Chapter 8

57 14 6
                                    

Sofia terkesiap mendengar suara tamparan keras tapi tidak berani mengangkat wajahnya. Disampingnya, Natasha tampak mengepalkan kedua tangannya dengan napas tertahan. Sofia menggenggam pergelangan tangan kiri gadis itu untuk menahannya agar tetap berdiri ditempat dan tidak melakukan hal-hal yang akan memperburuk keadaan.

"Sungguh keterlaluan!" teriak Charlie Dixon. "Selama ini kau dibesarkan secara terhormat! Apapun keperluanmu selalu terpenuhi. Inikah balasanmu? Mempermalukanku dengan hamil diluar nikah?!"

Tangan Halina bergetar menyentuh pipinya yang memerah bekas tamparan ayahnya. Wajahnya menunduk tanpa ekspresi. Keceriaan yang selalu dia tampilkan kini lenyap ditelan amarah sang ayah.

"Mommy sudah sangat kecewa dengan apa yang dilakukan kakakmu tahun lalu. Tapi dia melakukannya karena saling mencintai dan kakakmu rela meninggalkan pria tidak jelas itu demi menikah sesuai keinginan Daddy," ucap Isabela getir. "Tapi kau... Ya Tuhan, Halina!"

Charlie mencengkeram siku Halina, setengah menarik lengannya yang semampai. "Siapa dia? Katakan padaku siapa pria itu, hah?"

Halina tidak menjawab. Bibirnya mengatup rapat, lidahnya kelu. Delapan belas tahun dia selalu berusaha menjadi gadis yang baik, menjadi putri yang tidak menimbulkan masalah bagi orangtuanya. Tuhan tahu bagaimana dia menahan diri, menekan semua perasaan dan keinginannya agar tidak egois.

Dia hanya melakukan satu kesalahan: memendam perasaannya.

Mungkin seharusnya dia mengatakan perasaannya pada Anthonio saat pria itu menciumnya mesra di depan pintu rumah setelah mengantarkannya dari pertunjukkan Skyla Abernathy. Atau saat pria itu menciumnya posesif dua minggu lalu. Atau bahkan saat pria itu menghancurkan kehormatannya.

Mungkin seharusnya dia mengatakan pada Isabel bahwa dia ingin ibunya itu tinggal di rumah dan membatalkan penerbangannya ke Paris.

Mungkin seharusnya dia menolak ayahnya saat pria itu mengatakan padanya harus menjadi gadis seperti apakah dia nantinya.

Mungkin...

"Jawab aku, Halina!" teriak Charlie marah. Di usianya yang hampir lima puluh tahun, beberapa helai rambut putih sudah mulai menghiasi kepala Charlie. Biasanya rambut-rambut putih itu disisir sedemikian rupa agar tersembunyi diantara rambut gelapnya yang lain. Tapi hari ini, rambut itu tampak acak-acakan.

"Sudah berapa lama kau mengenalnya?" kali ini suara Isabela terdengar lebih tegas. "Dimana kalian biasanya bertemu? Apa dia alasanmu menolak menyusul kami ke Paris?"

Halina hanya menatap ibunya datar.

"Demi Tuhan, Halina! Katakan sesuatu!" teriak Isabel. "Kakakmu akan menikah dua bulan lagi dan kau justru menimbulkan aib baru bagi keluarga."

Kata-kata Isabel sukses mengalirkan air mata Halina. Dengan hasil visum yang dimilikinya, Halina berpikir ayahnya akan berteriak marah dan segera menuntut keluarga Smith. Halina kira ibunya akan memeluknya erat sambil mengatakan kalimat-kalimat menenangkan seolah-olah semuanya akan baik-baik saja. Seakan dia akan baik-baik saja.

Tapi tidak.

Bukannya perlindungan atau pembelaan, yang Halina dapatkan adalah tamparan keras dan makian. Dari orangtuanya sendiri.

"Kau adalah aib terburuk sepanjang sejarah keluarga Dixon!"

Setelah mengatakan hal itu, Charlie lantas berbalik meninggalkan ruangan. Halina masih duduk ditempat yang sama, nyaris tidak bergerak.

"Tidak pernah sekalipun Mommy mengira kau mampu melakukan hal serendah itu, Halina. Mempermalukan keluargamu. Mommy benar-benar kecewa padamu." Kepergian Charlie disusul oleh Isabela, meninggalkan Halina bersama Sofia dan Natasha.

Me, Without LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang