3. THE GIRL

3.1K 120 3
                                        

RENATA
.
Bersama seorang teman kuliah membuka usaha catering sehat, ia punya rumah kecil di daerah Kampung Bali, seputaran Tanah Abang. Tempatnya strategis, kemana-mana dekat, tapi tak cukup representatif untuk melayani konsultasi. Jonas mengurus website dan keuangan, aku mengajak dua sahabat cewek untuk lainnya, menu, memasak, dan konsultasi. Tresya lebih banyak mengurus konsultasi online, nine to five dari apartemen sewa Casa de Yarra di jl. Kebon Sirih, tak jauh dari rumah Jonas yang dipakai untuk menyiapkan catering. Mona bersamaku mengurus menu dan delivery, ia berbagi tempat tinggal dengan Tresya, tiap pagi ia berjalan kaki ke Kampung Bali jam enam pagi, kami bekerja sama dengan aplikasi ojek online, ada beberapa driver yang setiap pukul sebelas siang bersiap di sana, siap mengantar catering di area tengah kota. Sementara ini kami belum meluaskan daerah jajahan, keterbatasan tenaga dan modal, kami hanya bisa melayani makan siang karyawan saja.

Jam dua belas semua beres, Mona pulang dan bergabung dengan Tresya melayani konsultasi, sementara aku menyiapkan wadah-wadah untuk hari berikutnya, menunggu kiriman bahan baku jam empat sore. Aku tinggal di Kampung Bali.

Kemudian Netta – sepupuku, seorang model – naik daun, mengajakku tinggal di apartemennya di SCBD dengan imbalan mengaturkan menunya. Kami menggaji seorang supervisor menggantikan aku tinggal di Kampung Bali, akupun hanya bekerja dari jam tujuh pagi sampai jam dua belas siang saja, sorenya akupun melayani konsultansi online.

Setahun yang lalu, seorang kaya membutuhkan layanan khusus, ia mau aku datang setiap hari dari jam satu siang sampai jam lima sore, menyiapkan menu untuk adiknya. Imbalannya lumayan, lebih besar daripada jam konsultasi yang penuh sekalipun. Mulailah kehidupan segitigaku, jalur SCBC – Kebon Sirih – Simprug.

Aku jarang bertemu sang boss – Adam Pramudya – lebih banyak interaksi dengan Alex, adiknya yang jauh lebih muda. Pemuda ini punya masalah dengan sistem imunisasi tubuhnya, tidak bisa terkena banyak paparan sinar matahari, sesak napas bila menghirup udara tidak bersih, sehingga ia tak bisa beraktifitas normal. Sekolahnya home schooling, dan jarang keluar rumah.

Ada satu dapur dan ruang makan terpisah, supaya Alex tidak tergoda menyantap yang dilarang. Makanannya gluten free, dan masih sederet lagi pantangan, pusing aku mencari bahan pangan penggantinya. Untungnya jaman sekarang banyak orang menjalankan diet keto, gampang mencari tepung keto untuk membuatkannya roti gluten free. Keahlianku memasak benar-benar diuji.

Sambil menyiapkan makanannya, Alex sering mengajakku mengobrol, menanyakan pelajaran yang tidak dimengertinya. Di rumahnya ada grand piano, gitar elektrik, dan drum. Kadang aku bermain piano dan ia mengiringi dengan gitar atau drum, di saat yang lain ia yang memainkan piano dan aku menari. Kami menjadi sahabat baik, walaupun umurku delapan tahun lebih tua.

Hari kerjaku Senin sampai Jumat, tapi seringkali Alex memintaku datang di hari Sabtu dan Minggu entah untuk menonton film bersama, ada home theatre yang nyaman di rumahnya, atau untuk sekedar menemaninya berenang.

**

Victor adalah teman Netta, ia seorang model di agency yang sama. Kupikir ia suka kepada sepupuku, karena itu aku heran ia mengajakku pacaran. Sejak awal, aku sudah menegaskan bukan penganut sex bebas, menjaga kesucian untuk suami di malam pengantin, ia setuju. Karena itu, Jumat sore itu aku sangat kaget memergoki Victor berhubungan badan dengan Netta.

Lari dari apartemen di SCBD, aku menuju Casa de Yarra, menangis di apartemen Tresya dan Mona. Kebetulan mereka akan ke club malam, aku mau saja diajak, meminjam pakaian mereka, kebetulan ukuran kami sama. Mereka mendandani begitu cantik, aku hampir tak mengenali bayanganku di cermin.

Aku suka menari, tapi pasangan-pasangan di dance floor itu bukan menari, mereka menggesek-gesekkan tubuhnya mengundang birahi. Aku memilih duduk di bar, menikmati minuman sementara Tresya dan Mona entah kemana. Seorang lelaki mabuk berusaha memaksa menciumku, tapi aku punya penyelamat, ada yang memukul dan menyuruhnya pergi.

