Setelah selesai melepas sepatu dan kaos kaki, lalu mengembalikannya ke rak, Ziva langsung berjalan cepat menaiki tangga menuju kamar. Ia sudah bisa menebak, orang tuanya pasti akan memberikan siraman rohani tentang apa yang ia lakukan di sekolah.
Andai saja orang tuanya tidak memberikan kepercayaan pada orang khusus untuk mengurus hotel, pasti ia bisa menghindari segala kekacauan emosi yang mungkin saja akan terjadi beberapa saat lagi.
Namun, sepertinya ia sedang tak beruntung hari ini. Mata Mela dan juga Hardie yang sedang menyantap camilan sore, seketika melihat sebuah pita merah berlari menaiki tangga.
Sebuah dehaman seketika menggantikan suara ketukkan sendok di piring Hardie dan Mela. Ziva sadar akan hal itu, hingga kakinya berhenti di satu tingkat akhir. Memang jarak tangga dan juga ruang makan tak begitu jauh, bahkan orang yang sedang berada di sana bisa mengetahui aktivitas apa yang dilakukan sebelum memasuki kamar.
"Ziva," panggil Mela yang kini sudah menyusul. Ya ... dengan cepat ia menaiki tangga, dan sudah berdiri tepat di belakang tubuh putrinya tersebut. Diikuti Hardie yang berdiri di samping Mela.
"Eh, ada Mama sama Papa. Bukannya kalian lagi makan? Gimana makanan hari ini? Enak? Kesukaan Ziva atau bukan?" Ziva berusaha mengalihkan. Siapa tahu saja kedua orang tuanya bisa lupa akan pembicaraan yang sudah mereka rencanakan usai kembali dari SMA Alderra.
"Hari ini kesukaan Mama sama Papa. Pete goreng sambel." Syukurlah, ia bisa bernapas lega walau tidak suka dengan menu makanan hari ini. Tapi setidaknya, keberhasilan untuk mengalihkan pembicaraan sudah berdiri di depan mata.
"Kesukaan Ziva juga itu, Ma, Pa. Ya udah Ziva mau balik ke kamar buat ganti baju, ya," alih Ziva yang sudah siap untuk berlari masuk ke kamar dengan niat untuk tak keluar sampai besok pagi. Lebih baik ia tak makan seharian daripada harus mendengarkan segelas ceramah yang tak akan pernah berhenti. Ziva hafal, pasti semuanya akan dikaitkan dengan mitos-mitos zaman dahulu.
Hardie dan Mela menggelengkan kepalanya cepat secara kompak. Mereka tahu, putrinya itu paling benci dengan yang namanya petai.
Jari telunjuk dan jempol wanita paruh baya itu sudah berhasil menjepit telinga manusia di depannya yang masih tak berani melempar tatap.
"Sakit, Ma!" Ziva meringis kesakitan. Terbukti dari bibirnya yang perlahan ikut bergerak naik—menahan perihnya jeweran Mela.
"Ikut Mama ke bawah, ya." Dengan santai dan tetap berada pada posisi yang sama, si wanita paruh baya menarik putrinya untuk ikut turun. Tak lagi peduli dengan alasan bau asem karena belum mandi atau apa pun, yang jelas ini harus diselesaikan.
Setelah akhirnya semua berkumpul di meja makan, Mela benar-benar mengambilkan sepiring nasi hangat ditambah petai goreng, serta sambal terasi.
Ziva menelan ludahnya paksa. Menyesal sudah ia mengatakan hal itu tadi. Otaknya justru tak mau diajak bekerja sama untuk mengarang kata-kata lain.
"Katanya suka?" tanya Mela, sementara Hardie hanya tertawa kecil menatap wajah masam Ziva yang terlihat jelas tak lagi nafsu untuk menyantap makanan.
"Udah tau Papa sama Mama mau ngomong apa?" Belum sempat Ziva menjawab, sepasang suami istri ini langsung menuju inti pembicaraan. Ah, kali ini Ziva hanya bisa pasrah, tak lagi bisa lolos dari jeratan harimau. Orang tuanya sudah dibuat jenius berkat perilakunya kemarin-kemarin, dan Ziva menyesal akan hal itu.
"Tau nggak kenapa seorang anak itu bisa bodoh, nilainya jelek semua kecuali bahasa Indonesia? Itu karena dia kurang berbakti, jadi nggak dikasih kelancaran sama yang kuasa." Mela sudah mulai beraksi.
"Betul itu. Makanya Ziva kalau lagi mau dinasehatin sama orang tua tuh jangan kabur-kaburan melulu. Gini, 'kan, akibatnya?" Hardie ikut bersuara. Pria berumur ini selalu saja mengikuti apa yang dikatakan oleh ibu negara. Ia sendiri pun tak berani membantah, karena jika sampai semua terjadi, jangan terkejut saat melihat Hardie tertidur di luar rumah.
"Papa kalo Mama lagi ceramah pasti cuman bisa ngikut. Emang Papa nggak punya omongan lain?" protes Ziva supaya Mela mau berpindah haluan.
"Zivanna!" Mela memanggil dengan tegas.
"Alecia," sahut Hardie datar. Benar-benar tidak tertukar.
"Iya, Ma, Pa. Ya udah, nih, Ziva dengerin kalian mau ngomong apa."
"Kamu kenapa nggak bisa kayak si Sora? Dia itu pinter, loh. Udah kerja, belajarnya rajin, nggak kayak kamu tuh yang taunya cuman main doang! Youtube-an terus...!" Terkadang Mela sendiri pun berharap, andai anaknya adalah Sora, bukan Ziva yang memiliki kemampuan belajar di bawah rata-rata. Jika boleh ditukar posisinya, Mela pasti sudah meminta pada yang kuasa untuk segera mengganti.
"Youtube itu seru, Ma, Pa. Ziva bahagia liat itu. Memang Mama sama Papa nggak suka liat Ziva bahagia? Cuman ini cara satu-satunya. Ziva tuh alergi sama yang namanya buku pelajaran," bantah Ziva pada orang tuanya yang selalu berkata bahwa mereka ingin anaknya bahagia. Walau pada nyatanya Ziva terus dipaksa untuk belajar, belajar, dan terus belajar.
Di zaman yang serba modern ini, segalanya sudah menggunakan kecanggihan teknologi. Jadi, tak perlu mengusai beberapa teori yang menurut Ziva tidak penting. Lagi pula, Ziva masih memiliki bakat terpendam lainnya seperti makan dan tidur yang mungkin bisa dijadikan pekerjaan di masa depan.
Tak ada yang tahu jika Ziva bisa saja ke luar negeri untuk bekerja sebagai tukang tidur, lalu mendapat bayaran yang mahal. Itu adalah mimpi Ziva sekarang.
"Kamu tau kalau anak yang suka ngebantah orang tua itu bisa apa?" tanya Hardie yang ikut membela Mela.
Ziva mengangguk cepat. Sudah sering orang tuanya berkata hal yang sama, tak lagi jauh-jauh dari kata petir dan juga kemiskinan.
"Mama ulang lagi, kalau kamu suka ngebantah, mau berlindung di bawah wajan besi atau penghalau petir sekalipun, kamu bakal tetep gosong. Petirnya bisa nyamber ke kepala kamu. Mau?"
Ziva memutar bola matanya malas. Ah, apalagi ini? Walau sebenarnya di kala hujan deras datang, rasa takut akan ancaman dari Mela selalu menyelimuti sekujur tubuh, bahkan untuk tidur saja rasanya sulit.
"Liat, hidup Mama sama Papa bahagia, 'kan? Itu karena kita berdua berbakti sama orang tua, nggak kayak kamu yang nggak jelas masa depannya gimana."
Hati Ziva seperti ditusuk oleh puluhan jarum. Tak memiliki masa depan, itu artinya Ziva akan menjadi orang yang tak berguna, atau mungkin meminta-minta di di pinggir jalan karena kelaparan, kemudian meninggal dunia.
Gadis itu sontak terdiam. Mulutnya tak mampu lagi mengeluarkan kata-kata. Bukankah masih ada cara lain untuk mengingatkan daripada harus berkata seperti ini?
"Pokoknya kamu nggak boleh keluar-keluar rumah lagi. Nggak boleh jalan-jalan ke mal kalau nilai kamu belom bagus. Nggak boleh ngelirik cowok yang kamu kepo-kepoin sama Bu Happy! Paham?!"
Ziva langsung melengos pergi seraya menutup telinga. Dia ingin hidup tanpa memikirkan para nilai, ingin hidup bahagia sesuai apa yang ia inginkan, bukan seperti ini.
Sama, Ziv, bongbong juga sering digituin. Kita sama-sama takut kalau ada petir, padahal nggak pernah ngelakuin yang aneh-aneh.
Eh, kok, bong-bong jadi curhat? Tapi memang sih bab ini isinya curhat semua. Kata-katanya pun persis yaampun, jadi sepanjang baca ini cuman bisa ngakak sambil nginget gitu.
Astaga🤣
Happy reading, ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Drama Queen Life [COMPLETED]
Teen Fiction[Completed] Nusa akan berusaha untuk mempertahankan eksistensi eskul choir walau peminatnya bisa dihitung menggunakan jari. Tak peduli seberapa banyak tawaran untuk mengikuti olimpiade, fokusnya hanya ada pada eskul choir. Di tengah perjuangannya it...