Koridor sekolah kerap dipenuhi oleh para murid yang sibuk membicarakan orang yang mereka benci. Ziva tak iri sama sekali dengan kebersamaan yang tercipta.
Keakraban memang terlihat, tetapi ... ketulusan belum tentu hadir di dalam jiwa mereka. Terlalu banyak manusia di dunia yang memiliki topeng seperti Sora. Terlihat baik, namun di belakang membuat orang lain hanya bisa menggelengkan kepala.
Hanya ada satu hal yang bisa membuat Ziva percaya, yaitu diri sendiri. Tak 'kan mungkin mengkhianati, tak bisa meninggalkan, karena mereka memiliki nasib yang sama. Terlalu sering tersakiti sampai akhirnya lupa apa itu kata sakit.
Ziva memeluk sang tubuh erat. Diri, nggak apa, ya, kita sendirian. Fokus aja sama masa depan, kita raih cita-cita jadi tukang bobo profesional, okay? batin Ziva sambil meletakkan tas di samping kursi.
Selang tak lama ia melirik bangku kosong di sebelahnya. Ternyata tak perlu khawatir jika kursi itu kotor karena diduduki oleh raga seorang mantan sahabat. Matanya pun tak akan sakit melihat fisik orang yang paling ia benci sekarang.
Seorang siswa datang menghampiri Ziva. Sudah dapat dipastikan bahwa ia akan bertanya-tanya soal Sora. Sudah heboh di sekolah, gadis itu keluar tanpa sebab. Padahal pencapaian akademisnya sangat bagus. Apa mungkin karena malu jika harus meneruskan pembelajaran di sekolah yang akan diwarisi kepada seorang Biru Samudera?
Ziva mengangkat bahu. "Nggak tau, hehe ...."
"Masa lo nggak tau? Lo sahabatnya, 'kan?" Ah, siswa itu masih saja memaksa. Kalau memang menginginkan jawaban yang akurat, mengapa tak datang saja ke rumah Sora? Atau mungkin bertanya pada Bu Happy secara langsung.
Ziva menggeleng pelan dengan sedikit rasa sebal. "Maaf, gue bukan keluarganya dia. Jadi, gue nggak ngurusin apa yang terjadi. Paham?"
Siswa itu mendengus. Kesal karena tak mampu memuaskan hasrat penasarannya tersebut. Namun, hal itu bisa ia gunakan untuk dijadikan bahan pembicaraan bersama teman-temannya nanti di jam istirahat, karena gibah adalah hal paling seru dan memuaskan walau menyiksa di akhirat kelak.
Bel pertanda kelas dimulai pun berbunyi. Pelajaran pertama yang biasanya selalu dianggap menyeramkan bagi Ziva. Hari ini adalah pertama kalinya sang guru melempar senyum bangga pada Ziva. Ia berjalan menyalami tangan kanan gadis tersebut.
"Selamat, ya, saya pun takjub sama nilai ulangan kamu yang tiba-tiba saja lulus. Teruskan Ziva. Saya bangga atas kemauan belajar kamu." Ia menepuk bahu Ziva pelan, kemudian kembali duduk dan meletakkan setumpuk kertas ulangan yang dibawa dari kantor guru.
"Anggap aja itu hadiah dari Ziva buat ulang tahun Ibu hari ini, soalnya Ziva nggak yakin bakal dapet segitu lagi." Tak ada lagi sosok Nusa yang siap mengajarkan hingga menguras emosi. Ziva yakin, semua nilainya akan kembali normal. Tak mungkin ia meminta bantuan Rilla, pasti gadis itu sibuk untuk pindah ke jurusan IPA.
"Arigatou karena sudah mengingat tanggal ulang tahun saya, dan ini memang kado terindah. Dalam satu kelas tak ada yang mengulang."
Ziva terdiam. Tak lagi mendengar pujian dari guru bahasa Jepang tersebut.
🐠🐠🐠
"Bu Doremi, maaf, ya, Ziva mau ijin keluar dari eskul. Ziva nggak mau maksain diri sendiri buat suka sama bidang yang bikin bosen."
Ziva menunduk. Tak berani menatap manik Bu Doremi. Sebenarnya ia sudah nyaman berada di sana, apalagi harus memperbaiki beberapa tulisan juga merupakan salah satu hobi. Tapi Ziva juga tak mau menyiksa diri sendiri. Ia juga ingin bahagia.
Bu Doremi menatap Ziva seolah penuh harapan supaya siswi itu mau menarik kata-katanya lagi. Masih teringat jelas, mereka mendapat izin dari kepala sekolah karena Ziva. Itu artinya jika Ziva mengundurkan diri, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan lomba akan pupus begitu saja.
"Kamu nggak mau bertahan demi Nusa?" tanya Bu Doremi.
"Saya permisi, Bu." Ziva langsung pergi. Akan sulit baginya untuk tak mendengar nama Nusa terucap. Semua orang senang untuk membahas laki-laki berengsek bertopeng alim itu.
Terpampang jelas dari wajah Bu Doremi yang siap untuk mencari tahu semuanya. Sekolah ini benar-benar sedang aneh. Mulai dari keluarnya Sora, Ziva yang menghindari Nusa, serta ketua eskul choir yang tak lagi terlihat batang hidungnya.
"Aneh." Satu kata lolos dari bibir Bu Doremi. Otaknya dibuat berpikir.
Di tengah perjalanan Ziva kembali ke kelas, ada Nusa yang sedang melintas. Wajahnya juga kusut, rambutnya berantakkan. Berjalan sendirian tanpa tahu arah mana yang ia tuju.
Ziva menghentikan langkah. Begitu juga dengan Nusa. Hanya ada tatapan yang saling berbalas. Namun, tak terlihat senyuman atau bahkan anggukkan dari keduanya.
Beberapa siswa yang melintas pun menjadikan hal itu sebagai pusat perhatian. Aneh. Ziva yang biasanya selalu menggoda laki-laki tampan itu kini terdiam bersama wajah datar.
Selang beberapa menit, mereka kembali berjalan. Pandangannya dibuat lurus ke depan walau hati sebenarnya menjerit untuk memaki pria itu, sementara Nusa masih berpikir soal tanggung jawab yang terpaksa ia beri pada Sora. Apa benar ia melakukan itu semua tanpa sadar?
Memang betul ia pergi ke diskotik waktu itu untuk menemui Biru. Namun, ah, ia tak tahu. Di otaknya tak ada memori soal menyetubuhi seseorang, atau bahkan minum alkohol.
"Eh, apa jangan-jangan Nusa main belakang?" bisik seorang siswa yang sedang bersender di tembok dekat mading.
"Gila ... seorang ketua ekskul yang terkenal berjuang mati-matian biar nggak bubar ternyata nggak bener," jawab teman yang siswa itu ajak bicara.
"Lagian ceweknya juga genit, sih, makanya Nusa begitu."
Teman di hadapannya itu mengangguk setuju. Ya ... Nusa tak bisa disalahkan sendirian, sudah pasti ada campur tangan Ziva di dalamnya.
Ziva mendengar itu semua. Andai ia mampu menjawab, pasti semua kata "iya" akan terlontar saat itu juga. Terkecuali kalimat terakhir yang berlari masuk ke dalam telinganya.
Ziva sadar bahwa ia memang tak sempurna, masih senang mengganggu cowok tampan demi kesenangan pribadi, tapi itu semua hanyalah pelampiasan untuk mencari kebahagiaan di luar rumah. Bukankah banyak perempuan melakukan hal serupa?
Oh, iya, harusnya Ziva sadar dan ingat bahwa yang dapat mengerti hanyalah diri sendiri. Sebab semua orang di sekolah hanya bisa menilai dari luar tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Mereka terlalu senang membicarakan sesuatu yang tidak penting tanpa alasan, lantas mengapa harus dibuat pusing? Bukankah itu sama saja menyiksa diri sendiri? Sudahlah ... Ziva, masalah hidupmu sudah bertubi-tubi, tak usah menambah masalah dengan sendirinya.
Diri sendiri, maaf kalo gue udah nyakitin lo terus. Lo harusnya bahagia sama gue, ceria kayak biasanya, bukan murung kayak gini, batin Ziva.
Apa cuman bongbong yang nangis baca ini? Ah kayaknya iya.
Ih kok jadi curhat
Dah ah, happy baca kalian
Bongbong cayang kalian
Lav u ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Drama Queen Life [COMPLETED]
Teen Fiction[Completed] Nusa akan berusaha untuk mempertahankan eksistensi eskul choir walau peminatnya bisa dihitung menggunakan jari. Tak peduli seberapa banyak tawaran untuk mengikuti olimpiade, fokusnya hanya ada pada eskul choir. Di tengah perjuangannya it...