Happy Reading
Jangan lupa vote dan komen
***Davina duduk termenung di balkon kamar rawat inap yang ia tempati. Ia sekarang lagi memikirkan jalannya ke depan nantinya. Apa yang aka ia lalui esok, seterusnya dan selanjutnya. Ia berpikir apakah saat ia menghembuskan nafas terakhir, orang tuanya akan berada di sampingnya, bersamanya dan menyayanginya.
Davina sangat ingin melihat semua orang yang amat ia sayangi, kembali seperti dahulu, yang hangat, yang lembut, yang penyayang. Namun, hal itu hanyalah bullshit belaka. Ia tidak membenci mereka, tapi ia hanya kecewa pada mereka yang tidak mempercayai dirinya.
Setetes kristal bening menetes. Hal italah yang sangat di benci Davina ketika mengingat sesuatu yang berhubungan dengan keluarganya. Ia sangat lemah ketika mengingat hal itu.
"Davina," panggil seseorang dari belakang.
Davina menolehkan kepalanya kepada seorang lelaki yang sangat rapi dengan dasi yang tersangkut dilehernya. Dia adalah sepupunya yang bekerja sebagai dokter di rumah sakit ini.
Davina tidak menjawab ia hanya tersenyum tipis melihat sepupunya itu. Ternyata, masih ada keluarga yang peduli pada dirinya. Davina melupakan satu hal, yaitu menghapus air mata yang menempel dipipi mulus miliknya.
"Lo nangis?" ucap Ferro sambil mendekati Davina yang sedang memegang infus.
"Hah! Gak lah," balas Davina sambil segera menghapus air matanya dengan spontan.
"Vina, Vina lo gak usah bohong ama gue," Ferro mengamati mata bengkak milik sepupunya itu.
Davina hanya diam dan kembali meneteskan sebulir kristal bening. Pikiran Davina melayang kemana-mana tak tentu arah. Ia kembali merasa tidak berguna lagi hidup di dunia ini. Kenapa ia hidup dihantui dengan kesalahan. Ya, walaupun bukan ia yang melakukan kesalahan itu. Davina hanya pasrah pada penyakit parah yang sedang dideritanya saat ini. Jika Tuhan, ingin mengambil nyawa-nya pun ia siap.
"Lo kenapa Vin, cerita sama gue," ucap Ferro menawarkan diri dan duduk dikursi yang ada di sekitarnya saat itu.
"Gue capek kak," balas Davina dengan pilu.
"Vin, gak boleh ngomong kayak gitu, kalo terkabul kayak mana?" tanya Ferro yang sangat bingung pada ucapan sepupunya itu.
"Kalaupun terkabul, gue yakin gak ada orang yang gue sayang dateng di hari sedih dan tragis itu." Rasa pilu itu berhasil menusuk dan mengoyakkan relung hati Ferro.
"Lo harus kuat Vin, gue yakin lo pasti kembali sembuh seperti sedialala dan bisa kumpul bareng lagi sama keluarga lo." Davina hanya bisa menjawabnya dengan senyuman tipis yang sangat miris ketika dilihat. Mungkin itu adalah senyuman fake yang ia tunjukkan.
"Bullshit kak," ucap Davina.
"Ya udah, daripada sedih-sedihan mulu, mendingan lo istirahat," ucap Ferro yang langsung diangguki oleh Davina.
***
Setelah tiga hari tidak bersekolah karena sakit yang dideritanya. Akhirnya Davina kembali bersekolah seperti sediakala. Namun, ia harus memperhatikan makanan yang ia makan, jangan melakukan banyak gerak. Ia berfikir pasti banyak pertanyaaan yang dilontarkan oleh teman-temannya pada dirinya.
Semua mata tertuju pada Davina. Tak tahu kenapa, mereka melihat Davina dengan tatapan meremehkan dan merendahkan, tidak hanya itu ia pun dihadiahi oleh teman satu sekolahnya ucapan pedas dan menohok.
KAMU SEDANG MEMBACA
DAVINA [Udah Terbit]
Teen Fiction'Cerita ini belum direvisi' Punya 'sequel' dengan judul: Devira. Ini bukan kisah manis di masa SMA. Ini juga bukan kisah cinta yang sangat susah untuk dilupa. Tapi, ini adalah kisah perjuangan seorang gadis rapuh bernama Davina. Hidupnya dipenuhi de...