"Abang, Zea setuju kalau Abang pacaran sama Kakak Cantik," ucap si gadis kecil di meja makan saat melakukan sarapan sekeluarga.
Astaga, seperti ada kecoa yang lewat di tenggorokkan Nusa barusan hingga dengan cepat cowok itu mengambil segelas air putih dan meneguk banyak-banyak.
"Udah, Bang. Jangan salting kayak gitu," balas Nisa—sang ibu—wanita paruh baya yang tengah mengoles selai stroberi untuk sang suami justru terkekeh. Mengingat bagaimana perempuan yang disebut Zea terus melantur di ruang tamu sampai dirinya dan Zidane pun terkejut.
"Enggak, Ma. Aku biasa aja sama dia. Ceweknya juga kecentilan," balas Nusa.
Walau sebenarnya ia sendiri pun tak yakin dengan si perkataan. Semalaman—sejak kegiatan belajar kemarin—wajah Ziva terus terbayang. Tapi tidak, tak mungkin secepat itu ia bisa jatuh cinta. Lagi pula, ia juga sudah berjanji untuk tidak membuka hati bagi gadis menyebalkan itu. Bisa-bisa sang telinga rusak.
"Heh, Nusa! Jangan ngomong sembarangan!" protes Zidane yang tengah meneguk segelas kopi hitam.
Si pria paruh baya itu tahu betul bagaimana sang putra bisa luluh. Bagi siapa pun yang berhasil menyayangi Zea, maka rintangan untuk meluluhkan hati Nusa pasti akan terlewati dengan mudah.
Tidak sadar saja cowok berusia 17 tahun itu pernah bercerita bahwa saat ditanya tentang kriteria pacar ketika awal mula masuk SMA, ia menjawab, "Yang penting sayang Zea. Itu udah lebih dari cukup."
Sekarang ia dipertemukan dengan Ziva yang membuat Zea jatuh hati untuk pertama kali. Apakah itu tidak lebih dari cukup?
"Lagian Papa sama Mama juga setuju kalau kamu pacaran sama dia. Masa SMA itu boleh loh dinikmati, jangan pacaran sama ekskul choir terus," sahut Nisa dengan senyum kecil.
"Aku kayaknya udah mau berangkat, deh, Ma, Pa," balas Nusa yang segera bangkit.
"Tapi masa Abang kemaren marahin Zea, Ma, Pa? Pas ada Kakak Cantik." Bibir Zea kembali manyun sepuluh senti. Ya ampun, kemarin adalah perdana Nusa berkata dengan nada cukup kencang.
"Itu tuh ini, Ze, mau nunjukkin ke calonnya kalau dia itu tipe cowok yang tegas," jawab Zidane.
Nusa semakin memantapkan niatnya untuk pergi dari ruang makan. Segera melangkah dan mengacak rambut milik adik kesayangan, lantas berpamitan dengan kedua orang tua sebelum pergi camping.
"Abang kenapa buru-buru? Sekolah Abang kan masih 45 menit lagi," tanya Zea penasaran. Biasanya paling cepat pun tiga puluh menit sebelum.
Tak ada jawaban, Nusa segera melangkah keluar dari rumah.
"Anak SMA jaman sekarang mah ada-ada aja, ya." Nisa berucap.
🤝🤝🤝
Semua angkatan kelas sepuluh dan juga sebelas sudah berkumpul di lapangan. Karena tak mau membawa banyak tas, mereka semua mengikuti anjuran kepala sekolah. Para carrier sudah melekat di punggung masing-masing anak.
Ada yang aneh dengan Sora kali ini. Dirinya terus berdiri di barisan paling belakang, tak seperti biasanya selalu mengincar bagian paling depan.
Sementara Ziva tentu saja masih betah berdiri lama-lama di barisan pertama. Bukan ingin menjadi pusat perhatian orang yang memberikan arahan, tapi tentu saja sudah bisa ditebak. Nusa pun memimpin barisan. Semakin mudah bagi Ziva untuk melirik pemandangan indah.
Gue pengen, deh, nanti kalo udah di gunung gitu bisa berduaan sama Kakak Ganteng. Biar kayak di novel-novel gitu. Apalagi kalo misalnya gue kepeleset, terus dia bantuin, aah ... gila. Mau banget, Woi! batin Ziva histeris sampai tak tersadar seulas senyum ia kembangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Drama Queen Life [COMPLETED]
Novela Juvenil[Completed] Nusa akan berusaha untuk mempertahankan eksistensi eskul choir walau peminatnya bisa dihitung menggunakan jari. Tak peduli seberapa banyak tawaran untuk mengikuti olimpiade, fokusnya hanya ada pada eskul choir. Di tengah perjuangannya it...