🐣18. Kok?

427 55 28
                                    

Tiba-tiba saja manik cokelat itu terbuka secara perlahan. Sora mengerjap-ngerjapkan matanya. Sembari melirik ke samping ketika merasa ada yang menatapnya lekat sedari tadi.

Jantungnya berdebar, dalam keadaan setengah sadar dan di tengah hutan, ia masih sempat-sempatnya memikirkan makhluk halus. Dipastikannya sekali lagi, ternyata itu adalah Ziva. Bersama wajah tak berdosa, Sora tersenyum seolah menyapa sahabatnya tersebut.

"Hai, Ziv. Morning."

Ziva menatap Sora jijik. Ia tak mau ditatap seperti itu oleh orang lain terkecuali Nusa. Memang manusia ini pikir, Ziva adalah penyuka sesama perempuan? Sudah menyebalkan, sekarang menjadi semakin aneh pula. Apa mau sang gadis?

Wajahnya tak cantik pula, mending kalau yang menatap adalah perempuan sekelas Kim So Hyun, pasti Ziva akan dibuat iri, bahkan bisa berbuat ramah walau sudah disakiti, karena siapa tahu saja ia bisa meminta tips kecantikkan agar dilirik. Lah, sahabatnya ini saja tak memiliki kemiripan walau satu persen pun.

"Najis banget, sih, lo liatin gue kayak gitu. Gue masih normal, loh, ya," ucap Ziva sembari membaringkan tubuh dan menghadap ke samping, kemudian menutup wajahnya rapat-rapat. Momo. Itu yang terbayang di pikiran Ziva. Mirip seperti Sora.

"Dih, dipikir gue suka sama lo apa?" Sora tak terima. Jika bukan karena perilakunya tadi siang, semua ini juga pasti tidak akan terjadi. Sebenarnya tatapan itu pun ia khususkan untuk Biru.

Tak ada sahutan yang terdengar. Ziva memang belum benar-benar tidur. Gadis itu masih merutuki Sora yang datang di kala butuh dan pergi sesuka hati. Baru tahu ia akan kelakuan Sora yang sebenarnya setelah berteman kurang lebih dua bulan.

Karena masih merasa tak tenang dan menguras emosi ketika mengingat kejadian di depan api unggun, Sora mengguncang bahu Ziva kencang. Benar saja, selang beberapa detik kemudian, Ziva membuka selimutnya. Rasa kesal masih setia menghiasi sang wajah. Sungguh jelas terlihat.

"Apa, sih, gue mau tidur, Sora." Kini giliran Ziva yang beraksi sebagai manusia penuh emosi. Bukankah selama ini Sora melakukan hal yang sama? Mengapa tak ia tiru saja? Kalau kata Regan—sepupunya, semua manusia harus dipelakukan sebagaimana ia memperlakukan kita.

Jika Sora baik, maka ia pun akan kembali melakukan yang terbaik, begitu pula sebaliknya. Sebab hidup itu kejam, tak bisa selalu baik kepada semua orang. Dampaknya hanya ada dua, dimanfaatkan atau dibuang secara terang-terangan.

Sora sempat terkejut. Ini bukanlah Ziva yang biasanya. Benar-benar seperti cerminan dirinya sendiri di saat Ziva membutuhkan pertolongan. Bagaimana bisa gadis polos ini sadar dan berubah? Sora tak suka Ziva seperti ini, tak bisa dipelakukan seenaknya.

"Gue kesel, kenapa Kak Biru jahat? Kenapa dia nggak terima cinta gue aja tadi? Sakit tau rasanya. Memang sih gue masih berharap sampe sekarang pun, tapi setidaknya bisa gitu di depan banyak orang ngomongnya terima, di belakang baru ditolak. Biar guenya nggak malu." Sora justru bercerita dengan nada standar, sehingga beberapa tenda di sebelah pun bisa mendengar. Mereka terbangun dari tidurnya, lalu mencuri-curi untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Sora.

"Oh, gitu. Ya udah gue mau bobo cantik dulu, ya. Masalah gue lebih berat, sih, soalnya. Terus juga gue orangnya mau berjuang buat dapetin cogan. Good night ...!" Ziva sengaja memutar balikkan semuanya. Ia puas. Sangat. Ternyata ini adalah salah satu cara untuk meluapkan kekesalannya supaya hatinya lega.

Sora berdecak kesal. Jari-jarinya sudah tak sabar untuk menjambak rambut-rambut halus di hadapannya.

"Anjir, bangsat ini manusia," desisnya di balik helaian rambut Ziva.

Tunggu ... telinga Ziva kok mendadak panas? Seperti ada kobaran api yang berkeliling di sekitarnya hingga gadis itu pun menoleh dan justru penyesalan pula yang ia dapatkan. Mendapatkan senyum horror Sora yang sudah memamerkan gigi dan mata memicing.

Drama Queen Life [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang