24. RENDY

1.3K 85 3
                                    

RENATA
.
.
Lebih aman di rumah Papa, selalu ada orang lain, tak hanya pelayan.
Merasa berterima kasih, Papa dan Ibu menerima baik setiap kedatangan Jordy tanpa prasangka. Pemuda itu secara teratur berkunjung, alasannya sih jatuh cinta kepada Ivan, tapi cemberut bila aku tak ikut menemani.
"Ia mencari kesempatan tidur denganku," aduku kepada Adam.
"Terserah kau!" Ia tertawa.
"Tentu saja tidak! Aku bukan pelacur!"
Adam menunjukkan fotoku di ayunan, "enak ya? Mau beli satu?"
"Tidak bisakah kita hapus kenangannya?"

Masalahnya, aku tidak mens, positif, hamil anak Oom Jordan lagi. Adam senang, tapi juga kuatir aku diculik lagi.
"Ijinkan aku tidur dengan Jordy, supaya ia mengira ini anaknya, dan akan melindungiku dari ayahnya."
"Bagaimana kalau ia tahu?"
"Buat tes DNA. Saudara sedarah pasti banyak cocoknya."
"Kau yakin?"

Papa mengerti situasi Adam, karena menghadapi masalah yang sama dengan Andrew. Bedanya, Papa masih punya lima anak perempuan.
"Rabu depan! Aku dan ibumu akan membawa Ivan menginap ke Puncak. Adam, kau pergilah urus bisnismu di Singapore, berikan waktu Jordy meniduri Renata." Lalu kepadaku, "ambil rambutnya, tes DNA dengan Ivan. Supaya kita yakin kelak bagaimana hasil tes dengan anak keduamu."

"Kok sepi?"
Jordy sering mengunjungiku di hari Rabu, hari Adam main golf, pulang larut malam saat Adam datang.
"Nggak suka?" aku tersenyum genit, duduk di pangkuannya, "Ivan dibawa kakek-neneknya ke Puncak, Papanya ke Singapore."
"Berarti ... kita ...."
Jordy tak sempat menyelesaikan kalimatnya, kuhentikan dengan ciuman. Tangannya masuk ke dalam rok terusanku yang longgar.
"Shit!" ia memaki, tangannya tak menemukan garis kain, bebas menggenggam gumpalan daging yang kenyal, maupun menyusup ke dalam lipatan kulitku.
Aku turun dari pangkuannya, ia menurunkan celananya dan menindihku di sofa.
"Renata, kau yakin?"
Aku mengangguk, mengangkat pinggulku menyambutnya. Jordy mendesak masuk sampai dalam dengan ragu, mungkin trauma karena pernah kucekik. Namun, begitu merasa yang ditakutkannya tak terjadi, ia mulai bergerak bersamaku, bertukar peluh.

Jordy tak segera melepasku setelah selesai.
"Aku sekarang mengerti, mengapa Papa tergila-gila padamu," bisiknya.
Kupijat dia dengan otot dalam, dan ceruk tubuhku terasa penuh lagi. Jordy menarik diri, mengajak berganti posisi, dan sekali lagi ia menyirami relung tubuhku.
"Sendirian, kan? Berarti aku boleh menginap?"

"Kalau aku hamil, bagaimana?" tanyaku mengajuk hatinya, "apakah kau akan menyekapku juga?"
"Hmmm ... tidak! Titip besarkan anakku, tapi ijinkan aku mengenalnya, mengunjunginya dari waktu ke waktu."
"Sekarangpun kau rajin mengunjungi Ivan."
"Itu kan kamuflase, tujuanku meniduri ibunya!"

Adam menyogok dokter kandunganku untuk mengurangi umur bayiku di catatan medis. Beberapa kali sengaja ia menyibukkan diri, supaya Jordy yang mengantarku kontrol.
"Loh, suaminya mana, Bu? Diantar siapa ini, kok mesra?"
"Saya suami cadangan, Dok!" jawab Jordy tertawa.
Jordy bersikap manis sebagaimana seorang suami yang berbahagia menyambut anak pertama.

"Aku sudah bilang Mama, mau memperkenalkan pacarku, Rabu besok kuajak ke rumah, ya?"
Lagi, aku diberi kesempatan berduaan. Adam golf ke Bandung, menginap, Ivan ke Puncak seperti yang lalu.

Oom Jordan kelihatan kaget, tapi berusaha tenang.
"Mengapa tidak segera menikah? Kalau sudah sebesar ini, bagaimana menyembunyikannya?" Tante Cindy memandang tak suka ke perutku yang kelihatan hampir meletus, "berapa bulan?"
"Tujuh, Tante." Padahal sudah sembilan.
"Sudah USG? Cowok atau cewek?"
"Cowok, Ma, setelah ini kita punya jagoan."
"Jagoan apa? Anak di luar nikah hanya punya hubungan perdata dengan ibunya!"
"Kan bisa diadopsi, seperti aku!"
"Statusmu jelas, walaupun secara hukum bukan anak Papa."
Aku menyimak dalam diam, keluarga ini ruwet juga.

"Kenapa kalian nggak segera menikah begitu tahu Renata hamil?"
"Nggak mungkin," Jordy tersenyum lebar, "Renata punya suami!"
"Lalu ... suaminya, tahu itu anakmu?"
"Nggak! Dan jangan sampai tahu, Renata sangat mencintai Adam. Aku saja ... yang berhasil merayunya." Jordy mengecup pipiku.
"Ma, boleh Renata menginap? Suaminya sedang ke Bandung ...."

Setelah makan malam, Tante Cindy menggamit Jordy menjauh, mengajaknya bicara agak lama.
"Bener, itu anak Jordy?"
"Saya juga nggak yakin, Oom, bisa jadi anak Adam."
"Apa kabar anakku?"
"Tanya Jordy ...."
"Maksudku, Ivan!"
"Iya, tanya Jordy! Ia datang berkunjung secara rutin. Oom pikir, darimana datangnya kesempatan meniduriku?"
"Dan ... kau mau?"
"Waktu Oom memaksa, bisakah aku menolak?"

"Renata bisa tidur di kamar tidur tamu."
"Percuma dipisahkan, Pa," Jordy tertawa, "Renata sudah mengandung anakku."
Lalu pemuda itu mulai mencumbuku.
"Jordy! Masuk kamar sana!" Tante Cindy kelihatannya tidak senang kepadaku, "tapi inget ya. Mungkin kalian belum tahu, orgasme bisa bikin kontraksi kandungan. Bayinya bisa lahir prematur."

Dan itulah yang terjadi, sedang asyik berdua mendaki puncak terdengar letupan kecil dan kurasakan cairanku membanjir keluar. Jordy panik, menggedor kamar Tante Cindy.
Di mobil, aku menelpon Adam.
*
.
ADAM
.
Aku datang waktu Renata masih di kamar bersalin.
"Kok kalian komplit sekeluarga di sini?" tanyaku berpura-pura curiga, padahal ingin tertawa.
"Jangan salah paham!" Tante Cindy yang menjawab, "Aku mengundangnya makan malam, karena sudah larut, kutawarkan menginap ... tak menduga anakmu protes."
"Keluarga Ibu Renata!" seorang perawat keluar menggendong bayi.
Aku menerobos masuk mencari istriku, membiarkan ketiga orang mengagumi bayi baru lahir itu.
"Hai," sapanya lemah, "tampan seperti kakaknya."
"Kau sudah menyiapkan nama?"
"Belum." Ia tertawa, "kupikir meminta Jordy memilih nama, ucapan terima kasih mengantarku ke rumah sakit."
.
"Rendy," kata Jordy, aku mengerti maksudnya, Renata dan Jordy.
"Nama yang bagus," aku menyetujuinya.
Pindah ke ruang perawatan, Renata menyusui Rendy. Air susunya belum keluar, itu adalah tindakan stimulasi. Aku mengobrol dengan ketiga orang ini waktu Andrew dan Laila datang subuh, Papa Surya dan Ibu akan datang agak siang.
"Kalau Renata bukan adikku, pasti aku akan berpikir yang lahir ini anak keluarga Hartono," katanya, menyalami Jordy dan kedua orang tuanya.

"Adam," kata Tante Cindy, "Jordy belum menikah, adiknya masih betah melajang ... bolehkah aku mengangkat Rendy sebagai cucuku?"
Aku pura-pura terkejut.
"Jangan salah paham. Aku jatuh cinta kepada bayi itu, ijinkan aku mengunjunginya dari waktu ke waktu."
"Tentu saja, Tante. Saya sudah tak punya orang tua, dengan demikian Rendy akan punya dua pasang kakek-nenek."
"Aku juga akan memasukkan namanya sebagai ahli warisku," imbuhnya.
"Rendy punya kakak, Sayang," kata Oom Jordan, "tidak adil untuk kakaknya bila hanya Rendy yang mendapatkan warisan."
Jujur, aku ingin ngakak.

"Tidak perlu seperti itu, Oom, Tante," aku pura-pura menolak, "saya sudah berterima kasih untuk tambahan perhatian bagi anak saya."

Papa dan Ibu datang bersama Ivan membawa sarapan. Sambil menikmati rice bowl, kulihat Tante Cindy mengamati tingkah pola balita chubby itu sambil sesekali melirik Jordy penuh tanya. Sempat kudengar ia bertanya dengan bisikan, "Ivan sangat mirip denganmu waktu seusianya, dia anakmu juga?"
Jordy mengedikkan bahu dan melayangkan lirikan tajam ke ayahnya.

bersambung

Surabaya, 30 Desember 2019

TRAUMA RENATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang