Tak lagi bisa menolak, akhirnya dengan terpaksa Nusa mengiyakan permintaan Ziva. Sebenarnya ia sendiri pun takut jikalau sumpah serapah dari Mela benar-benar terjadi. Mana orang tua pula yang berucap.
"Serius, Kakak Ganteng? Ikhlas, 'kan?"
"Iya. Sebenernya aku, eh gue nggak ikhlas. Males. Tapi ya udah, karena gue kasian, jadinya gue iyain. Ntar nangis lagi kayak kemaren di depan kelas, kayak Zea," balas Nusa sinis.
Eh, sebentar. Kenapa rasanya Nusa jadi merasa aneh seperti ini? Bisa-bisanya pula mengucapkan aku?
Aku ... kata itu yang keluar dari mulut Nusa. Sangat jarang kata itu ia pakai saat berada di luar rumah. Itu adalah tiga huruf khusus yang digunakan saat melakukan percakapan dengan orang tuanya.
Ziva senang. Kalau begitu, ia berjanji akan fokus dan berusaha untuk naik kelas walau sebenarnya ia alergi dengan pelajaran. Demi Nusa, apa pun rela dilakukan.
"Cie ... ngomong aku sama Ziva," ledek perempuan tersebut. Senyumnya kembali terlukis lebar, bahkan jantung Ziva pun sudah dibuat berdetak kencang. Bolehlah sering-sering berbicara dengan kalimat agak panjang, serta lebih halus. Kan Ziva jadi senang.
Nusa diam, lalu pergi tak tahu ke mana. Ziva masih setia 'tuk berdiri sendirian di depan ruang guru, sedikit seperti anak hilang yang sedang mencari orang tuanya, namun memakai seragam sekolah.
"Aaaa ... seneng!" Suara Ziva berhasil menelusuri ruang guru. Maka seorang wanita paruh baya yang merupakan pengajar dari pelajaran bahasa Jepang sontak keluar untuk mengecek. Benar saja sang dugaan, kasihan sekali telinga para guru di dalam, pasti terasa seperti sedang disumbat bawang merah.
"Sōzōshī (berisik)!" Kedua jarinya menjepit telinga Ziva dengan kencang. Rasa-rasanya sudah terlalu lama budaya membimbing Ziva tak dilakukan. Ya ... ia rindu menyiksa manusia bawel itu.
"Aargh ...." Gadis itu meringis sakit. "I-ibu, jangan kasar sama Ziva. Kakak Ganteng tolongin ...!" Tarikan telinga dari si guru bahasa Jepang dibuat semakin kencang.
Astaga, memang benar-benar! Kalau tidak berulah, rasa-rasanya selerti ada yang kurang bagi Ziva. Ya ampun, kenapa bisa ia memiliki murid seperti ini? Di mana-mana cewek itu harus kalem, tapi kenapa ia justru berbeda?
"Ampun, Ibu Cantik! Ziva juga nggak paham Ibu ngomong apa, pake bahasa Indonesia aja, ya?" Wajahnya dibuat memelas, terus melirik meminta pertolongan kepada sang guru agar segera dilepaskan.
Sebuah bercak berwarna merah perlahan muncul menghiasi telinga Ziva. Semakin kencang pula permainan menjewer ini.
"Iya, Ibu, saya minta maaf," ucap Ziva sekali lagi.
"Tadi saya dengar kamu mau diajarin sama seorang laki-laki yang tak saya tahu siapa, pokoknya kamu harus lulus di ujian saya! Kalau tidak, jangan salahkan saya kalau kamu tidak naik kelas!" Hobinya lagi-lagi ia tunjukkan, yaitu mengancam para murid yang tak pandai dalam bidang pelajarannya.
Ziva memberi hormat sambil melepaskan jari-jari nakal itu dari sang telinga. Dengan lemas pula jari itu mengikuti pergerakkan tangan Ziva.
Akhirnya, telinga Ziva bisa beristirahat dengan tenang. Gadis itu segera mengusap sang alat pendengaran, kasihan sekali disiksa selama beberapa detik.
Tak lagi mau bermasalah, sontak Ziva berlari demi menghindari jeweran selanjutnya. Sebab guru itu pasti merasa bahwa ia sudah tidak dihormati lagi oleh sang murid.
Beberapa saat kemudian setelah sadar bahwa korbannya kabur, guru itu hanya mendengus kesal dan kembali ke dalam kantor. Baiklah, tak ada gunanya berteriak karena jarak mereka sudah semakin jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Drama Queen Life [COMPLETED]
Novela Juvenil[Completed] Nusa akan berusaha untuk mempertahankan eksistensi eskul choir walau peminatnya bisa dihitung menggunakan jari. Tak peduli seberapa banyak tawaran untuk mengikuti olimpiade, fokusnya hanya ada pada eskul choir. Di tengah perjuangannya it...