SMA XVII

499 15 0
                                    

 Langit mendadak mendung menjelang sore itu. Seorang cowok tampak berlarian di sepanjang lorong. Suasana lagi sepi. Seluruh sekolah sedang sibuk mengikuti mata pelajaran berikutnya. Hanya segelintir orang yang masih hilir mudik di sekitar sekolah sekedar memenuhi sebuah keperluan. Sejak pasca kejadian siang tadi, banyak berita simpang siur bertebaran di sepenjuru sekolah. Ada yang prihatin. Ada pula yang membencinya. Namun, sebagian besar menyadari satu hal yang penting; Selama kedua orang itu belum keluar dari sekolah, maka badai masalah takkan pernah berhenti. Kecuali sebuah keajaiban terjadi, seperti anak tunggal yayasan itu mati. Dan itu tentunya mustahil. 

 Lokasi kejadian tampak kosong hanya sedikit murid yang sedang sibuk membersihkan sisa-sisa perkelahian tadi siang.

 "Asem deh gue, niatnya mau nolong sekarang malah disuruh bersihin toilet." Sungut salah seorang murid yang berbadan ceking.

"Lo sih wan, cuma berani nonton doang, bukannya bantu melerai orang berantem." timpal Anto kesal.

"Lah, gila lo nto. Muka lo apes gitu jadi sasaran cewek brutal itu, mana sudi gue jadi korban juga."

Anto mendelik. Ekpresinya dongkol jika mengingat kembali musibah yang menimpanya. Tanpa sadar ia mengelus pipinya yang sudah tertutup hansaplast. 

"HEI! BISA DIAM NGGAK! CEPAT BERESIN." Nick yang ikut jadi korban naik pitam.

Anto dan Awan langsung mingkem. Secara Nick yang tubuhnya paling besar diantara mereka. Mau tak mau mereka menurut saja.

"Hei! Dimana yang lain?" Tiba-tiba Bagas datang dengan nafas tersengal-sengal sehabis berlari.

"Siapa maksud lo?" Nick yang menjawab.

"Anu, itu.." Bagas bingung berkata. Nggak mungkin dia bertanya tentang Gina secara pribadi yang jelas-jelas akan menunjukkan keberpihakannya. Namun, satu hal yang ia tak sadari, teman-temannya sudah sangat mengenal dirinya melebihi yang dia tahu.

"Lo mencari GIna? Dia diruang BP sama yang lain."

"Eh?" Bagas terkejut. Namun, tak ada waktu untuk menjelaskan. "Makasih, Nick." Sahutnya cepat. Setelah itu ia langsung meluncur.

"Eh, tunggu--" Awan hendak berucap namun terlambat.

"Mau ngapain lo?" Tanya Nick sambil melotot.

Awan mengkeret kala melihat sorot mata Sanick yang kayak jelmaan gendorowo jadi-jadian. "Nggak, nggak jadi." jawabnya Speechless.

Anto cekikikan sambil menutup mulutnya. Awan manyun.

***

 Suara petir terdengar keras. Bagas terkejut. Hanya dalam hitungan beberapa menit setelahnya, hujan pun turun. Bagas terpaksa berlari dengan hati-hati biar tidak terpeleset. Tanpa sadar ia menggosok kedua bahunya karena hanya mengenakan satu helai kaos. Ia lupa meminta seragamnya tadi ke UKS.

 Ia sudah dekat dengan kantor BP, namun tak seperti yang diharapkan. Tak ada tanda-tanda keberadaan Gina disana. Hanya Alex yang sedang sibuk berdiskusi dengan guru BP di dalam ruangan. Bagas berinsiatif menunggu di luar sambil bersedekap.

Sepuluh menit kemudian Alex keluar. Dan ia terkejut melihat Bagas disana.

"Jadi, gimana lex? Apa yang sebenarnya terjadi?"

Alex tercenung. Ia ragu sejenak untuk menjelaskan kenyataan yang pahit. Ia tahu persis bagaimana perasaan Bagas terhadap Gina. Ia sendiri yang pernah kenal Gina sejak SMP-pun, masih sukar percaya dengan perubahan pada diri Gina yang sekarang. Hanya satu yang pasti ia sadari, Fariz yang berada dibalik semuanya.

"Maksud lo, tentang apa?" Alex berlagak lugu.

Bagas berjengit. "Lex, jangan bertele-tele. Lo tau kan siapa yang gue maksud!?"

SMA 2013 [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang