🐣8. Nusa, Zea, dan Ziva

554 71 24
                                    

Biru terdiam. Bolehkah ia mengatakan bahwa semua itu adalah benar adanya? Tapi ... tidak, tidak boleh terjadi. Bisa hancur nanti ekspektasinya.

"Kak, yang gue omongin itu bener semua? Lo ngelakuin ini karena  Ziva?" tanya Sora beserta asa yang perlahan ia coba untuk musnahkan walau sulit rasanya.

"Enggak, kok. Gue duluan, ya. Udah diburuin sepupu." Biru berbohong. Sebenarnya terlihat jelas dari raut wajah cowok itu yang sama sekali tak memerhatikan notifikasi ponselnya. Dari mana ia bisa tahu jika sang sepupu sudah tidak sabaran menanti barang belanjaannya?

Sora mengangguk, dengan bodohnya pula ia percaya bahwa apa yang dikatakan oleh Biru sama sekali tak mengandung unsur kebohongan. Apa itu artinya Sora boleh berharap lagi dan mengejar Biru sampai dapat?

Sepanjang jalan Biru berpikir, apakah ia sudah berbuat jahat? Tapi ... cinta itu tidak bisa dipaksa. Apakah perilakunya yang tadi itu tidak salah? Ah, Biru semakin bingung. Sudahlah tak usah dipikirkan lagi, tak terlalu penting juga. Untuk apa membuang-buang waktu untuk memikirkan nama Sora?

Ingatkah akan pepatah bahwa usaha tak akan pernah bisa menghianati hasil? Berarti ... itu artinya, jika Biru terus berusaha, maka Ziva akan luluh dan jatuh ke pelukkan Biru. Bisa jadi pula Ziva selama ini hanya terpesona karena ketampanan Nusa, dan andai Nusa memiliki wajah yang buruk, pasti ia akan pergi dan memilih Biru.

Tunggu ... apa yang Biru pikirkan? Merusak wajah Nusa supaya Ziva pergi? Ah, belum perlu dan belum saatnya untuk dilakukan.

"Eh anjir pikiran gue kanapa? Sejak kapan Biru jadi orang jahat kayak gitu?" ucapnya sembari menaiki motor ninja yang ia bawa. Melirik ke arah sekitar—memastikan bahwa daerah sana sedang sepi. Siapa tahu ada yang bisa mendengar isi hatinya? Bisa bahaya, apalagi kalau ternyata orang dekat, waduh tamat sudah nasib cowok ini. Sip, ia kembali berpikir secara berlebihan.

🐛🐛🐛

Nusa sangat berterima kasih pada Ziva, berkat perempuan tak punya malu itu, akhirnya sore ini juga proposal langsung disetujui oleh kepala sekolah. Walau Ziva nyatanya tak terlalu peduli dengan persetujuan tersebut, setidaknya melihat Nusa bahagia saja sudah cukup.

"Kakak Ganteng, seneng nggak?" tanya Ziva yang mengekori Nusa keluar dari ruangan kepala sekolah sambil membesarkan mata, lalu melukis senyum terimut yang pernah ada.

"Ziv, jangan panggil gue Kakak Ganteng melulu napa?" Nusa menghentikan langkahnya sebentar, kemudian menatap mata perempuan cantik itu lekat.

Jantung Ziva seketika berdebar hebat. Ditatap oleh Nusa secara mendalam seperti ini adalah prestasi yang pernah ia gapai dalam waktu dekat. Walau bukan prestasi akademis, tetapi setidaknya hal ini sudah merupakan pencapaian terbaik Ziva. Ziva bangga akan dirinya sendiri.

Nusa memetik jari di hadapan wajah Ziva. Ia tersentak. "Eh, astaga Kakak ganteng banget, aku nggak bohong."

"Ziva, gue nggak nanya ganteng apa enggak." Nusa terpaksa mengulangi ucapaannya tadi. Ada-ada saja memang, saat ditanya apa, yang dijawab justru berbeda.

"Itu adalah hukum hati, Kak. Jadi nggak bisa diubah," jawab Ziva.

"Enggak di hati gue."

"Memang Kakak Ganteng mau aku panggil apa? Sayang? Ayang Beb? Cinta? Masa Papa, nanti alay nan menggelikan kayak anak-anak jaman sekarang," jawab Ziva tak sadar diri. Bukankah panggilannya itu justru termasuk kategori menggelikan?

Drama Queen Life [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang