Pagi ini Ziva diantar oleh Mela yang tentu saja akan melayani panggilan lagi dari Bu Happy. Sepanjang jalan, ia terus dirutuki. Telinganya panas, seperti ada kobaran api yang berkeliling di area itu. Apalagi harus mendengar berbagai ancaman yang sudah pasti dikaitkan dengan mitos.
"Inget Ziva, kamu harus contoh orang jaman dulu yang rajin belajar dan nggak pernah mengeluh. Makanya mereka sekarang pada sukses. Mereka mau berusaha. Kamu juga harus gitu, kalau makan nggak boleh ada sisa nasi satu biji pun, karena itu menggambarkan orang yang jorok. Selain itu juga, nanti kamu bisa jerawatan nasi. Emang mau mukanya penuh sama nasi?"
Ziva diam seolah tak peduli. Ya ampun, sudah terlalu bosan rasanya ia mendengar mitos. Kalau saja tidak sedang duduk di samping Mela, pasti ia susah menutup kedua telinga.
"Kalau udah jorok, itu menggambarkan kepribadian seseorang, yaitu malas. Nah, kam—"
Tak nyambung memang apa yang dibicarakan oleh Mela pada putrinya, hingga Ziva langsung berlari masuk ke koridor sekolah. Biarlah sang ibu terus berceramah ria sampai puas.
"Ziva!" teriak Mela sembari menurunkan kaca mobil.
Tak lagi ada sahutan dari Ziva, bahkan sedikit pun tidak menoleh. Astaga untung saja hanya memiliki satu anak, kalau lebih dan sikapnya sama seperti sang gadis, bisa gila ia di rumah.
Tin ...!
Suara klakson mobil belakang seketika membuyarkan pikiran Mela. Membuatnya tersadar hingga mau tak mau, ia kembali fokus pada jalanan dan mencari parkir.
"Hai," sapa Ziva pada salah seorang yang ia kenal. Ia tahu, sedang bagaimana posisinya sekarang, tapi apakah salah jika menghibur diri sendiri dengan menyapa orang lain? Walau pada akhirnya gadis itu justru melengos.
"Udah urusin dulu sana masalah lo, jangan sapa-sapa. Malu gue disapa penghianat!" pekik si gadis berkucir satu.
Sudahlah ... tak usah banyak berharap pada siapa pun yang akan menganggap bahwa dirinya ada. Ingatlah pada kenyataan, saat ini kau sedang tak memiliki teman, Ziva.
Ya udah, emang kasian ya nasib gue, kata Ziva dalam hati.
Ziva langsung melanjutkan langkah yang sempat terhenti tadi. Memasuki kelas dan melemparkan tasnya ke sembarang arah walau masih berada di area meja.
Sikap Sora masih sama seperti kemarin, tak ada perubahan. Ia yang biasanya selalu menoleh ke samping untuk melemparkan sedikit senyuman, kini tak lagi terlihat. Perempuan itu justru fokus pada layar ponsel di hadapannya sekarang. Mungkin itu lebih penting dibandingkan melontarkan kata maaf setelah pertengkaran kecil kemarin.
"Soraia," panggil Ziva.
"Apa?" sahut Sora datar. "Mau curhat apalagi? Masalah nggak penting kayak kemaren? Udahlah, Ziv, nggak usah buang-buang waktu gue. Time is money!"
Sora memang selalu menganggap bahwa masalah yang dialaminya adalah masalah paling berat di dunia. Tak 'kan ada yang bisa menyaingi hal tersebut, karena ia menganggap bahwa orang lain akan memiliki kebahagiaan di lain waktu, sementara dirinya sendiri merasa bahwa nestapa tak pernah lagi mau untuk berpindah. Mungkin ia sudah nyaman.
"Lo kerja lagi nanti?" tanya Ziva pelan. Sebenarnya ia pun sudah mengetahui hal ini, tapi kenapa di saat pertengkaran yang tak jelas sudah selesai atau belum sejak kemarin, gadis ini jadi suka menanyakan hal yang bodoh.
Sudah jelas Sora harus bekerja dari pulang sekolah sampai malam hari, kemudian melanjutkan belajar untuk ujian besok. Tak ada libur. Sabtu dan Minggu pun harus masuk jika mau mendapat bonus. Sudah mendapat bonus saja hidupnya masih tak bisa membeli barang yang ia mau, seperti make up. Dirinya hanya mampu membeli makanan, minuman, jasa cetak tugas sekolah, dan juga uang untuk membeli kuota.
KAMU SEDANG MEMBACA
Drama Queen Life [COMPLETED]
Dla nastolatków[Completed] Nusa akan berusaha untuk mempertahankan eksistensi eskul choir walau peminatnya bisa dihitung menggunakan jari. Tak peduli seberapa banyak tawaran untuk mengikuti olimpiade, fokusnya hanya ada pada eskul choir. Di tengah perjuangannya it...