Happy Reading
Jangan lupa vote dan komen
***Davina sudah sampai di rumah orang tuanya karena diantar oleh Raffa. Sore itu sungguh berkesan bagi keduanya. Senyuman lebar mengembang di wajah kedua insan yang sedang dilanda asmara.
"Makasih Fa," ucap Davina sambil tersenyum pada Raffa.
"Lo udah ngucapin itu lima kali Vin," jawab Raffa sambil mengacak-acak rambut Davina gemas. Iya, Raffa sangat gemas dengan tingkah Davina yang begitu lugu.
"Lo ngitungin? Ya ampun kuker banget sih Fa." Davina terkekeh kecil saat mengetahui bahwa dia sudah mengucapkan kata itu lebih dari dua kali.
"Ya emang sengaja gue itungin. Yaudah sana masuk, gue mau balik." Raffa menyalakan mobilnya dan bersiap untuk menginjak gas.
"Iya." Davina masuk dan menutup pintu pagar hitam nan kokoh itu.
Sedari tadi interaksi antara Raffa dan Davina disaksikan secara langsung oleh Devina dan Azka. Dan mereka merencanakan sesuatu supaya Davina kembali tersiksa. Entah kenapa bukannya merasakan perih yang dirasakan oleh Davina, Devina justru merasa senang ketika saudaranya itu kesakitan dan mendapat siksaan.
Davina menapakkan alas kakinya di depan pintu rumah itu. Dia memegang tas erat-erat seolah menguatkan hatinya dan berfikir apa yang akan ia rasakan untuk hari ini, apakah siksaan? Atau cacian? Belum sempat membuka pintu, Davina terkejut saat mama beserta Devina. Devina tersenyum dengan penuh arti sambil melirik Davina yang sekarang sudah mundur ke arah belakang.
"Masih inget pulang kamu?" sarkas Ivona sambil menatap jijik anaknya itu.
"Jam berapa ini? Kamu gak punya otak? Pulang jam segini!" Kini gantian sang ayah 'lah yang mengeluarkan suaranya.
"Davina minta maaf Pa," ucapnya lirih sambil menundukkan kepalanya, ketakutan.
"Halah, maaf lo itu udah basi!" Davina menimpali.
"Kamu itu cewek, gak usah malu-maluin keluarga! " Mendengar itu mata Davina memelotot kaget.
"Anda boleh nyiksa saya sepuasnya. Tapi, anda gak berhak buat... ," ucapan Davina terhenti saat tangan Devina sudah dengan leluasa menjambak rambutnya. Davina sama sekali tidak mengeluh, bahkan menangis pun tidak, dia sudah lelah akan kejadian-kejadian ini.
"Udah berani jawab kamu ya!" Tarikan Devina semakin kencang dan membuat kepala Davina terasa sangat pusing dibuatnya.
"Itu hak saya. Saya punya mulut untuk berbicara, dan anda tidak berhak memojokkan saya seperti tadi," ketus Davina yang sudah tersulut emosi.
Plak
Tamparan mendarat dengan mulus di pipinya, itu bersamaan dengan jambakan saudaranya terlepas. Akan tetapi, penderitaan Davina belum cukup sampai di sana. Hatinya, jiwa serta raganya kembali berkabut untuk malam ini, kabut banyak dan cukup menyesakkan. Baru tadi ia merasakan kesenangan, sekarang sudah merasakan bertubi-tubi jarum yang menusuk hatinya.
"Dasar kamu anak kurang ajar, saya tidak pernah mengajarkan kamu untuk menjawab perkataan orang tua." Ivona menunjuk-nunjuk Davina yang masih memegangi pipinya dengan sudut bibir yang sedikit mengeluarkan darah segar.
KAMU SEDANG MEMBACA
DAVINA [Udah Terbit]
Teen Fiction'Cerita ini belum direvisi' Punya 'sequel' dengan judul: Devira. Ini bukan kisah manis di masa SMA. Ini juga bukan kisah cinta yang sangat susah untuk dilupa. Tapi, ini adalah kisah perjuangan seorang gadis rapuh bernama Davina. Hidupnya dipenuhi de...