"Sendirian?" sapanya tak melihat ada yang menemani, aku mengangguk, meneguk habis isi gelas.

"Mau turun?"

Sebagai ucapan terima kasih aku mengiyakan dan mengekornya ke dance floor. Lelaki itu tinggi atletis, suara berat berwibawa, lampu remang-remang membuatku tak bisa melihat sosoknya dengan jelas, tapi aku seakan pernah bertemu dengannya. Ia bisa menari, bukan hanya sekedar memeluk dan grepe-grepe, tapi tetap saja tubuh kami bergesekan didesak pengunjung lainnya.

"Di sini penuh sesak, bagaimana kalau kita lanjut mengobrol di tempatku?"

.

Penolongku itu membawaku ke sebuah kamar hotel berbintang, masuk ke kamar ia menyalakan TV memilih channel musik, dan mengajakku menari. Di akhir lagu pertama, ia menatap mataku lekat, menunduk, lalu menciumku ... membuatku lupa segalanya, persetan dengan Netta dan Victor, akupun menyerahkan diri, kepada lelaki itu dan nafsuku sendiri.

Terbiasa bangun dini hari, aku terjaga saat fajar menyingsing, telanjang dalam dekapan seorang lelaki. Napasnya teratur, tanda masih nyenyak tidur, perlahan kugeser lengannya, beringsut mundur, dan kaget melihat wajahnya, Adam Pramudya, bossku!

Antara malu dan menyesal, aku memilih bergegas membersihkan diri di kamar mandi dan berpakaian, leher dan dadaku penuh cupang, dan tubuhku terasa pegal, bukti pergulatan panas kami semalam. Mengelus leher, aku menyadari kehilangan kalung warisan ibuku, mengendap-endap mencarinya tanpa hasil, aku memutuskan merelakannya, hilang berbarengan dengan milik berhargaku yang lain.

"Tunggu!" aku sedang berjalan ke arah pintu waktu Pak Adam memanggil.

"Tunggu!" serunya lagi, "aku tidak tahu namamu."

Ia tak mengenaliku, syukurlah, aku pergi tanpa menoleh lagi. Aku sudah mendengar reputasinya, tak pernah tidur dua kali dengan perempuan yang sama, memperlihatkan diri kepadanya tak ada gunanya, apalagi meminta pertanggungjawaban, kemarin ia tidak memaksa, kami melakukannya atas dasar suka sama suka.

.

Sampai di apartemen, aku mengirim pesan kepadanya, jelas aku tak bisa lagi menghadapinya setelah yang terjadi tadi malam. Kurasakan nyeri di selangkanganku, ternyata begini rasanya berhubungan intim, apa enaknya? Mengapa Netta dan Victor suka?

[Selamat pagi, Pak Adam.]

[Mohon maaf, pemberitahuannya mendadak, mulai hari ini saya berhenti bekerja untuk Alex. Terima kasih.] dibaca, tapi tak ada balasan.

Entah kemana sepasang pengkhianat itu, apartemen kosong saat aku masuk. Segera aku berkemas-kemas, tak ingin tinggal di situ lagi. Pakaianku tidak banyak, begitu juga barang pribadiku, semuanya masuk di dua kopor besar dan dua travel bag. Aku baru membuka pintu kamar ketika Victor dan Netta datang.

"Rena ...," Netta cepat mendekat, "aku dan Victor ...."

"Lanjutkan saja, aku tak keberatan," kataku dingin.

"Rena," bangsat itu ikut bicara, "itu tak seperti yang kaukira ...."

"Tidak masalah. Kalian cocok kok, aku saja yang tidak bisa melihat kedekatan kalian."

"Kau mau kemana?" Netta mencegahku mengeluarkan kopor, "tetaplah tinggal di sini ...."

Aku menepiskan tangannya, jijik, itu tangan yang telah menjelajah tubuh lelaki yang kukira milikku.

"Rena, tunggu!"

Kutinggalkan barang-barangku, aku tidak tahan berada di ruang yang sama dengan pengkhianat. Pintu lift menutup sebelum Victor dan Netta masuk, aku sudah keluar lobby waktu mereka keluar lift.

"Rena!"

Tak ingin terkejar, aku cepat menyeberang jalan, tak sempat melihat kiri-kanan, dan aku tersandung, jatuh persis di depan sebuah mobil, untung sopirnya berhasil mengerem, aku tak terlindas.

Aku cepat berdiri, tak ingin tersusul, kutepiskan tangan yang ingin membantuku berdiri, aku masih sanggup.

"Renata?"

Pak Adam! Ini mobil Pak Adam, orang yang tak ingin kutemui, aku pincang menjauh, tapi baru dua langkah limbung, pandanganku gelap.

.

bersambung

.

Surabaya, 05 Desember 2019

TRAUMA RENATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang