Dvn|26

19.6K 1.3K 59
                                    

Happy reading Dipinilipirs
(づ ̄ ³ ̄)づ
🔸
.

Davina membuka pintu megah yang ada di depannya itu dengan perlahan dan mengakibatkan pintu itu mengeluarkan suara decitan pintu. Davina sudah lama tidak menginjakkan kaki di teras juga halaman rumah itu. Jujur dia takut, tapi rasa itu dia buang sejauh mungkin.

Davina melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah itu. Dan, ya, dia kembali di sambut dengan tatapan sinis dari keluarganya yng tengah berkumpul ria, menumpahkan kehangatan dan kebahagiaan yang ada, canda tawa juga menjadi pelengkap cerita mereka, tanpa memikirkan hati kecil seorang Davina.

Dia tersenyum pedih saat melihat pemandangan yang menyesakkan relung hati, jiwa juga raga. Davina menebalkan muka ketika melewati empat orang yang sedang menebar kehangatan di ruang keluarga itu.

"Heh! Kalau mau masuk itu, salam dulu!" sinis Devina.

"Udah, kok, makanya telinga itu digunain, bukan cuma dijadiin pajangan," sarkas Davina sambil melangkah menuju kamarnya.

Devina beranjak dari duduknya dan buru-buru menghampiri Davina yang masih berada di tengah tangga. Devina menjambak rambut Davina dengan sangat kencang. Dia sepertinya sangat marah pada kembarannya itu.

"Le ... lepasin, sakit," keluh Davina seraya berusaha melepaskan tangan Devina yang semakin kuat menarik rambutnya.

"Sa ... sakit, goblok." Davina mulai sedikit berteriak dan dengan sangat refleks mendorong tubuh Devina sehingga jatuh menggelinding sampai di tangga terakhir. Davina membuka mulutnya.

"Devina!" teriak Ivona panik.

"Kamu dasar anak kurang ajar! Saya tidak pernah mengajarkan kamu jadi seperti ini!" Reinaldo menunjuk wajah Davina yang sudah turun melihat kondisi kembarannya.

"Anda siapa saya? Saya tidak ingat jika punya keluarga seperti anda!" sarkas Davina.

"Davina! Jaga bicara kamu! Mama, Papa tidak pernah mengajarkan seperti itu!" tegas Azka.

"Mama, Papa? Bahkan orang tua saja saya tidak punya!" Davina mulai berteriak, melampiaskan semuanya. Dadanya kembali merasakan sesak. Di matanya sudah menggenang tetes demi tetes air yang penuh kepedihan.

'Plak' suara tamparan kembali menggema di rumah itu. Azka yang baru saja membuka mulutnya sudah pergi membawa adik tersayangnya ke rumah sakit. Davina memegangi pipinya.

"Dasar anak tidak tahu diuntung! Kamu itu harusnya bersyukur telah lahir dari keluarga yang kaya! Bukan malah bertindak seenaknya!" bentak Ivona setelah menampar Davina.

"Buat apa saya bersyukur? Saya bahkan mengeluh, karena telah dilahirkan di keluarga yang seperti ini! Keluarga itu selalu melindungi, bukan malah menyakiti, dan see kalian malah lebih sering menyakiti diri saya dengan perbuatan semena-mena! Apa itu pantas dipanggil keluarga?" Davina mengungkapkan semua kekesalannya.

"Heh! Dasar anak pembawa sial! Kamu tidak lihat perbuatanmu pada Devi? Kamu telah menyakiti Devi!" kini Reinaldo yang mengeluarkan suara.

"Itu bukan saya yang melakukannya! Anak anda lah yang tidak berhati-hati." Davina ingin pergi dari tempat itu, namun tangannya dicengkram kuat oleh sang ayah. Pria itu menggeret anaknya sama seperti menggeret karung beras. Cengkraman itu sangat kencang dan berhasil mengubah warna kulitnya menjadi sedikit kemerahan.

"Lepasin ... lepasin saya!" teriak Davina. Dia meronta-ronta untuk melepaskan cengkraman kuat sang Reinaldo.

"Diam kamu! Anak seperti kamu itu layak mendapat hukuman!" Reinaldo semakin mengencangkan cengkramannya.

"Lepas ... lepasin, saya mau pergi!" Davina kembali berteriak.

'Plak' tamparan kembali mendarat tepat di pipinya. Dia sangat kecewa pada orang tuanya yang sangat tega memperlakukannya seperti ini.

"Tampar aja terus, ayo tampar! Ayo tampar, Ma! Kalian pasti sangat senang melihat kondisi saya yang babak belur!" Davina kembali berteriak menyebabkan Ivona mendorongnya dengan sangat kuat hingga punggungnya membentur tembok kamar mandi.

"Dasar pembunuh! Kenapa kamu kembali lagi ke rumah ini, hah? Kenapa kamu selalu mengganggu kebahagiaan keluarga kami!" Ivona sangat emosi saat ini.

Ivona masuk ke dalam kamar mandi dan kembali menjambak rambut Davina dengan sangat kuat, hingga membuat Davina pusing. Davina bangkit karena jambakan itu, sedangkan Ivona justru sangat senang melihat Davina yang bangkit dari duduknya, di melihat bak mandi yang terisi penuh oleh air. Dia mencelupkan kepala Davina ke dalam bak itu, sambil menuangkan sumpah serapahnya di sana.

"Kurang puas kamu sudah membuat Aldo pergi, hah? Sekarang kamu mau coba-coba membunuh Devina? Kamu gila! Kamu itu pembunuh sialan, yang cuma bisa nyusahin keluarga!" Ivona mengangkat kepala Davina dan menatap Davina dengan tatapan yang membunuh. Namun, tatapan itu hanya dibalas Davina dengan senyuman meremehkan.

"Aldo pergi itu bukan karena saya! Dia pergi-"

"Sudah diam kamu!" Reinaldo mendorong Davina hingga kepala Davina kembali membentur bak mandi.

Ivona dan Reinaldo pergi dari tempat itu dan menyusul anak kesayangannya-- Devina-- yang sedang berada di rumah sakit.

Davina duduk lemas dan tidak berdaya. Dia sangat tidak menyangka, hari ini dia akan kembali diperlakukan seperti itu. Dia sangat kecewa pada kedua orang tua dan saudara-saudaranya.

"Segitu bencinya kalian sama aku. Salah aku apa?" lirih Davina sambil menyeka air mata yang jatuh membasahi pipinya.

Davina sangat lelah. Dia ingin mengakhiri semuanya. Namun, hati dan pikirannya sedang tidak sejalan. Sekarang dia sangat-sangat hancur, sehancur-hancurnya. Dia merasakan sakit dan nyeri yang luar biasa.

Perpaduan yang sangat bagus terasa pada diri Davina. Mulai dari, perih di pipi, sakit di punggung, pusing, juga sesak dan perih yang menjalar di hatinya. Sakit, yang ada di hatinya tidak sebanding dengan apa yang dia rasakan saat ini.

Davina mencoba bangkit dari duduknya itu. Dia berpegangan erat pada bak mandi dan menatap pantulan wajahnya lewat cermin yang ada di depannya. Dia melihat wajahnya yang sangat kusut juga kusam di sana.

Dia berjalan dengan sangat pelan. Keluar dari kamar mandi dan berniat untuk beristirahat di kamar miliknya. Pusing? Tidak usah ditanya lagi. Dia sangatlah pusing, pusing memikirkan hidupnya, memikirkan dirinya, dan juga pusing memikirkan seluruh anggota keluarga yang sangat membencinya.

Tiba di tangga paling atas, Davina merasakan seperti ada beribu-ribu jarum menusuk kepalanya. Dia juga merasakan sesuatu yang menjalar keluar dari hidungnya. Ya, darah segar nan kental keluar dari hidung mancung tanpa izin.

Dia tidak lagi bisa melangkahkan kakinya. Tulang-tulang kuat yang ada di kakinya seakan tiada digantikan dengan jely yang sangat lembut. Dia kembali terduduk dan pingsan kembali menghantui gadis itu.

•••••
••••
•••
••

To be continued

Puft ... gila banget dah emaknya Dapina. Eh, gemes akutu. Gimana sama part ini?

Dahlah, mager. See you next chapter Dipinilipirs(。’▽’。)♡

Jangan lupa vote, comment, and follow

Alone.
Palembang, 28/05/2020
Anindyanfra_

DAVINA [Udah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang