ALVIN
Bekerja sebagai Personal Assistant itu tak terikat jam kerja nine to five. Ouw, jangan dibayangkan bisa masuk seenaknya sendiri, justru sebaliknya ... hari ini Sabtu, pukul tujuh pagi, begitu terjaga aku cek jadwal boss di tab, lalu mengirim pesan Whatsapp mengingatkan, ada brunch pukul sepuluh pagi dengan Mr. Park di Paul Pattiseries, Pacific Place. Aku tahu semalam beliau ke club malam, biasanya one night stand, menginap di hotel, tidak pulang ke rumah. Aku sudah menitipkan dokumen ke sopirnya.
.
Lisa membelaiku, kuletakkan gawai di nakas, mengalihkan perhatian kepadanya, mengulang kesenangan tadi malam.
Beruntung aku sudah melewati puncak ketika boss menelpon, kulihat jam sebelum menekan gambar telpon berwarna hijau, belum pukul delapan.
"Alvin," katanya tanpa basa-basi, "cek CCTV di lorong, di lobby, di drop off. Aku mau kautemukan perempuan yang bersamaku tadi malam. Aku menginginkannya lagi!"
Lisa cemberut melihatku bangkit meninggalkannya, ia tipe perempuan yang ingin didekap setelah selesai, bukan asal tancap cabut. Sebenarnya ia ingin aku meresmikan hubungan, tapi aku sedang menunggu lainnya, yang kukenal setahun yang lalu, dan masih punya pacar. Sebelum Renata menikah, aku masih berharap hubungannya bermasalah dan aku bisa mendapatkannya.
"Maaf, sayang, boss memanggil." Kukecup bibirnya sekilas, berharap ia tak marah.
"Kalau begitu aku pulang, biasanya urusan boss kau tak ingat waktu." Ia juga beranjak bangun.
"Aku masih ingin bersamamu, tapi ini masalah uang. Kau tak ingin kita hidup di rusun, kan? Lebih nyaman apartemen tengah kota seperti ini, walau tak mewah."
"Ya," sahutnya setuju, tapi belum bisa tersenyum.
.
"Kuturunkan dimana? Aku ke arah jalur tengah."
"Di halte jalan raya, aku mau menengok ibu di Bekasi."
Dari apartemen Mediterania, Kelapa Gading aku meluncur ke jalur Sudirman-Thamrin, menuju ke salah satu hotel berbintang lima di situ, milik boss, tempat yang selalu dipakainya untuk one night stand.
.
Kuserahkan mobil ke petugas valet, berpapasan dengan beliau di lobby.
"Kau harus mendapatkan informasi secepatnya!" katanya menggamitku.
Aku mengernyitkan kening sambil melangkah ke ruang monitor CCTV, tidak biasanya boss ingin mengulang tidur dengan perempuan yang sama, apa istimewanya dia?
**
.
Adam Pramudya - bossku - menempatkan privacy di atas segalanya. Kamera CCTV di lantai suite pribadinya diletakkan agak jauh dari pintu, tak ingin perempuan yang dibawanya terpantau dengan jelas oleh team sekuriti. Kebijakan itu sekarang menjadi bumerang, sosok yang keluar kamarnya buram ... tapi tunggu, aku merasa mengenalnya! Kulihat tanda waktu di sudut layar, lalu membuka kamera di dekat lift mulai di detik tersebut. Pandangan dari belakang atas ... menguatkan dugaanku, tapi wajahnya tidak kelihatan. Berikutnya kamera di depan lift lantai lobby ... gotcha! Renata. RENATA?
.
Menelpon reception menanyakan jam berapa Pak Adam mengambil kunci, kembali ke kamera di depan lift di lantai suite beberapa menit kemudian, sang boss keluar bersama seorang wanita yang berbeda, glamour dan sexy, bertolak belakang dengan Renata sehari-hari.
Mengulang rekaman di pagi hari, perempuan yang keluar kamar, yang kukenali sebagai Renata keluar lift di lobby, mengenakan pakaian yang sama dengan si glamour sexy. Dugaanku, Pak Adam tak sempat mengenalinya, Renata pergi sebelum beliau bangun.
Namun ... Renata bukan perempuan genit, ia punya pacar, bagaimana bisa ia tidur dengan seorang playboy seperti bossku?
"Apakah kamar Pak Adam sudah dibersihkan?" tanyaku ke bagian housekeeping, "tunda dulu."
.
Kamera di drop off, Renata masuk ke sebuah taxi berwarna biru, tekan tombol pause, kucatat nomornya, menelpon perusahaan taxi itu menanyakan kemana ia diantar. Apartemen di kawasan Sudirman CBD. Confirmed, perempuan itu Renata.
.
