Perempuan dengan rambut panjang itu berjalan cepat kesebuah tempat, tempat dimana tak banyak orang datang. Dia menaiki tangga dengan tergesa, berusaha menyingkirkan semua benda yang menghalanginya.
Kardus bekas, Kursi tua, kayu kayu tak berguna.
Dia membuka pintu dengan kasar lalu berjalan cepat ke ruang terbuka yang ada didepan sana.
Dia memilih duduk bersimpuh dengan kepala dìtenggelamkan pada perpotongan tangan lalu terisak pelan.
Tanpa dia tau, seseorang lebih dulu ada disana. Lelaki dengan almamater hitam itu mengamati dengan intens, bangkit dari duduknya tanpa membuat suara dan mulai mendekati gadis itu.
Gerimis mulai datang menimpa mereka, namun gadis berambut panjang ini tak terusik sama sekali.
Dia tetap larut dalam kesedihannya. Entah apa yang ditangisi hingga tangisannya terdengar sangat pilu.
Gerimis mulai riuh berdatangan. Namun gadis itu tetap tak terusik.
Rambut hitamnya mulai basah. Beriringan dengan derasnya hujan yang datang.
Tangisnya mengeras bersamaan dengan riuhnya air hujan yang jatuh mengenai atap sekolah tempat mereka berada.
Tak ada petir ataupun guntur yang menyambar. Hujan nampak tenang namun tetap deras. Seolah mengerti apa yang gadis itu rasakan.
Sepuluh menit berlalu dibawah derasnya hujan dengan seorang gadis yang terduduk menangis dengan kepala ditenggelamkan pada perpotongan tangan.
Hujan mereda, namun tidak dengan tangisnya.
Dia berjongkok guna menyamakan posisi mereka. Mengangkat kepala kecil itu agar menatap wajahnya.
Gadis ini terlihat sangat buruk dengan mata sembab berlinang air mata, hidung memerah dan badannya basah karena diguyur hujan.
Gerimis kembali datang.
Dengan cepat dia membawa gadis ini turun dari atap, menutupi kemeja putih milik gadis itu yang basah yang tak terbalut almamater dengan menggunakan almamater miliknya.
Genggaman tangannya seolah memberi kehangatan, kenyamanan dan keamanan.
Hatinya serasa teriris kala melihat netra hitam itu tertutup linangan air. Apalagi bibir yang selalu mengeluarkan perkataan tajam malah mengeluarkan isakan pilu.
Dia membawa gadis ini kedalam mobilnya. Menghidupkan mesin dan membawanya pergi dari area sekolah.
Ini kali ketiganya bolos pada bulan ini. Mungkin dia akan mendapat surat pemanggilan orang tua lagi.
Gadis disebelahnya masih terisak ringan.
Ya Tuhan.
Dia tak tega.
"Keluarkan semua tangismu disini, jangan menangis dirumahku nanti. Bisa bisa ibuku berpikir hal yang tidak tidak"
Dia mengemudikan mobilnya dengan tenang. Riuh hujan deras diluar sana membuat suasanya terasa berbeda. Biasanya mereka akan bercanda dan bernyanyi didalam mobil. Tapi kali ini gadis itu menangis tersedu.
Satu belokan lagi sampai dirumahnya. Dia sedikit tenang karena gadis disebelahnya sudah tak menangis lagi.
Pintu gerbang terbuka dan mereka memasuki halaman rumah besar itu. Dia bisa melihat mobil ibunya terparkir disana. Ada dua kemungkinan, yang pertama ibunya belum berangkat dan yang kedua ibunya diantar ayah.
Dia kembali menggenggam tangan gadis berlesung pipi itu dan menariknya pelan keadalam rumah.
Rumahnya terlihat kosong. Mungkin benar, ibunya diantar sang ayah.
Namun tidak.
Sang ibu menampakkan diri dengan snelli yang berada ditangannya saat langkah ketiga mereka.
"Basah sekali kalian padahal Junho menggunakan mobil. Apa mobilmu bocor Jun?"
Junho tersenyum canggung dan diikuti cengiran lebar gadis disebelahnya.
"Chaeng yang mengajak Junho main air aunty, maafkan Chaeng"
Yeji menghela napasnya melihat kelakuan dua anak remaja yang duduk dibangku kelas 2 SMA ini.
"Mandilah, mama akan membuatkan teh hangat untuk kalian"
Junho dan Chaeyoung mengangguk dan berjalan kearah tangga menuju kamar Junho.
"Untung aunty Yeji tak marah Jun"
"Mama tak bisa marah, percayalah. Aku akan menggunakan kamar mandi Dohyon"
Chaeyoung mengangguk dan memasuki kamar mandi Junho.
Dia menenangkan pikirannya, menghela napas dalam dalam dan menyalakan Shower. Mencoba menjernihkan pikiran dan berpikir apa yang dilakukannya tadi.
Kenapa dia menangisi lelaki tak berguna itu? Harusnya itu tak terjadi.
Lee Juyeon bajingan!
Chaeyoung menatap dirinya dicermin. Penampilannya sangat buruk, dia tak bisa bertemu Yeji dengan penampilan seperti ini. Ibu sahabatnya itu pasti akan tau jika dia baru saja menangis.
Namun tak apa lah, teh hangat dan Red Velvet terlalu menggoda untuk dilewatkan.
Dia melihat satu set baju dalam yang masih baru di kasur, namun tak ada kaos atau baju yang bisa dipakainya. Maka dia membuka lemari Junho dan mencari pakaian lelaki itu.
Sudah biasa dia meminjam pakain Junho, jadi tak masalah.
Sebuah kaos panjang yang kebesaran jika dipakainya dan celana training yang juga terlalu panjang dipakainya.
Chaeyoung menuruni tangga lalu melangkah menuju dapur. Dia bisa melihat Junho yang sedang mencubit pipi ibunya lalu dihadiahi cubitan kecil pada pinggang oleh Ibunya.
Chaeyoung tertawa, menertawai Junho tentu saja.
"Oh my god, mama lupa memberimu pakaian"
"tidak apa aunty, pakaian Junho sudah cukup"
Yeji tersenyum lalu menaruh Red Velvet dimeja makan.
"Kemari, peluk mama"
Chaeyoung menurut dan memeluk Yeji dengan erat. Caheyoung gadis mungil, tingginya lebih pendek dari Yeji.
"Apa yang membuatmu bersedih? siapa yang membuatmu menangis? apa Junho yang melakukannya? bilang pada mama"
Chaeyoung menggeleng.
Terasa nyaman dipelukan seorang ibu, hangat, dan aman. Dia ingin setiap hari merasakannya.
"Chaeng punya mama Yeji, berbagi kesedihanmu dengan mama ya"
Chaeyoung mengangguk.
Junho yang melihat hal itu hanya memutar matanya malas, sebenarnya siapa anak dari seorang Cho Yeji sebenarnya?
_______________
___________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengerti Kembali.
FanfictionWalaupun senja tak pernah singgah sampai fajar namun dia tetap menyukainya. Walaupun Senja datang semaunya dan pergi sesukanya namun dia tetap menantinya. Senja sangat indah. Sekalipun ia datang untuk pergi. Junho, senjanya. * * * * Melepas Rembula...