28

89 8 1
                                    

Biasanya saat Pasar Kemiri mulai sepi maka Suciwati pun akan bergegas menuju Stasiun Depok Baru untuk kembali ke Bogor, namun tidak untuk hari ini. Rasanya sangat enggan ketika harus membayangkan Suciwati akan bertemu dengan Bobby Permana, sosok sahabat sekaligus orang yang baru saja menyatakan perasaan sukanya kepada Suciwati.

Sebagai upaya menghindari bertemu kembali dengan Bobby Permana setelah semua pengakuan Tanpa basa-basi, begitu melihat Suciwati mereka segera menarik dan membekap Suciwati. Mereka bahu-membahu mengikat dan menutup mata Suciwati serta menyekap Suciwati di tengah Pasar Kemiri yang sudah ditinggal para pedagangnya.

Bukan hanya fisik Suciwati yang tersakiti, namun luka dalam jiwanya jauh lebih dalam. Laksana luka yang tak mengeluarkan darah, namun trauma dan jangguan kejiwaan yang begitu besar terus menghantui setiap langkah kaki Suciwati.

Di satu sisi yang lain dengan kesabaran yang selalu ditunjukkan Bu Ratna, dibantu dengan terapi dari seorang psikolog forensik Mabes Polri, perlahan namun pasti trauma mendalam yang dialami oleh Suciwati yang semula laksana gulungan benang kusut, satu per satu mulai dapat ditemukan ujungnya dan mulai dapat diurai.

Mungkin benar adanya apa yang disampaikan dari hati, maka akan sampai ke hati. Hal ini terbukti dengan kehangatan cinta dan kasih sayang yang selalu ditunjukkan dan diberikan oleh Bu Ratna, kebekuan dalam hati Suciwati perlahan mencair.

Meski masih sangat sedikit, namun Suciwati sudah mulai menunjukkan kemajuan dengan bersikap jauh lebih tenang serta mulai dapat diajak berkomunikasi. Lingkungan rumah singgah Kasih nan asri dengan celoteh riang anak-anak yang selalu bertandang, dirasa memiliki andil yang cukup besar dalam memberikan kenyamanan jiwa Suciwati.

Suciwati yang selalu bergeming, memandang kosong ruang di hadapannya, tampak mulai merespon keriuhan dan keceriaan yang ada di sekitarnya. Suciwati tak pernah menyadari bahwa dalam keheningan dunianya saat ini ada orang yang begitu kehilangan dan mencoba mencari serta menemukannya bagaimana pun caranya.

Sepasang mata nan begitu tajam, namun memancarkan berjuta kasih sayang tampak mengamati sosok Suciwati dari balik kacamata yang menambah kharisma dari pemilik wajah tersebut. Suciwati yang sedang duduk di samping rak buku pada ruang tamu rumah singgah Kasih tak pernah menyadari bahwa kehadiran dirinya dalam hidup laki-laki berhidung mancung dan pemilik mata elang itu akan menjadi pintu prahara lain dalam hidupnya.

Sejak pertama kali melihat Suciwati, ada sebuah getar halus dalam jiwa Satria putra semata wayang Bu Ratna yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Semakin Satria mengetahui nasib tragis yang menimpa Suciwati, rasa ingin melindungi Suciwati dalam jiwanya tumbuh semakin besar dan tak terbendung lagi.

Jika sebelumnya, Satria selalu menghabiskan waktu liburnya dengan mendaki gunung tidak lagi sejak adanya Suciwati di rumah singgah. Satria lebih senang duduk di ruang baca sambil ditemani buku-buku dengan tak lupa mencuri pandang kea rah Suciwati yang hanya mampu terpekur serta sibuk dengan alam bawah sadarnya.

Perlakuan Satria ini sontak membuat cemburu Tasya, salah satu penghuni tetap rumah singgah Kasih yang telah sekian lama memendam rasa ke Satria. Rasa cemburu dan kesal semakin bertumpuk, bukan hanya perhatian Bu Ratna yang mulai terbagi ternyata Satria pun memilih lebih memperhatikan Suciwati dibandingkan Tasya.

"Kak ... memangnya Tasya kalah apa jika dibandingkan dengan Suciwati?" Tasya tiba-tiba saja duduk di samping Satria sambil mengajukan pertanyaan yang tak pernah diduga sebelumnya oleh Satria.

"Apa maksudnya?" Satria balik bertanya heran setelah mampu menguasai keterkejutannya.

"Huhf, masih tidak mau mengakui juga. Sejak awal Suciwati datang ke rumah ini, Tasya lihat Kakak selalu memperhatikannya. Memangnya Tasya kurang cantik ya di mata Kakak!" Tasya tampak bersungut-sungut mendapati sikap Satria yang terlihat acuh.

"Siapa bilang, Tasya itu selalu cantik bahkan terlalu cantik untuk gadis-gadis seumuran," ujar Satria sambil berlalu menuju kamarnya.

Mungkin ucapan Satria tak lebih hanya sebagai basa-basi semata, namun entah mengapa pujian kecil itu telah mampu membuat wajah ayu Tasya seketika merona. Pipinya terasa panas, hatinya pun berdebar semakin kencang.

Siapa Pembunuh Itu?Where stories live. Discover now