami, kalau bukan suami gue, udah lama tangan gue melayang kemana-mana.

Meletakkan tas sembarangan, gue berjalan ke dapur untuk meriksa ada bahan makanan apa aja dilemari pendingin, kalau seandainya nggak ada, gue bisa keluar untuk beli sekarang, masih sempat juga.

"Ri, berhenti berasumsi aneh dengan segala pemikiran kamu." Kak Ken berbalik dan megang kedua bahu gue erat.

"Aku berasumsi aneh itu semua juga karena Kakak, apa pernah Kakak peduli dengan semua pertanyaan aku?" Balas gue natap mata Kak Kendra tajam.

"Itu karena semua pertanyaan kamu, kamu sendiri tahu jawabannya." Kak Ken nepuk pelan bahu gue dan kembali menggenggam kedua bahu gue erat.

"Dengerin Kakak, kamu cukup tahu satu hal, disaat Kakak milih kamu, itu artinya Kakak akan bertanggung jawab sampai akhir." Kak Ken ngusap pelan kepala gue sekali dan menurunkan tangannya.

Berdiri mematung dengan tubuh gue sama Kak Ken yang masih berhadapan, gue sendiri mulai mencerna setiap kata dari kalimat yang Kak Ken keluarkan barusan, karena gue sendiri tahu jawabannya? Maksudnya apa?

"Kalau kamu kenal Kakak dengan baik, bagaimanapun sikap Kakak, kamu nggak akan berasumsi aneh-aneh Riana."

"Aku cuma mau Kakak bahagia bareng aku, aku nggak mau cuma jadi beban untuk Kakak tapi nyatanya, Kakak malah keliatan lebih bahagia tanpa aku, kehadiran aku seolah nambah beban, nggak dirumah, nggak dikampuspun sama, aku ngerasa kalau aku nggak ada artinya sama sekali dalam hidup Kakak." Gue berjalan mendekat dan memeluk Kak Ken erat.

Hitungan detik gue nggak dapet balasan apapun, Kak Ken masih setia berdiri ditempatnya, nggak membalas dan nggak melepaskan dekapan gue juga, cuma membiarkan gue memeluk erat tubuhnya tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

Sadar kalau Kak Ken nggak akan membalas dekapan gue sekarang, gue melepaskan Kak Ken dan mundur beberapa langkah, padahal gue berharap kalau Kak Ken akan membalas dekapan gue tapi nyata enggak, gue berharap terlalu banyak lagi.

Kalau gue mengenal suami gue dengan baik, bagaimanapun sikapnya, asumsi gue nggak akan mempengaruhi apapun, Kak Kendra bener, Kendra Adipati Darma, Kak Ken nggak akan melakukan apapun atas dasar terpaksa, semua yang Kak Ken lakuin selalu penuh pertimbangan dan atas keinginannya sendiri.

'Kakak milih kamu itu artinya Kakak akan bertanggung jawab sampai akhir.' Gue mulai menebak maksudnya, milih kamu? Bertanggung jawab? Sampai akhir? Dan gue menyunggingkan senyuman gue.

"Riana." Panggil Kak Ken yang sekarang nyusulin gue ke kamar.

"Heummm, kenapa?"

"Tamu." Dan Kak Ken nutup balik pintu kamar gue gitu aja, "Tamu!" Satu kata doang? Batin gue.

Mengikuti langkah Kak Ken, gue turun dan nemuin tamunya didepan, lagian kalau ada tamu kenapa harus gue yang bukain? Kak Ken yang bukain dulu terus suruh duduk, nunggu didalam kan bisa? Ini malah manggilin gue dulu.

"Cari siapa ya Mas?" Tanya gue begitu membuka pintu dan udah ada seorang laki-laki berdiri didepan pintu rumah sekarang.

"Nggak salah rumah ternyata." Hah? Ni orang siapa?

"Siapa ya Mas?" Ulang gue sekali lagi.

"Reza? Senior? Kampus? Masih belum inget?" Ngapain ni orang kemari? Tahu rumah gue dari mana?

"Oh ada perlu apa ya Kak?" Tanya gue to the point, males gue nyuruh masuk.

"Cuma mastiin ini beneran rumah kamu, see you baby." Heh? Udah segitu doang? Jauh-jauh cuma mau mastiin ini rumah gue apa bukan? Dasar nggak waras, sakit dipelihara.

"Kenal?" Tanya Kak Ken yang lagi-lagi ngagetin gue.

"Kalau muncul bisa bikin suara dikitkan? Ngagetin tahu nggak?" Gue udah natap Kak Ken kesal.

"Kakak tanya kenal? Ngapain dia kesini?"

"Mana aku tahu, kenal aja baru selama orientasi, lagian itu bukannya temen seangkatan Kakak? Kenapa nggak Kakak aja yang nemuin tadi? Kenapa harus nyuruh aku yang turun?" Aneh banget.

Bukannya ngejawab, Kak Ken malah balik masuk dan langsung naik keatas mengabaikan pertanyaan gue, inipun satu, sebegitu takutnyakah kalau ada yang tahu gue ini siapanya dia? Harusnya gue yang takut orang-orang tahu gue punya suami cupu plus culun modelan Kak Kendra.

Married with My Senior (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang