"Itu kapal kita?"
Mereka bertiga akhirnya tiba di pelabuhan setelah berjalan kaki selama hampir empat puluh menit. Tentu saja jika Halina tidak hamil, jarak itu bisa mereka tempuh dalma waktu kurang dari dua puluh menit. Selama berjalan, tak satupun yang bersuara. Adrian hanya diam sambil sesekali menoleh singkat. Mungkin untuk memastikan bahwa Nat dan Halina tidak jauh tertinggal. Nat juga berubah menjadi pendiam. Terlebih setelah menatap wajah Adrian dengan jelas yang menurutnya... luar biasa tampan. Typical.
Halina juga tak bersuara meski dalam hati terus-menerus merapalkan doa agar semuanya lancar. Tuhan tahu betapa dia ingin kabur meninggalkan semua kekacauan dan memulai hidup baru bersama bayinya.
"Yah." Jawaban singkat Adrian dibalas tatapan sinis oleh Nat.
"Bagaimana kau akan membuat kami masuk ke sana?" tanya Nat lagi.
"Aku bekerja disana."
"Kau teknisi?"
Adrian menggeleng.
"Aku tidak akan percaya kalau kau bilang kau adalah Kapten kapalnya," kata Nat.
Adrian tidak menjawab. Mereka berjalan menuju tangga yang menjadi satu-satunya akses masuk ke kapal besar di hadapan mereka. Tangga itu cukup tinggi dan nampak bergerak tak stabil karena gerakan ombak dibawahnya. Di dasar tangga terlihat dua orang pria tampak sedang berbicara. Kedua pria itu menghentikan pembicaraan ketika melihat sosok Adrian.
"Gregory," sapa Adrian sambil mengangguk singkat.
Seorang pria mendekatinya lalu berbicara pelan, "Aku tidak bisa, Adrian. Batalkan saja."
Adrian nampak terkejut, dia menoleh sebentar mungkin untuk memastikan apakah Halina ataupun Nat mendengar pembicaraan mereka. Adrian memasang wajah serius. Nat yang menyadari gelagat ganjil itu lantas berujar, "Adrian, apakah semuanya baik-baik saja?"
Suara berat pria lain menyela jawaban Adrian. "Sure, selama the princess kembali bersama kami maka semuanya akan baik-baik saja."
Halina dan Nat berbalik bersamaan. Disana, tak jauh di belakang mereka berdiri tiga orang pria berbadan besar, berpakaian serba hitam. Tidak ada ekspresi di satupun wajah mereka seakan wajah mereka diukir langsung dari batu. Khas orang-orang Charlie Dixon.
"Jangan berpikir untuk kabur, nona. Tempat ini sudah dikepung. Kemanapun kau lari, kami akan tetap menangkapmu. Jadi lupakan usaha sia-siamu untuk kabur, karena jujur saja kami mulai lelah harus hidup berpindah-pindah hanya untuk mengurus seorang wanita muda."
"Kalau begitu berhenti mengurusi kami dan urus saja kepentinganmu sendiri," balas Nat. Disebelahnya, Halina dapat mendengar getaran dalam suara lantang sahabatnya itu. Nat, yang selama ini selalu berdiri di depannya untuk hal apapun, sekarang sedang gemetar ketakutan.
"Kudengar kaulah otak pelariannya," kata pria tadi. "Well, aku memang tidak menyangka anak pungut sepertimu lumayan juga. Tapi karena acara lari kalian sudah berakhir, kusarankan kalian ikut secara baik-baik. Mr. Dixon tidak menyebutkan bahwa aku harus membawa kalian dengan penuh sopan santun," lanjutnya. "Dan aku ingat jelas bahwa Mr. Dixon hanya meminta putri kecilnya naik ke pesawat yang akan terbang ke Sydney besok pagi dalam kondisi baik-baik saja. Tidak ada instruksi apapun tentangmu, anak pungut," katanya sambil melempar tatapan keji.
Halina memahami dengan jelas implikasi dibalik kata-katanya. Sepertinya ayahnya tidak peduli apakah dia terluka atau tidak. Dia hanya ingin Halina tiba di Sydney.
"Mereka sudah cukup umur untuk mengambil keputusan sendiri!" Adrian melangkah mendekat, membuat pandangan Halina terhalang punggungnya yang lebar dan tegap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me, Without Love
RomanceMature Content Read at your own risk Sepuluh tahun lalu, Halina Dixon, gadis cantik penurut pujaan banyak pria, dipaksa menghadapi mimpi terburuk bagi kaum wanita. Dia dilecehkan dan diperkosa oleh pria yang dalam tiga bulan akan menjadi kakak iparn...