Seperti detektif aku mengamati setiap jengkal kamar termasuk kamar mandi. Tak ada kondom di tempat sampah, setahuku Pak Adam tidak pernah memakainya, tapi ia rajin memeriksakan kesehatan enam bulan sekali.
Seprei berantakan, kutarik meluruskan, ada bercak darah, Renata masih perawan? Apakah itu yang membuat Pak Adam menginginkannya lagi? Iseng saja kuangkat bantal, aku kaget, ada sebuah kalung emas, dengan leontin nama TATIK. Kukantongi, bisa menjadi petunjuk, bukti pemiliknya pernah ke sini.
Tak menemukan petunjuk lain, aku melangkah gontai ke resto, pekerjaan ini lebih menguras energi dari bercinta semalam suntuk bersama Lisa.
**
.
Masih separoh isi piringku waktu Pak Adam menelpon.
"Rumah Sakit Pondok Indah," perintahnya, "sekarang!"
Terbirit-birit aku menuju ke sana, titah sang boss tak boleh dibantah.
"Sampai mana?" Baru sampai di parkiran, belum sempat matikan mobil, sudah ditelponnya, "langsung ke IRD."
.
"Aku harus pulang, Alex nggak mau makan kalau bukan masakan Renata," katanya menyerahkan sebuah kartu ATM dan menyebutkan PINnya.
"Lah, Renata?"
"Di dalam, sedang diperiksa. Tadi tertabrak mobilku, lalu pingsan. Urus dia, bayar semua biaya pengobatannya, minta diperiksa dengan seksama. Aku tak mau ada tuntutan kelak."
Satu langkah menjauh, lalu kembali lagi, "apa yang sudah kaudapatkan?"
Setengah hati kuserahkan kalung emas yang kutemukan di bawah bantal.
"Tatik," gumamnya, lalu ditepuknya bahuku, "temukan dia, secepatnya."
Aku termangu memandang punggungnya, hatiku berteriak, "YANG KAUCARI ADA DI SINI, BODOH!"
.
"Keluarga Ibu Renata."
Aku bergegas mengikuti seorang perawat ke dalam, Renata terbaring di atas stretcher.
"Sudah diobservasi selama dua jam, tak ada patah tulang, tak ada pembengkakan, hanya lecet dan memar, sudah diobati." Dokter yang berdiri di sampingnya menjelaskan, "silakan pulang, saya juga tidak memberikan resep apapun."
"Kau yakin tidak apa-apa?" Aku membantunya berdiri, ia meringis menahan nyeri.
"Mana yang sakit, foto rontgen ya?" Renata menggeleng.
"Yang sakit area intimku ...."
"Tunggu di sini."
.
Kami beruntung, langsung bisa masuk ruang periksa Ginekolog.
"Ada sedikit memar di area sana, lecet, ini saya kasih salep untuk dioleskan," dokter itu menulis resep sambil tersenyum simpul dan menggeleng-gelengkan kepala, "seminggu ke depan harus beristirahat total, setelah itu boleh berhubungan intim, tapi dengan lembut ...," melirikku, menambahkan, "jangan memakai alat bantu ...."
Aku tercekat, tak pernah mendengar Pak Adam menggunakan alat bantu. Apakah semalam ia melakukannya dengan brutal?
**
.
Di mobil.
"Maaf," kata Renata tersenyum, "dokter itu berpikir kau meniduriku dengan kasar."
Aku hanya tertawa, serba salah mau komen apa.
"Pak Adam bilang, kau tertabrak mobilnya ...."
"Aku bertengkar dengan Victor, lari ke jalan tanpa melihat kiri-kanan ...," ia menarik nafas panjang, "aku tak ingin pulang, tapi tak punya tempat singgah lain."
"Apartemenku dua kamar," aku menawarkan, "tapi jauh di Kelapa Gading."
Gawainya berbunyi, ia memeriksa, lalu tersenyum lega, "tolong antar ke apartemenku saja."
Aku terkesima, siapa yang menghubunginya?
.
"Alex mogok makan," ujarku kemudian.
"Oh ya, pagi tadi, sebelum aku menabrak mobil Pak Adam, aku telah mengirim pesan, aku berhenti menjadi Ahli Gizi Alex."
"Mendadak? Mengapa?"
Renata tak menjawab, tapi kulirik ia sedang berusaha keras terlihat normal, tidak histeris.
Aku betul-betul ingin tahu apa yang terjadi tadi malam di suite Pak Adam. Apa yang dilakukannya kepada Renata? Terngiang lagi kata dokter tadi, alat bantu sex?
.
bersambung
.
Surabaya, 03 Desember 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAUMA RENATA
Romanceblom ada, 100% halu n micin proyek eksperimen (lagi) berusaha menulis cerita tentang Renata dari sisi trauma psikologis setelah dengan gegabah menyerahkan keperawanannya kepada sembarang lelaki. masih dilabeli 25+ kuatir jalan yang diatur lurus teti...