"Dia mah suka ngebantah orang tua," balas Mela santai yang kemudian segera mengajak Nusa dan juga Zea masuk ke dalam rumah, lalu mempersilakan mereka untuk duduk.
"Silakan, Dek. Mau minum atau makan apa? Biar nanti Bibi di dapur siapin."
Nusa menggeleng cepat, lalu berucap, "Nggak usah repot-repot, Tante."
"Tante, Zea mau susu coklat boleh, nggak?"
Kedua mata Nusa sontak terbelalak lebar. Melirik ke arah sang adik yang tiba-tiba saja tertular sikap tidak tahu malu Ziva. Ya ampun, padahal sudah sering kali ia ajarkan agar tidak merepotkan orang lain, tapi kenapa semua ajaran itu mendadak sirna?
"Zea, jangan ngerepotin Tantenya," bisik Nusa.
Si adik kecil justru menggeleng. "Enggak, Abang. Tadi di sekolah Zea liat temen minum susu, kan jadi pengen," ucapnya memelas.
"Nanti kita beli di supermarket aja, ya."
"Udah, nggak apa-apa. Kemaren Ziva ada ngestok kok di kulkas. Kasian nanti kalau laper bisa sakit," sahut Mela ramah. Wanita paruh baya itu pun langsung bangkit dan menghampiri seorang pembantu di dapur.
Sementara Ziva justru masih betah terdiam di depan pintu. Air matanya tak boleh mengalir. Bukankah sudah biasa Mela menjelekkan putrinya sendiri di hadapan orang lain? Kenapa sekarang harus menangis? Masa depan gebetan menunjukkan ekspresi sedih?
Walau tak bisa ia tutupi sedemikian rupa—terbukti dari sang punggung tangan yang terus mengusap bulir-bulir bening, gadis itu tetap berusaha melukiskan senyum.
'Semangat, Zivanna. Iya kamu kuat, kok.' Hati Ziva berucap pelan.
Ia terus menyemangati dirinya sendiri. Baiklah harus terlihat tegar di depan Nusa dan juga Zea.
"Kamu temennya Ziva?" tanya Hardie penasaran. Walau umurnya sudah menginjak angka empat pun ia masih senang bertanya-tanya untuk memuaskan hasrat ke-kepo-annya. Persis seperti Ziva.
"Bukan, Om! Kak Ziva itu pacarnya Kakak aku!"sahut Zea kencang seraya menyeruput segelas susu yang baru saja dibawakan oleh seorang wanita lanjut usia.
"Saya temennya Ziva," jawab Nusa. Astaga sepertinya sudah salah ia mempertemukan Ziva dengan sang adik, semakin tertular pula bar-barnya
Mela mengangguk paham. Jika ia teliti dari ujung kepala sampai ujung kaki, Nusa terlihat seperti anak yang pintar. Dari cara Nusa dan Zea berbicara saja sudah menunjukkan etika sopan santun yang kuat.
"Prestasi kamu di sekolah apa aja?" tanya Mela. Hanya seorang teman memang, tapi wanita paruh baya itu senang mengintimidasi layaknya berbicara pada calon menantu. Mela memang akan membatasi teman Ziva dan memperhatikan orang seperti apa yang mau mendengarkan segala curahan hati putrinya tersebut.
"Ketua eskul choir sama paralel satu dari kelas satu SD, Ma," sahut Ziva yang kini sedang mendaratkan bokong di sebelah Zea.
Mela menggelengkan kepala takjub saat mendengar itu semua. Benar-benar keren. Nusa harus berteman dengan Ziva, dan khusus Nusa pula Mela izinkan untuk memiliki hubungan khusus dengan sang putri.
"Prestasi saya cuman itu doang, Tante. Nggak banyak," balas Nusa.
"Ya udah, karena kamu pinter dan berprestasi, kamu mau ajarin anak saya belajar bahasa Jepang sama Matematika? Beberapa guru yang pernah ngajarin Ziva biasanya nyerah. Kalau kamu bisa, nanti kamu boleh pacaran sama Ziva," tawar Mela. Tanpa bertanya jurusan apa yang diambil oleh pria itu, wanita itu yakin bahwa Nusa bisa melakukan segala hal.
Nusa terdiam. Tunggu ... pacar? Memang apa hubungannya dengan Nusa? Lelaki itu tak pernah menaruh perasaan pada Ziva, bahkan tak ada ucapannya yang menyatakan hal tersebut. Sepertinya orang tua dan juga anak memang tak beda jauh. Sama-sama senang berhalusinasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Drama Queen Life [COMPLETED]
Roman pour Adolescents[Completed] Nusa akan berusaha untuk mempertahankan eksistensi eskul choir walau peminatnya bisa dihitung menggunakan jari. Tak peduli seberapa banyak tawaran untuk mengikuti olimpiade, fokusnya hanya ada pada eskul choir. Di tengah perjuangannya it...