Dvn|18

21.1K 1.4K 132
                                    

Happy reading, kalian para Dipiniliprs(づ ̄ ³ ̄)づ
🔸

Aku pulang dengan membawa sejuta kerinduan yang akan terganti menjadi sebuah isak kepiluan.
-Davina Azzaranie Claresta

Raffa meraih tangan Davina dan menggenggamnya erat-erat. Tangan Davina yang dingin seketika menjadi hangat karena tangan Raffa. Dilihat oleh Davina, tangan mereka saling bersatu menyalurkan kehangatan disetiap detiknya.

"Vin, gue sayang sama lo. Izinin gue jagain lo, gue suka sama lo, Vin." Davina membuka mulutnya lebar-lebar, tidak menyangka Raffa akan menembaknya di taman ini.

Davina diam sesaat. "Fa, kasih gue waktu buat ngejawab semua itu, ya?" Davina meminta itu pada Raffa. Dia tidak maj menyakiti hati siapa-siapa di sini.

"Gue akan selalu nungguin jawaban lo, Vin."

"Thanks, Fa." Davina melepaskan tangannya dari genggaman Raffa, dan beralih menggenggam tangan hangat milik cowo yang ada di sampingnya saat ini.

"Apa sih yang enggak buat Davina, sang putri," balas Raffa dengan kalimat menggoda Davina.

"Lebay," gerutu Davina sambil tertawa. Raffa mengacak-acak puncak kepala Davina kerena terlalu gemas dengan tingkahnya yang sangat lucu--menurut Raffa.

Jauh dari sudut pandang dan sisi yang berbeda, terlihat seorang cewe yang sedang melihat kebahagiaan Davina dan Raffa dengan rasa cemburu yang sangat membara. Devina. Dia mengepalkan tangannya merasa tidak terima melihat mantan yang masih dicintainya bahagia bersama orang yang selalu ia nistakan.

"Davina, kenapa lo selalu ambil kebahagiaan gue?!" Devina bermonolog sendiri.

"Liat aja, Vin. Gue pasti dapetin Raffa lagi, dan lo ... gak bakal pernah bahagia." Senyum sinis dan menyeramkan terbit di wajah Devina, dia tersenyum layaknya seorang psycopath yang sedang ada target untuk dibunuh.

Davina kembali membawa sejuta kerinduan. Eh, ralat. Davina kembali ke rumah megah nan menyeramkan itu dengan sikap santai dan bodo amat. Walaupun dia merindukan tempat nyamannya, tapi dia tidak merindukan sama sekali isi rumah itu apa lagi orang-orang yang ada di dalamnya. Dia sekarang berusaha untuk tidak peduli dengan sekitar, dan lebih memperhatikan kondisi kesehatannya yang semakin hari semakin melemah.

"Aku pulang dengan membawa sejuta kerinduan yang akan terganti menjadi sebuah isak kepiluan. Rindu yang teramat dalam kukeluarkan demi melihat kalian. Maaf aku sudah lama tidak pulang, karena ada sesuatu yang tidak kalian tahu dari diriku saat ini." Davina terlihat bersajak sebelum membuka pintu rumah milik keluarganya.

"Halah, basi tau gak. Kenapa sekalian lo gak balik aja, muak gue liat muka lo," pedas Devina yang baru saja tiba di rumah.

"Gue ada salah apa sih sama lo? Kenapa kalian keliatan benci banget sama gue?" tantang Davina. Sengaja untuk memancing emosi Devina.

"Lo itu udah bikin adik kita celaka, goblok. Dia meninggal gara-gara lo. Lo masih gak mau ngakuin juga? Sadar goblok, mikir. Gue juga celaka gara-gara lo. Intinya lo pembawa sial dikeluarga ini. Selama, lo pergi rumah jadi kelihatan lebih bagus dan tentram! Jangan ngarep kalau kami merindukan diri lo yang hina itu, najis!" Devina meluapkan seluruh emosinya di depan rumah.

"Lo bebas ngatain gue hal yang lain. Asalkan lo gak hujat gue sebagai pembunuh aja gue udah seneng, Dev."

"Tapi, kenyataannya lo itu pembunuh." Devina bersiap untuk menampar Davina. Namun, segera di cegah oleh Azka, yang baru saja keluar dari dalam rumah.

"Kenapa gak jadi? Tampar gue, ayo! Gue udah siap buat dapetin siksaan persis yang kalian mau." Davina begitu kuat, dia tidak mengeluarkan setetes air mata pun di hadapan mereka. Tapi, hati Davina sangatlah terluka.

Devina masuk atas suruhan Azka. Dan sekarang tersisalah dua kakak beradik itulah di teras rumah.

"Kenapa sih?" tanya Azka.

"Kenapa?" bingung Davina.

"Kenapa, saat keluarga kami udah bahagia lo datang dan kembali merusak ketenangan dan kebahagiaan yang hadir saat lo pergi." Telinga Davina begitu panas mendengar kata 'kami' dalam ucapan Azka. Hatinya hancur lebur mengingat dirinya tidak masuk dalam keluarga itu.

"Bukan kami, tapi kita, Bang. Kenapa Abang bicara gitu?" Davina yang berusaha menahan air matanya.

"Karena kami gak pernah nganggep lo ada! Jadi, berhenti ngangep gue sebagai Abang lo. Dan lon gak pantes manggil gue Abang!" balas Azka dengan penuh penekanan.

"Kenapa? Bukannya kita terlahir dari rahim yang sama?" Davina menarik tangan Azka yang hendak pergi.

"Kita memang terlahir dari rahim yang sama. Tapi, gue dan keluarga gue gak mau punya saudara ataupun anak kayak lo. Pembunuh!" Azka melepaskan pengangan tangan Davina yang ada di lengannya dengan sangat kasar dan hampir membuat tubuh Davina hilang keseimbangan--karena begitu kuatnya Azka.

"Sehina itukah aku di mata kalian? Kenapa kalian gak pernah nganggep aku ada di sekitar kalian? Kuatkan lah hamba-Mu ini, Ya Allah. " Davina termenung meratapi nasibnya di sudut kamar.

Bayangan lima tahun yang lalu kembali berputar di kepala Davina. Dia kembali mengingat semua kejadian yang terjadi saat itu-- secara mendetail. Dia tidak menyangka semua kejadian itu berlangsung begitu cepat, bahkan Davina tidak memperhatikan adanya kejanggalan pada kasus pembunuhan itu.

"Enggak ... Vina bukan pembunuh, Ma. Mama gak tau semua kejadian yang ada di sana."

"Aku bukan pembunuh, Vina enggak ngelakuin itu." Davina menjambak rambutnya kuat, dia sudah tidak kuat menghadapi segala cobaan yang menerpa dirinya.

Diri Davina seakan ditusuk beribu-ribu jarum, pedang bahkan samurai. Sakit, bahkan sangat sakit ketika membayangkan kata-kata yang pedas keluar dari mulut Azka yang keluar dengan leluasa dan masuk ke dalam hati Davina dengan tiba-tiba.

Davina sekarang mengeluarkan gunting dari laci nakas yang ada di dekatnya. Dia kembali memulai aksi gilanya itu --melukai tangannya. Untuk merasakan sensasi perih yang lebih.

•••••
••••
•••
••

To be continued🥀

Kyaaaaa😆 ketemu lagi sama Aku, nih.
Gimana? Sesuai ama judulnya di atas, kan?-- special chapter.

Terima kasih buat dipinilipirs atas 20k dan 800nya(づ ̄ ³ ̄)づ
Aku sayang kalian semua-- para dipinilipirs, ya.

Maaf banget, author kalian ini jarang up, karena masih ada hal lain yang harus banget di selesaikan. Maaf sekali lagi, aku tau kalian kecewa ●︿●
Tapi, inilah hidup :)

Udah ah, aku mau pergi
C u in the next chapter, dipinilipirs

Alone.

Palembang, 03/05/2020.
Anindya Nafiera Putri Syatia.

DAVINA [Udah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang