SMA XIX

542 17 0
                                    

  Gelap!

"Apa gue udah mati?"

"Dimana ini? Gue nggak bisa liat apa-apa!"

Lalu ia berjalan dengan tertatih, sembari meraba sekitarnya. Perlahan, namun pasti.

Tiba-tiba seberkas cahaya muncul dari ujung pandangannya. Dan terlihat siluet hitam seperti gerbang besar yang dimana sinar itu muncul dari celah-celah tengahnya. Pelan-pelan semburat putih itu semakin terang dan mulai menujukkan sosok dirinya.

Bagas.

Ia sendiri dalam ruang hampa itu. Lalu matanya berputar cepat. Sosok bayangan seseorang melambai kepadanya dari dekat pintu itu. Ia tak tahu itu siapa. Tapi, satu yang jelas dari postur tubuhnya; ia cewek.

Siapa dia?

Sosok itu terus melambai kepadanya. Menyuruhnya mendekat. Bagas melangkah. Selangkah demi selangkah. Setapak demi setapak. Sejenak ia ragu. Apakah ia benar-benar sudah mati?!

Tanpa sadar tubuhnya bergerak sendiri mengikuti sumber cahaya itu. Dan semakin dekat. Saat sudah hampir diambang pintu, sosok itu semakin jelas. Bagas terkejut, cewek itu mengenakan seragamnya. Saat hendak mendongak untuk melihat wajahnya-- ia tersadar.

"Nak? Kamu sudah siuman? Ini mama."

Bagas mengerjap-ngerjap lambat. Mulanya semua tampak buram. Semakin kesana semakin jelas. Barulah hal pertama yang ia lihat adalah putih.

Langit-langit ruangan itu tampak kusam dan retak. Serta bebauan obat yang langsung menyengat menyerang hidungnya. Ia bergidik. Tubuhnya masih tak bisa digerakkan.

Lagi-lagi suara wanita separuh baya itu menjelaskan,"Sabar, nak. Kamu masih belum bisa gerak. Tunggu, biar mama panggil papa sama abangmu."

"Ma?" Itu kata pertama yang keluar dari mulut Bagas.

Tapi Mamanya sudah menghilang dari ruangan itu.

Rasanya Bagas hampir menangis kesal kala menyadari tubuhnya yang seperti orang lumpuh. Ia ingin berteriak, tapi hanya suara erangan yang terdengar. Tenaganya seolah musnah dalam sekejap. Sungguh ia ingin mati saja rasanya.

Kemudian bayangan Gina hadir di pelupuk matanya. "Gina." Bisik batinnya. Ia ingin bertemu dengan pacarnya itu segera. Memeluknya dan menghiburnya. Gadis itu butuh dirinya sekarang. Ia tak bisa bersantai-santai disini.

Sekali lagi ia memaksakan diri untuk bergerak namun sia-sia. Rasanya sangat sesak. Dan benar-benar menyakitkan.

Yui? Kali ini pikirannya teringat pada cewek di dalam mimpi. Hanya nama itu yang terpikirkan olehnya, mengingat ia sendiri yang memberikan seragam itu kepadanya.

Arrgghhh!! Kepala mau pecah saja rasanya memikirkan itu semua. Ia benar-benar ingin keluar dari sini. Air matanya merebak.

"Nak, sabar."

Sudut mata Bagas langsung menangkap suara Papanya yang sudah berdiri di tepi ranjang bersama Mama dan Abangnya.

"Gas, Maafin abang ya."

Bagas semakin tak mengerti. Kenapa Abangnya meminta maaf? Seumur-umur ia tak pernah mendengar kalimat itu keluar dari mulut saudara kandungnya yang satu-satunya itu. Semenjak kecil Bagas tak pernah menyukai Abangnya yang memiliki temperamental galak dan kasar. Ia bahkan tak mau mengingat seberapa sering Abangnya membuat ulah dan menganggunya setiap waktu. Dan sekalipun tak pernah ada kata maaf yang terdengar. Walau ia tahu, Abangnya tak sejahat itu kepadanya. Namun, kalimat sakral itu benar-benar langka baginya.

"Ba.. ba--gas kenapa pa?" Tanya Bagas mengalihkan tatapannya ke Papa yang berdiri di dekat kepalanya.

Mama Bagas sedari tadi tampak sibuk menahan tangis yang hampir menyeruak keluar. Ia berusaha mati-matian menahannya dengan terus menutup mulutnya.

SMA 2013 [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang