SMA XVIII

543 18 0
                                    


   Di depan cermin itu ia melihat jelmaan dirinya yang telah berubah menjadi seorang lelaki sejati. Ia masih  tak percaya dengan apa yang baru saja yang telah ia lakukan. Ya, ini bukan mimpi. Ia menepuk kedua pipnya. Ini nyata. Benar-benar nyata. Ia benar-benar menembak Gina! Ia tak bisa berhenti tersenyum. Rasanya luar biasa.

Lalu ia memungut Handuk di samping wastafel dan melilitnya ke sekitar bawah tubuhnya. Ia baru saja selesai mandi. Tadinya ia hendak ingin kembali ke sekolah setelah mengantar Gina pulang. Namun, berhubung bajunya basah kuyup, ia akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah. Mandi dan berganti pakaian. Hujan kini menyisakan gerimis.

Sekali lagi ia menatap cermin di atas wastafel kamar mandinya itu. Ia memperhatikan bentuk wajah itu. Hidungnya yang sedikit bengkok dan mancung. Dagunya yang lancip. Serta dahi lebar dengan dua alis panjang yang hampir menyatu. "Apakah ini termasuk tampan?" Katanya pada dirinya sendiri. Lalu kemudian teringat pada Dean. "Ah, dia masih lebih baik dari gue. Andai gue memiliki wajah seganteng dia, dan badan se atletis Alex."

Lalu matanya turun kebawah. Ia memperhatikan dadanya yang agak bidang serta perut yang hampir Sixpack. Ia memiliki tubuh jangkung yang sedikit berisi. 

Tiba-tiba hidungnya mimisan. Ia terkejut. Dan tubuhnya mendadak menggigil hebat. SIALAN! OBAT GUE!?

Ia lupa, ransel yang berisi obatnya masih di sekolah. 

Tunggu di Kotak Obat mungkin masih ada sisa. 

Ia hendak berbalik, namun tubuhnya terasa berat. Sendinya nyeri luar biasa. Tulang punggungnya sakit. Mendadak matanya berkunang-kunang. Pikirannya melayang. Rasanya dunia seolah berputar-putar di sekelilingnya. Oh Tuhan! JANGAN SEKARANG!! Ia terjerembab jatuh ke lantai. Saat hendak berucap, segalanya sudah berubah gelap.

***

Mimpi itu terulang kembali. Tapi tak seperti sebelumnya. Kini ia berada di tepi danau dengan sealas tikar. Terlihat berbagai macam aneka makanan seperti Roti lapis dan kue bolu tampak memenuhi diatasnya. Tak lupa juga sebotol jus dengan 2 gelas plastik di sisinya.

Di sampingnya duduk seorang anak laki-laki yang tak bukan dan tak lain adalah Bagas.

"Yui--" ujarnya pelan. Yui menoleh. "Lihat jernihnya permukaan danau itu." Bagas mengangkat jarinya. Yui mengikuti arah telunjuk itu.

"Apa kamu tahu kenapa bisa gitu?"

Yui menggeleng.

Bagas tersenyum."Itu karena ia selalu menyimpan seluruh penderitaannya jauh di dasar danau. Dari sanalah kebijaksanaan muncul."

Yui terkesiap. Jantungnya berdebar tertahan mendengar pemaparan yang filosofis itu.

"Ketegaran dan kesabaran adalah kunci untuk kedamaian. Dan cinta--" Bagas terhenti sesaat. Ia memalingkan wajahnya menatap Yui.
"Dan cinta itu adalah kamu." Bagas langsung membelai pipi Yui lembut.

Yui blushes, pipinya merah merona mendengar semua pujian itu. Ia terlihat menikmati sentuhan lembut jemari Bagas.

"Yui.." katanya lagi.

Ia mendongak.

"Jika suatu saat aku menghilang--" Bagas diam sejenak. "Kamu harus tahu, cintaku padamu takkan pernah mati. Sampai kapanpun. Walau bagaimanapun." Ucapnya melambat.

"Gas--" Yui akhirnya bersuara. Namun, sosok itu perlahan-lahan mulai berubah transparan. Dan selanjutnya lenyap.

Yui panik. "Gas???.. GAS!!!"

Matanya terbangun.

"Yui, lo nggak apa-apa?" Sahut Sri khawatir.

"Yui, ini kita-kita. Lo nggak lupa ingatan kan?" Timpal Dita sedikit tak sabaran.

SMA 2013 [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang