14. JONAS CATERING

1.3K 95 2
                                    

RENATA
.
.
[Renata, aku di SCBD, kau tak pulang, kemana?]
[Renata, kita harus ketemu!]
[Kau tak mau dengar penjelasanku, OK! Tapi aku butuh penjelasanmu, siapa yang kasih cupang di lehermu?]
.
Aku tahu Andrew akan mengejarku, aku turun lift tidak ke drop off lobby, aku ke parkiran, mengawasi mobil sport merah itu dari tempat tersembunyi.
Seperti dugaanku, ia mengambil mobilnya dan pergi.
"Rey, aku bisa menjelaskan," aku bertemu Laila saat menunggu taxi online.
"Tidak perlu, aku sudah lama mengendusnya. Andrew sering menghilang malam hari, kembali sebelum aku bangun. Pasti menemuimu." Aku tertawa getir, "aku memang bukan untuknya."
"Kau pasti bukan mau pulang, kemana?" Taxi online datang.
"Bukan urusanmu!" Aku masuk mobil.
Handphone kuatur silent mode, tak mau terganggu berisik panggilan dari Andrew, saat di perjalanan itu, ia pasti sudah sampai di apartemen SCBD.
Lalu ia memborbardirku dengan pesan Whatsapp. Bertambah besar keinginanku tak mau menemuinya, aku tak bisa memberitahunya aku tidur lagi dengan Pak Adam.
.
Oom Surya menyambut kedatanganku dengan tangan terbuka.
"Berantem dengan Andrew?" tanyanya tertawa, "dulu aku ingin menjodohkan kalian, tapi tidak! Ia tak cukup baik untukmu."
Aneh, mengapa Oom Surya berpihak kepadaku.
Senin, aku minta tolong Jonas memastikan Andrew ke Australia, aku pulang ke apartemen mengambil seluruh barangku.
.
Melayani konsultasi online menggunakan nama Ibu, Tatyana, aku meminta semua staf memanggilku Tatik, supaya tidak salah sebut nama. Walaupun tidak melayani konsultasi tatap muka, ada saja customer yang berhasil mendapatkan alamat dapur dan mampir.
.
Jonas memimpikan JC bisa melayani seDKI, menanyakan pendapatku tentang penawaran seorang investor. Kenzo akan menanamkan uang dua kali lipat dari modal kami, dia punya satu rumah di bilangan Blok M yang bisa digunakan untuk dapur kedua, malayani lebih banyak pengiriman ke wilayah Jakarta Selatan, sehingga yang di Kampung Bali bisa melayani area Jakarta Utara dan Jakarta Barat.
"Namun, dengan Kenzo memiliki saham enam puluh lima persen, kita kehilangan kendali atas JC," keluh Jonas.
"Tak apa," aku memberinya semangat, "buat agreement yang jelas, dalam kurun waktu setahun, bisa ditinjau ulang, bila kita tidak cocok, bisa pecah kongsi. Dapur Blok M menjadi semacam pemegang franchise, coba dihitung, berapa nilai yang pantas. Sedangkan cafe kecil macam Titikoma saja 125juta untuk lima tahun, kita bisa start dengan menyebutkan angka itu."
Kesulitan pertama, tenaga kerja. Staf-staf tidak ada yang tinggal di Jakarta Selatan, aku dan Jonas babat alas, turun tangan sendiri sambil membimbing karyawan baru. Tresya dan Mona mengurus dapur pertama.
Walaupun lokasi dapur pertama di Jakarta Pusat, area tersebut dicover dapur kedua, karena kapasitasnya lebih besar. Dengan tak rela, aku dan Jonas melihat perkembangan dapur kedua lebih pesat. Untungnya Kenzo hanya jadi pemegang saham pasif, tidak ikut campur, hanya memonitor lewat laporan bulanan.
.
Someone is watching me.
"Rey, usahamu maju pesat, ya!"
"Ya, Oom, tapi kan bukan milik sendiri, was-was terus, kuatir diambilalih."
"Bagaimana kalau kuberikan perusahaan itu untukmu?"
Oom Surya pasti bergurau.
Tidak, ekspresinya serius, menyodorkan sebuah map kepadaku, hasil tes DNA. Aku anak Oom Surya? Ayah?
"Sampai meninggalnya, ayahmu tak tahu kau anakku," ia tersenyum, "kau putri kesayangannya, aku sudah merebut istrinya, tak tega merebut biji matanya juga. Karena itu kubiarkan ia membesarkanmu, aku hanya mengawasi dari jauh."
"Ayo, peluk Papa!"
Aku memeluknya. Sudah kurasakan kasih sayang dan perhatiannya, tapi kukira karena aku anak Ibu. Tak jelas juga hubungan mereka, menikah atau sekedar hidup bersama. Namun, tunggu! Andrew ....
"Kenzo adalah asisten pribadi Andrew," kata Papa, "aku tak yakin ia berinvestasi di JC dengan niat baik, pasti akan digunakannya untuk menekanmu menikah dengannya."
"Papa tahu?"
"Aku tahu kalian hidup bersama, tapi ia main gila dengan sekretarisnya di belakangmu. Lupakan Andrew!"
.
Papa mengundang keempat putrinya dari dua istri terdahulu, memperkenalkanku, mereka sudah menikah, dan bisa menerimaku dengan baik. Mereka menghormati Ibu, kelihatannya malah mereka tidak menyukai ibunya Andrew.
.
Lalu Papa menyuruh Andrew datang, pemuda itu kaget melihatku tinggal di sini. Lebih kaget Papa menghadiahkan JC di bawah pengelolaanku.
.
Papa sepertinya sudah lama tahu Andrew bukan darah dagingnya, seingatku waktu aku baru pindah beliau bilang pernah punya rencana menjodohkan kami. Namun Papa kelihatannya tak ingin mengungkap rahasia itu, punya anak lelaki memang sebuah kebanggaan tersendiri.
.
Papa mengancam Andrew, mengingatkannya jangan gegabah. Dengan statusku yang baru, diakui sebagai anak, hal yang mustahil untuk kami menikah.
"Rey, aku akan tepati janjiku, aku akan menikahimu tahun depan, setelah aku tak tergantung lagi kepada Papa secara finansial." Andrew mencari kesempatan berbicara dari hati ke hati, tapi perasaanku sudah mati.
"Aku yang tak mau, Dru."
"Mengapa? Karena Laila?" desaknya, "waktu kau pindah ke Senopati, aku sudah berterusterang aku punya boneka karet untuk pelampiasan. Tapi setelah mendekapmu, aku butuh lebih dari boneka. Tolonglah mengerti, antara aku dan Laila tak ada ikatan apa-apa."
"Entahlah," aku mengedikkan bahu, "tapi perasaanku sudah berubah."
Andrew berusaha mendapatkan perhatianku lagi, setiap akhir pekan ia datang, menginap. Aku risih. Menghindarinya, aku putuskan mengambil resiko lain, ikut Jonas ke Bogor.
"Karena Jonas, kau menolakku?" Andrew menuntut jawaban, kuabaikan.
.
Suatu petang, Jonas sedang menerima tamu, ada client datang, ngotot mencariku, Pram, client yang sering mengajak diskusi hal-hal lain.
"Selamat sore, Pak Pram," sapaku masuk ke ruang meeting kecil.
"Selamat sore, Bu Tatik," aku terpaku seperti melihat hantu, "Adam Pramudya."
Shit! Aku tak pernah menduganya.
"Apa kabar, Renata? Sejak awal hatiku mengatakan, Tatyana adalah Renata."
Pak Adam memelukku, aku merasa lemas, tak bertenaga. Sudah tidak diserang panik, tapi aku seperti mangsa yang tak berdaya diterkam predator. Apalagi saat bibirnya menciumku, menuntutku pasrah menjadi miliknya.
"Menikahlah denganku, Renata," bisiknya.
"Sa ... sa ... ya ... tak bisa jawab sekarang, beri saya waktu berpikir, Pak."
"Berapa lama lagi? Sudah hampir setahun sejak kita terakhir bertemu di Bogor."
Dan aku tergetar oleh kenangan itu, kenikmatan yang diberikannya kepadaku.
Pak Adam ngotot mengantarku pulang.
"Senopati?" tanyanya mengejek.
"Saya sudah lama pindah dari sana, Pak." Terpaksa kusebutkan alamatku sekarang.
"Panggil namaku, Adam, tanpa pak. Setelah hubungan kita sedekat ini, tak pantas kau memanggilku pak."
Adam tak mau mengantar hanya di pintu, memaksa masuk, ingin bertemu dengan orang-orang serumah.
.
"Adam Pramudya dari Ayodya group?" Papa menginterogasinya.
"Ya, Oom."
"Apa hubunganmu dengan anakku?"
"Saya sudah berkali-kali mengajaknya menikah, Oom, selalu ditolak."
Papa melirikku sekilas, "kau tahu siapa aku?"
"Baru tahu saat Oom menyebutkan nama. Saya mencintai Renata bukan karena dia anak Oom, justru saya pikir ia pacar Andrew."
"Pulanglah. Lain kali silakan mampir lagi, tapi jangan akhir pekan, Renata pergi."
Aduh, Papa!
Adam pasti tahu aku pergi kemana.
.
bersambung
.
Surabaya, 22 Desember 2019

TRAUMA RENATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang