Happy reading
Para Dipinilipirs tersayang
(づ ̄ ³ ̄)づ
🔸
Sudah takdirku seperti ini. Tuhan membuatku terjatuh dan mungkin lupa membuatku bangkit.-Davina Azzaranie.
.Suara siulan burung sangat merdu terdengar. Angin sejuk juga sudah membelai. Suara ranting dan juga dedaunan yang beradu menjadikan susana saat ini menjadi sangat asik dan juga menenangkan hati. Senyuman manis nampak mengembang di wajah cantik milik gadis yang tengah duduk di taman belakang sekolah sambil menikmati pemandangan hijau di sana. Ya, bisa dikatakan para komunitas pecinta alam sekolah Davina merawat taman itu dengan sangat baik. Terbukti jika kita datang ke sana, kita langsung disambut pemandangan indah yang tidak terkira.
Tanpa disadari Davina adalah orang yang datang pertama ke sekolah pada hari ini. Mungkin karena dia ingin menyempatkan diri datang ke caffe-- eh ternyata tempat yang dituju tutup-- temannya yang bernotabene sebagai pemilik caffe tidak pernah lagi menghubungi Davina.
"Ris, lo di mana? Kenapa gak ada kabar, sih!" Davina menatap layar ponselnya yang sedang menampilkan forum chat bersama Rissa-- sahabatnya sekaligus sahabat Kanaya.
Telinga Davina masih setia dengan earphone yang melantunkan lirik lagu kesukaannya. Earphone putih itu menggantung manis di sana seraya membunyikan sebuah melodi indah ditambah lagi lirik lagunya juga sangat, wah. Nyaman. Hari ini Davina merasakan kenyamanan yang sangat luar biasa. Pemandangan indah, musik yang menenangkan juga semilir angin sejuk juga menambah kesenangan Davina yang hanya sementara ini.
Pikiran Davina melayang pada pertanyaan Raffa yang belum sempat dia jawab, kemarin. Tiba-tiba saja hatinya berdegup kencang saat memutar memori yang tersimpan rapi di dalam hati dan otaknya. Jujur, Davina juga menyukai Raffa-- karena sikap baik, dan juga pengertian yang cowo itu miliki.
"Apa gue terima aja, ya, si Raffa?" Davina kembali bermonolog.
Dia melihat bunga mawar yang sangat cantik dan di taman itu. Sifat iseng Davina kembali muncul. Dia memetik bunga mawar itu. Tapi, belum sempat dia memetiknya, tangannya sudah berdarah akibat tusukan duri. Indah, tapi sangat menyakitkan.
"Aw, bunganya bagus, tapi terlalu menyakitkan." Davina bermonolog lagi, lagi, dan lagi. Dia kemudian melihat jari telunjuk tangannya yang sudah mengeluarkan sedikit darah. Davina bangkit dan berjalan santai menuju toilet sekolah, untuk mencuci tangannya-- menghilangkan bekas darah segar itu.
Namun, dia kembali diterpa sebuah cobaan yang tidak lah besar. Ya, dia kehilangan keseimbangan di koridor yang mengakibatkan dirinya terjatuh. Dia melihat orang yang menabraknya juga terjatuh-- Devina. Devina menatap Davina dengan sangat tajam. Menyiratkan dendam di sana. Keduanya sudah bangkit dari posisi terduduk mereka. Mata Devina mrmancarkan kilatan kebencian saat menatap Davina yang masih memandangi nasib tangannya itu. Sakitnya memang tidak seberapa, tapi ya harus tetap diperhatikan, menurut Davina.
Ucapan panas dan pedas mulai keluar dari mulut Devina, bagaikan gunung berapi yang sedang mengeluarkan semua uneg-unegnya. Eh, lava maksudnya. Takut? Bukan Davina namanya kalau dia takut menghadapi kembarannya yang sekaligus merangkap jadi anak kepala sekolah yang terhormat.
"Lo gak bisa jalan, ya?! Lo gak punya mata?! Dasar goblok!" Devina memandang remeh kembarannya itu.
"Lo gak liat, mata gue ada di sini. Bahkan sama persis kayak mata lo," balas Davina santai, namun lebih tajam. Sambil menunjuk matanya dan mata milik kembarannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
DAVINA [Udah Terbit]
Teen Fiction'Cerita ini belum direvisi' Punya 'sequel' dengan judul: Devira. Ini bukan kisah manis di masa SMA. Ini juga bukan kisah cinta yang sangat susah untuk dilupa. Tapi, ini adalah kisah perjuangan seorang gadis rapuh bernama Davina. Hidupnya dipenuhi de...