Dvn|16

23.8K 1.5K 64
                                    

Happy reading Dipinilipirs
(づ ̄ ³ ̄)づ
🔸

Matahari senja memanglah sangat indah. Namun, hanya datang sesaat. Hal itu layaknya kebahagiaan Davina yang hanya berlangsung sebentar, setelah mengetahui keadaan dirinya yang sebenar-benarnya, dia kembali memikirkan apakah dia bisa sembuh? Apakah teman-temannya masih ingin berteman dengan dirinya yang mengidap penyakit kelas berat ini? Keluarga? Pasti sangat senang jika Davina tidak lagi berada di sela-sela mereka, menjadi bayang-bayang yang tidak diinginkan keberadaannya.

Davina duduk termenung sambil menikmati matahari senja di balkon rumah sakit. Entah, kenapa dia begitu menyukai tempat sederhana itu sejak hari pertama dia datang ke rumah sakit itu. Pikiran Davina melayang kesana-kemari tak tentu arah yang akan dituju. Keluarga, sahabat, teman, rekan, atau bahkan lingkungan semua ada dalam otak Davina saat ini.

Tapi, satu yang melekat, keluarga. Dia sangat sedih dan tertekan ketika mengingat sosok dari anggota keluarganya. Dia juga tidak habis pikir kenapa dia sangat dibenci? Kacau, ketika Davina membuka kenangan lama yang tersimpan rapi di dalam memory otaknya, pasti diiringi dengan kristal bening  yang ikut mengalir terbawa arus dari pemikiran Davina yang sangat deras. Ya, tangisan. Tangisan haru menyelimuti dirinya sekarang ini.

Dia seakan gila oleh semua yang ia hadapi saat ini. Tidak ada sandaran. Tidak ada keluarga yang menemani di masa-masa sulit yang Davina lalui. Setiap langkah yang dijalani terasa berat, seperti ada batu-batu besar yang mengiringi jalan Davina.

"Vin?" panggil Ferro yang sedih melihat kondisi sepupunya itu. Dia menghampiri cewe itu dan mengelus pundaknya, menyalurkan kekuatan.

"Hm." Vina yang dulu terlihat sedikit labih ceria menjadi Davina yang sangat tertutup, setelah mengetahui kenyataan pahit yang dideritanya sejak beberapa bulan lalu.

"Vin, kamu jangan terlalu mikirin penyakit kamu, gak baik buat kesehatan dan kondisi tubuhmu." Ferro menatap Davina dan menghapus air mata Davina yang perlahan mulai mengering.

"Vina, enggak mikirin soal itu, kok, Kak." Davina mengelak dan menolehkan kepalanya ke arah lain. Bohong. Memang Davina sedang berbohong kepada Ferro dan diri sendiri.

"Kamu gak bisa bohong sama, Kakak, Vin," balas Ferro sambil mengusap puncak kepala Davina.

"Aku capek, Kak. Aku gak sanggup harus hidup seperti ini. Aku seperti hidup di kandang harimau yang menerkam diriku perlahan-lahan," keluh Davina sambil kembali menangis. Sudah banyak luka yang disimpan Davina. Dia sangat ingin mengakhiri dan membuang luka itu. Tapi, takdir tidak mampu mendukungnya.

"Hei, Vin, jangan ngomong seperti itu. Kamu enggak sendiri, Vin. Masih ada Kakak, Naya, Raffa, dan teman-teman kamu yang lain." Ferro kembali mengusap bahu ringkih milik Davina.

"Tapi, Vina gak mungkin cerita sama mereka semua, tentang penyakitnya Vina, Kak. Vina takut, mereka gak bisa nerima kondisi Vina yang seperti ini." Pundak Davina mulai gemetar, dia menagis dan mengeluarkan seluruh keluh kesahnya pada seorang kakak sepupu yang selalu datang disaat yang tepat.

Ferro memeluk Davina menenagkan gadis itu dengan cara tersendiri. Dia tahu, seberapa tertekannya Davina ketika mengetahui penyakit kelas berat yang dideritanya. Dia harus mengorbankan masa mudanya demi mencapai kesembuhan. Namun jika, Tuhan mengizinkan hal itu terjadi.

"Suts, kamu gak boleh ngomong gitu. Mereka pasti nerima kamu dengan apa adanya bukan karena ada apanya," ujar Ferro tepat di telinga Davina. Namun, dia tidak merasakan respon dari Davina. Dan ya, Davina kembali tidak sadarkan diri.

***

Raffa duduk di kantin sambil meminum jus yang belakangan ini menjadi kesukaannya. Hari-hari berlalu, Davina juga belum menampakkan batang hidungnya setelah kejadian beberapa hari yang lalu. Raffa begitu kesepian. Dia masih baru di sekolah ini dan belum mendapatkan teman yang menurutnya pas. Raffa bangkit dari duduknya dan mulai menelusuri koridor sekolah, siapa tahu dia berhasil mendapatkan pencerahan di sana. Dia masih khawatir dengan Davina, sudah beberapa hari tiada kabar.

Raffa tidak hanya khawatir, tapi juga merindukan sosok gadis yang sangat tegar itu. Dia sudah menelpon Davina lebih dari 50 kali hari ini. Namun, tidak ada respon positif disetiap panggilan yang ia lakukan.

Lama melamun dengan tatapan kosong sambil berjalan di koridor, Raffa tidak sengaja mengabrak orang yang ada di hadapannya.

"Aw," ringis Devina. Dan langsung saja bangkit karena bantuan dari seorang Raffa.

"Eh, maaf-maaf, lo gakpapa, kan?" tanya Raffa memastikan.

"Engg ... Raffa?" balas Devina kaget, karena orang yang dia lihat adalah mantan pacarnya.

"Devi? Maaf, ya, gue gak tahu," ujar Raffa sambil menggaruk alisnya yang tidak gatal.

"Iya, Fa. Gu ... gue gakpapa, kok," gugup Devina karena belum terbiasa dengan paggilan 'aku-kamu' yang mereka dulu sering pakai.

"Devi, gue duluan, ya, ada urusan," balas Raffa dan kemudian berlari menjauhi Devina yang masih setia melihat punggung itu menjauh dan menghilang dari pandangannya.

Devina tahu, Raffa sedang menjauhi dirinya. Mungkin karena Devina telah memutuskan kontak secara sepihak dengan Raffa dan pergi tanpa kabar. Devina sungguh sangat menyesal kala itu, tidak memberi tahu Raffa bahwa dirinya pergi ke Bandung karena papanya dipindahkan tugas di sana.

"Aku sayang banget sama kamu, Fa," ucap Devina sambil menatap bintang-bintang di langit bersama Raffa yang ada di sampingnya.

"Aku, juga Vi."

Sepotong kenangan indah itu kembali terbuka dan menampak diri kepermukaan. Devina tidak bisa membendung rasa sayangnya kepada Raffa yang terhambat oleh jarak dan waktu.

"Aku harus dapetin kamu lagi, Fa. Apa pun caranya." Devina pergi meninggalkan koridor itu dan berlari ke perpustakaan untuk membaca buku yang menarik di sana.

***

"Agrhhh, kenapa disaat gue udah lupain dia. Dia kembali datang dan menunjukkan dirinya seolah tidak merasa bersalah." Raffa sedang memukul samsak yang ada di depannya dengan penuh amarah. Sudah bertahun-tahun dia melupakan gadis yang amata dicintainya dulu, dan sebentar lagi mendapatkan penggantinya, dia malah datang dan kembali membuka kenangan lama yang sudah ia buang.

•••••
••••
•••
••

To be continued~
Selamat 17 ribu dipinilipirs🌹

Nah loh, ternyata Si Devina adalah mantan Raffa.

Gimana suka sama Davina di capther kali ini?

Maap-maap aja nih, ya, kalau banyak typo di mana-mana.

Udah ah, Aku mau pamit dulu, dadah c u next chapter

Alone.
Palembang, 26/04/2020
Anindya Nafiera

DAVINA [Udah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang