Chapter 23

34 13 15
                                    

"You look beautiful, Halina."

Bukannya tersanjung, Halina justru merasa muak mendengar pujian Darren. Dia tidak berhenti menyalahkan dirinya yang terlalu bodoh untuk menyadari perasaan Darren padanya meskipun Nat sudah berulang kali menegaskannya.

"Kau sudah memilih gaun yang akan kau kenakan?" tanya Darren lagi.

Halina masih membisu, sengaja tidak menjawab satupun pertanyaan Darren sebelum pria itu menjawab pertanyaan yang dia tanyakan begitu mereka bertemu sesaat setelah Halina mendarat di LA.

"Apa tujuanmu sebenarnya? Kenapa kau melakukan ini padaku? Tidak bisakah kau membantu keluargaku tanpa melibatkanku? Mereka bahkan hanya menganggapku sebagai aib, kenapa kau harus melibatkanku?"

"Kita akan bicarakan semuanya nanti, Halina."

Hanya seperti itulah tanggapan Darren. Tidakkah dia memiliki sedikit empati pada Halina? Kenapa dia tega menyeret Halina ke altar sebagai pertukaran atas dana yang akan diperoleh oleh orangtuanya? Oh tentu saja Halina tidak lupa syarat yang diminta Darren. Memikirkannya lagi membuat Halina marah.

"Baiklah. Aku akan menelepon butiknya dan mengirimkan beberapa gaun yang paling bagus ke rumahmu besok."

Halina masih terdiam.

"Kau tidak suka makananmu?" tanya Darren sambil menatap piring di hadapan Halina yang tidak tersentuh. "Kau mau makanan yang lain?"

Satu-satunya hal yang Halina inginkan adalah pergi dan menghilang dari hadapan orang-orang ini. Pergi menjauh dan hidup berdua dengan putranya dengan damai. Tapi rupanya keinginan sederhana itu terlalu mewah bagi seseorang sepertinya karena setiap kali kesempatan itu terlihat dan Halina mulai berharap, secepat kedipan mata pula kesempatan dan harapan itu menguap.

"Aku masih ingat kali terakhir kita makan siang bersama di tempat ini."

Yah, aku juga masih ingat. Karena kelancanganmu menciumku disini siang itu, sepupumu yang brengsek itu menghancurkan hidupku tanpa mau mendengar apapun.

"Aku masih ingat gaun berwarna hijau yang kau kenakan. Kau terlihat cantik saat itu," kata Darren. "Ahh, kau selalu terlihat cantik dalam pakaian dan kondisi apapun," lanjutnya sambil tersenyum.

Halina sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia berniat melibatkan diri dalam obrolan makan siangnya bersama Darren. Dia hanya menatap meja, dan kedua tangannya memeluk kandungannya.

Darren membuang nafas pelan. Sepertinya Halina berhasil menguras kesabaran pria itu. "Kita akan menikah minggu depan. Tidakkah tindakan silent treatment-mu ini terlalu cepat?"

Halina tetap tidak mengangkat wajahnya untuk melihat bagaimana ekspresi Darren. "Fine! Aku akan belajar membiasakan diri dengan sikap diammu mulai sekarang. Kau bisa marah, diam atau apapun. Aku akan terima semuanya. Aku akan terima selama kau melakukannya disisiku."

Darren meraih gelas wine miliknya, meneguknya sedikit. "Meskipun aku lebih suka kau bersuara dibanding hanya diam membisu saat malam pertama kita nanti."

Diluar dugaan, kata-kata Darren barusan berhasil memancing ekspresi di wajah cantik Halina. Halina mendongak, menghunuskan tatapan tajam dengan mata hijaunya yang tampak benci.

"Kita akan segera menikah. Dan aku pasti akan mengklaim hak-ku sebagai seorang suami. Tentu saja setelah dia tidak ada diantara kita," ucap Darren sambil mengernyit menatap perut buncit Halina.

Halina mempererat pelukan kedua tangannya seakan meyakinkan bayinya untuk tidak risau.

"Siapa dia?" tanya Darren tiba-tiba sambil menatap Halina. "Pria yang kau berikan keistimewaan untuk menyentuh tubuhmu dan bahkan meninggalkan jejak di rahimmu. Siapa dia?"

Me, Without LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang