Berdasarkan janji yang sudah ia buat dengan pihak yayasan, hari ini Mela datang bersama dua ekor manusia yang sibuk mengintil dari belakang—tepat saat jam pulang sekolah.
Beberapa tatapan sontak beralih pada wanita berpakaian kasual yang sudah melenggang dengan elegan menuju ruang yayasan.
"Ziv, kenapa?" tanya salah seorang siswi berkucir satu yang tengah berseder di dekat perpustakaan.
Gadis yang ditanya pun akhirnya menoleh, lalu mengangkat kedua bahu. Kemudian kembali menjadi pengawal bagi sang ibu yang sudah geregetan untuk turun tangan demi menyelesaikan masalah.
"Kakak Ganteng, ucapan yang kemaren di rumah nggak beneran, 'kan?" Nusa menoleh seraya menyelipkan kelima jarinya di sela telapak tangan Ziva. Menautkan kedua buah hati yang awalnya sempat terpisah akibat kegalauan karena takut dimarahi oleh Mela.
"Maaf."
Sebuah senyum akhirnya terbit di sudut bibir gadis berpita putih. Syukurlah, walau keadaan sedang horror seperti ini, tapi kisah cinta Ziva akan selamat walau ia harus menghalalkan segala cara.
"Lain kali nggak boleh ngomong kayak gitu lagi, ya!" sahut Ziva kencang, hingga Mela yang tengah fokus melangkah maju pun segera menoleh.
Kedua bibir Ziva mendadak bungkam, apalagi saat berbagai macam ancaman yang keluar dari bibir Mela kemarin berputar di seisi kepala.
Tapi ... tentu saja tautan keduanya juga tak ikut terlepas. Kan Mela melihatnya ke arah wajah, tidak ke arah tangan.
Hingga akhirnya mereka pun sampai di depan ruang yayasan. Menghantamkan sebuah tangan yang sudah ia kepal ke pintu kayu hingga seorang pria berjas hitam dengan dasi kupu-kupu biru tua datang menyajikan senyum.
Sementara Mela, wanita itu masih memasang ekspresi datar. Kedua matanya menatap fokus ke arah Samudera—si yayasan Alderra yang terus berusaha untuk ramah.
"Silahkan, Ibu," ucapnya sembari mempersilakan ketiga manusia itu masuk.
Kedua pasang mata milik Ziva dan Nusa pun justru fokus pada ruangan bernuansa serba putih yang dihinggapi oleh pendingin. Sofa yang juga berwarna putih, serta meja marmer membuat sepasang kekasih ini dapat menyimpulkan bahwa sang yayasan pasti suka minum susu vanila, eh maksudnya menyukai warna putih.
"Dingin, ya, nggak kayak ac di kelas Ziva yang lagi rusak," ucap Ziva seraya mendaratkan bokong di sebelah Mela.
Kedua bola mata si wanita paruh baya masih terfokus pada Samudera yang masih setia melempar senyum. Napasnya masih berusaha ia atur dengan sempurna. Melipat kedua tangan di depan dada bersama dagu yang sedikit mendongak membuat si pria berjas ini meneguk sang saliva susah payah.
Kenapa biasanya saat berhadapan dengan klien justru berbeda dengan seorang wanita? Seperti ada kesan mengintimidasi yang ditampilkan oleh Mela seolah sudah menunjukkan bahwa ia tak akan bisa dikalahkan oleh siapa pun.
"Bagaimana bentuk tanggung jawab Anda terhadap anak saya? Bapak enggak takut kalau Biru saya sumpahin dihajar sampai babak belur di penjara? Dia sudah melecehkan seorang anak di bawah umur, loh," tanya Mela to the point.
"Bagaimana bisa Bapak sebagai orang yang terhormat, bahkan seorang yayasan bisa salah mendidik anak?"
Entahlah, tapi yang jelas jantung Samudera berdebar semakin cepat. Pria paruh baya dengan perut buncit itu terdiam sementara.
Sembari merapikan dasi yang ia kenakan, walau sebenarnya sudah sempurna, Samudera berkata, "Sebelumnya saya juga meminta maaf sebagai orang tua dari Biru. Saya tidak akan menuntut untuk meminta pembebasan, karena mau bagaimanapun, sudah banyak saksi yang menyatakan bahwa ia adalah pelaku, serta bukti yang tertera susah sah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Drama Queen Life [COMPLETED]
Teen Fiction[Completed] Nusa akan berusaha untuk mempertahankan eksistensi eskul choir walau peminatnya bisa dihitung menggunakan jari. Tak peduli seberapa banyak tawaran untuk mengikuti olimpiade, fokusnya hanya ada pada eskul choir. Di tengah perjuangannya it...