Dvn|19

20.3K 1.3K 15
                                    

Happy reading kalian-- para Dipinilipirs(づ ̄ ³ ̄)づ

🔸

Obat memang pahit. Tapi, tak sepahit perjalanan hidupku.
-Davina Azzarannie
.

Davina terbangun dari tidurnya dengan napas yang tidak beraturan. Dia seperti habis berlari berpuluh-puluh kilometer. Matanya menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 02.14 dini hari. Dia berjalan ke arah meja belajarnya. Di sana dia mulai berkutat dengan pulpen dan beberapa alat tulis yang lain. Bukan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tapi menyempatkan dirinya untuk menulis diary yang sudah lama tidak ia lihat bahkan ia isi.

Dear keluargaku♡

Aku Davina, meminta maaf padamu.
Kumohon kalian melupakan tragedi itu.
Kumohon jangan menyalahkan diriku.
Sudah cukup aku menderita karena terus memikirkan itu.

Kalian tidak pernah tau betapa sulitnya hidupku saat ini.
Aku tidak butuh cacian kalian.
Tapi, aku sangat merindukan kehangatan.
Masalah baru juga muncul dalam hidup berat yang kujalani.

Dengan nada yang sangat halus, Kak Ferro mendiagnosa diriku terkena penyakit mematikan.
Saat itu yang kulakuan hanya diam tak tahu apa yang harus dikatakan.
Hatiku, remuk, hancur dan sangat sakit ketika mengetahui pahitnya kenyataan.
Kumohon, maafkan lah diriku ini supaya aku bisa hidup dengan tenang.

Harapanku cuma satu, kembali pulih karena dorongan dari orang tersayang bukan karena belas kasihan.

Davina.


Davina menutup buku bersampul biru muda itu perlahan dan menyimpannya kembali di laci meja belajar miliknya. Tak terasa setetes kristal bening kembali meluncur tanpa izin ke atas pipi mulus miliknya. Secepat kilat di menghapus air matanya dengan kasar. Dia kesal. Tangannya juga masih terasa sangat perih, akibat hal gila yang dilakukannya tadi malam.


Dia melirik lengan tangan kirinya yang sangat eksotis. Di sana terlihat beberapa sayatan yang masih belum mengering dan beberapa bekas sayatan memanjang di sana. Sungguh mengerikan.

Bosan dengan keadaan itu, Davina berjalan menuju balkon yang ada di kamarnya. Dia ingin menumpahkan seluruh keluh kesahnya pada langit dini hari pagi ini.

"Hai, langit. Kamu masih ingat sama aku?" Davina bermonolog sendiri. pandangan matanya tidak terlepas dari warna biru tua yang amat indah membentang dari hulu hingga ke hilir bumi ini.

"Hidupku jauh lebih berantakan ketika Ferro memberitahukan kenyataan yang sebenarnya. Langit ... kumohon temani aku dalam kesepian yang menyelimuti diri. Kumohon bahagiakan aku di sini." Davina kembali menumpahkan air mata kesedihannya.

Ternyata pandangannya terhadap kata pulang itu salah. Nyatanya pulang jauh lebih menakutkan daripada sebuah kematian. Kareba orang tua, serta saudaranya tak pernah menganggap dirinya ada.

Davina merasakan kesunyian dan dinginnya angin malam yang mambelai wajah cantiknya. Rambut yang tidak terlalu panjang miliknya juga tergerai bebas-- menambah kesan anggun pada cewek itu.

Tak terasa pusing kembali mendera kepalanya. Dia berpegangan dengan kuat pada pembatas balkon yang terbuat dari besi yang sangat kokoh yang ada di sana. Dia berjalan masuk ke kamar dan membiarkan kaca tebal yang membatasi antara balkon dengan kamarnya, terbuka. Dia mencari obat yang biasa ia minum ketika sedang berada dalam kesulitan seperti ini. Dengan segelas air yang ada di nakas, Davina menelan obat itu. Pahit. Tapi, tidak sepahit hidupnya. Entah, kenapa hidup seorang gadis itu sangatlah terjal bagai medan yang dilalui saat bermain arum jeram.

DAVINA [Udah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang