Ziva mendengus kesal. Sama sekali tak memiliki sikap berperikemanusiaan, sampai dengan teganya membiarkan Ziva sendirian membawa setumpuk kayu yang begitu berat.
"Nanti kalau Ziva bongkok, terus jadi kayak oma-oma gimana?" protes si gadis mungil.
Sip, semakin lama Nusa memberikan perhatian walau sedikit, gadis itu semakin memberontak. Senang sekali protes.
Baiklah, agar gadis itu diam, dengan terpaksa Nusa berputar arah, mengambil sebagian kayu, lalu membawanya bersama tumpukkan kayu lain yang ia gendong sedari tadi.
Ziva tersenyum lebar. "Makasih, Kakak Ganteng. Ziva sayang sama Kakak!" seru Ziva dengan gaya seperti seorang anak kecil.
"Hm," balas Nusa singkat, kemudian langsung pergi begitu saja, berjalan lebih dulu. Kaki Ziva dihentakkan ke atas tanah, hingga cipratan air kotor segera mencium celana panjang Ziva.
"Tungguin ... aku takut jalan sendirian!" teriak Ziva sekali lagi seraya berlari mengejar Nusa.
Sampai akhirnya, Nusa pun berhenti dan membiarkan Ziva menyusul sembari menahan tawa. Nusa suka melihat Ziva kesal, lucu. Ekspresinya sungguh persis seperti Zea yang marah karena tak dibelikan cokelat.
Eh, astaga, kenapa dirinya jadi senang seperti ini? Ya ampun, Nusa, dirimu harus sadar kalau gadis yang menjadi ekor tikus sedari tadi itu sangat menyebalkan.
"Jangan tinggalin aku lagi, ya. Nanti kalo aku digigit harimau, emang Kakak Ganteng nggak sedih kehilangan Ziva? Nanti nggak ada yang gangguin lagi, hidup Kakak Ganteng jadi sunyi senyap, emang enak?" celoteh Ziva seperti ibu-ibu di pasar yang sedang bergosip ria.
"Bagus kalau digigit, biar diem," balas Nusa dengan tatapan lurus ke depan. Tanpa senyum walau hatinya tertawa hebat. Tentu saja hal itu berhasil membuat Ziva semakin kesal. Bibirnya semakin maju beberapa senti.
Tapi kalau dipikir-pikir, kehadiran Ziva memang menghibur di kala sepi seperti ini. Jadi seperti membawa seorang anak kecil yang rewel, tapi perlu diberikan perhatian.
"Udah, ah, ayok. Gue juga males lama-lama sama lo sebenernya kalau nggak dipaksa." Lagi, kebimbangan dalam diri Nusa kembali berlari keluar. Entahlah, ia sendiri pun bingung. Namun, ikuti saja sang kata hati yang masih senang berbuat suka-suka terhadap Ziva. Anggap melatih kesabaran sang gadis agar tumbuh menjadi sosok yang tahan banting.
🐍🐍🐍
Akhirnya ketika malam tiba, semua siswa disuruh berkumpul mengelilingi api unggun. Sungguh ramai hingga mereka harus membuat lima lingkaran. Menikmati hangatnya cinta, eh kehangatan api adalah hal pertama yang baru mereka rasakan.
Momen-momen seperti ini justru mengingatkan mereka pada keluarga di rumah. Suasana yang sunyi nan indah kini merampas situasi. Keluarga—tempat berkeluh kesah pada orang yang bisa kita percaya. Walau hanya berlaku bagi beberapa orang saja.
"Dingin." Ziva menggosok-gosok kedua telapak tangannya.
"Hangat, Va," sahut Biru dari kejauhan.
"Angin sepoy-sepoynya yang bikin dingin, Kak Biru," jawab Ziva. "Tapi liat muka Kakak Ganteng terus-menerus udah bikin aku ngerasa hangat, kok."
Biru menyunggingkan senyum. Tak ikhlas memang jika yang dipuji hanyalah Nusa, bahkan sudah bosan mendengar nama yang sama sering kali terucap dari bibir si gadis pujaan. Memangnya ia setidak menarik itu sampai Ziva tak pernah mau melirik? Dari sekian banyak gadis yang mengincar dirinya, Biru masih setia memuja Ziva.
KAMU SEDANG MEMBACA
Drama Queen Life [COMPLETED]
Ficção Adolescente[Completed] Nusa akan berusaha untuk mempertahankan eksistensi eskul choir walau peminatnya bisa dihitung menggunakan jari. Tak peduli seberapa banyak tawaran untuk mengikuti olimpiade, fokusnya hanya ada pada eskul choir. Di tengah perjuangannya it...