10. NO SEX TOYS, SHE SAID

2.8K 108 1
                                    

RENATA
.
.
Di kehidupan sebelumnya, mungkin aku seekor ikan, atau seorang putri duyung. Aku senang berada di air, sayangnya kolam renang di apartemen Senopati selalu ramai, aku tak nyaman beramahtamah dengan penghuni lain. Akan banyak pertanyaan, walaupun zaman now sudah biasa sepasang anak manusia hidup bersama tanpa menikah.
Andrew ke Singapore, ada kerabat ayahnya menikah, daripada sendirian di apartemen, aku berlama-lama berenang walaupun Alex ada acara. Menikmati kecipak air sendirian, aku merasa menjadi orang kaya, Jumat petang aku yakin sang pemilik punya acara di luar rumah.
"Hai," suara berat itu menyapa, aku berenang menjauh, ia menyusul, aku kembali, dan seterusnya beberapa kali lintasan. Aku tak bisa berpikir, mulai panik, nafas sesak, dan aku tenggelam.
.
Waktu batuk-batuk menarikku kembali dari kegelapan, sosok penolongku tengkurap di atasku, begitu dekat, bila kuangkat kepalaku sedikit saja, pasti bibir kami bersentuhan. Aku menenangkan detak jantungku, membujuk gelora jiwaku, Pak Adam barusan memberi nafas buatan, bukan memperkosa. Kulirik ke bawah, sepasang bikini biru tosca masih manis memeluk di tempat seharusnya.
.
Pak Adam bangkit dan pergi, aku duduk terbatuk-batuk, ada sedikit nyeri di dada, efek air kolam terminum. Secepat perginya, secepat itu beliau kembali, menggendongku masuk ke kamar, menuju kamar mandi di dalamnya. Meletakkanku di bath tube air hangat, menuang bubble bath ungu, mengocok air dan aroma lavender merasuk penciumanku, membuatku relax.
Menggosok badanku, semakin banyak gelembung menutup tubuh, ingin melepas bikini tapi ragu. Gemercik air membuatku menoleh, lalu kubuang pandangan ke arah lain, Pak Adam tanpa malu mandi telanjang menghadap ke arahku, matanya tajam mengulitiku. Tak urung sempat terekam sosoknya yang gagah, dada bidang perut tanpa lemak, lengan kekar kaki berotot, dan kejantanan di genggamannya yang pernah mengoyak duniaku, memberikan rasa sakit dan nikmat sekaligus ... nafasku sesak lagi membayangkan tubuhku menyatu dengannya. Kututup mata, ingat bisikan Andrew bila panik menyerang saat bercumbu, fokus kepada rasa nikmatnya. Kutarik nafas panjang hembuskan pelan, kulakukan berulang beberapa kali, denyar-denyar halus di seluruh tubuh saat kusadari permukaan air membelai turun. Kubuka mata berbarengan dengan tubuhku dipaksa berdiri, dan sekejap tangannya trampil melepaskan bikini.
"Hey, Pak!" tak sempat protes ia membungkusku dengan handuk besar dan membopongku ke kamar.
.
Lagi aku dipaksa berdiri, melorot dari gendongannya, tak sengaja menarik turun handuk yang melilit pinggangnya, aku terkesiap. Melepaskan pegangan padaku, handukku ikut luruh, aku masih tertegun saat ia berdiri dengan handuk menutup pandanganku dari joystick yang membuatku terpukau. Merasa tertangkap basah, aku menatap matanya meminta maaf, tapi bibirnya menyecapku, lidahnya menjajah lidahku bagaikan membuka pintu kerangkeng, membebaskan sisi liarku.
.
Aku lupa trauma berada di dekat Pak Adam, tidak ingat ingin menghindarinya. Tubuhku berkhianat, jemariku menjelajah tubuhnya, meremas, mencakar, balas memberikan rasa yang sama.
Seperti sekitar sepuluh bulan sebelumnya, kami berpagut layaknya pasangan kekasih, tubuh menyatu berganti posisi. Stamina prima Pak Adam sebanding dengan kelenturan tubuhku, entah berapa kali orgasme sebelum aku terlelap di pelukannya.
.
Penyesalan itu selalu datang di pagi hari. Membuka mata menatap dada telanjang, sadar telah mengkhianati Andrew dengan pergulatan semalam ... dan haiii ... kok bisa? Tak ada vaginismus!
Aku bergeser mundur hanya untuk menyadari tubuhku tak berpakaian, Pak Adam membuka mata dengan malas, aku merapatkan diri lagi, bersembunyi dari jangkauan pandangannya. Tak sengaja lututku menyentuh bagian tubuhnya yang kenyal, dan pahanya menggesek selangkanganku.
"Hmmm ...."
Pak Adam mendorongku telentang, menindihku, jemarinya mencari celah di lipatan pahaku, bibirnya menghisap putingku, sementara sebelah tangan lain meremas pinggangku.
Refleks aku membuka kaki, tanganku meraih mencari ... dan kami menyatu lagi, kuangkat kedua lutut, ingin merasakan ia mendera masuk sejauh-jauhnya ke dalam.
Bergerak seirama, terkenang pagi yang pertama, akan seperti inikah bila aku tak bergegas pergi. Lalu tumbuh nyeri di hati, apa arti bercinta sampai pagi hari ini, kami tak punya ikatan apapun. One night stand?
Air mataku berlinang bersama cairannya membasahi bagian dalam tubuhku.
"Jangan menangis!" dikecupnya kedua mataku, memeluk membawaku berguling, sekarang aku berbaring di atas tubuhnya, joystick masih di dalam, aku diam, ingin berlama-lama merasakannya.
Setelah hari ini, aku tak akan punya muka lagi bertemu dengannya, aku begitu murah..
"Maukah kau menikah denganku?" aku hampir serangan jantung!
.
Pak Adam menyuruhku memakai pakaian di lemari, ada beberapa stel pakaian wanita baru. Milik siapa? Teman-teman tidurnya? Ukurannya pas, aku memilih rok terusan longgar tanpa lengan motif floral. Pakaian dalam kupilih yang simple bukan lingerie berenda.
Melangkah gontai ke ruang makan baru terasa efek kerja keras semalaman, area kewanitaanku sakit, membuat jalanku aneh, untung Pak Adam melangkah di depanku, tapi Alex melihatnya.
"Kau menginap karena sakit?" tanyanya prihatin.
Pak Adam melihatku memegang perut, lah iyalah hihihi tak mungkin aku sentuh pas di area yang nyeri.
"Sarapan dulu, setelah ini kuantar kau ke rumah sakit."
.
Berasa de ja vu.
Di antar orang yang sama ke rumah sakit yang sama, skip bagian IRD, langsung ke Poli Kebidanan Dan Kandungan, beberapa pasangan ikut tersenyum bahagia melihatku diantar lelaki, pasti mereka mengira kami pasangan suami istri.
Setelah memeriksaku, ginekolog yang sama memandang kartu status, pindah ke arahku lalu Pak Adam, tampaknya berusaha mengingat apakah yang bersamaku lelaki yang sama.
"Kasusnya sama seperti yang lalu, Bu Renata," jelasnya dengan senyum dikulum, "sedikit lecet, karena forsir dan pemakaian alat bantu ...."
Aku yakin wajahku memerah, tapi ekspresi Pak Adam luar biasa, ada rasa terkejut, ingin membantah tapi batal, akan bertanya tapi diurungkan.
"Saya beri salep untuk bagian itu," imbuhnya, "seperti yang lalu puasa total seminggu, lalu setelah itu harus dilakukan dengan lembut ... Bapak harus sabar, area tersebut sensitif, harus diperlakukan penuh kasih sayang. Kalau lecet begini, kan malah jadi libur ...."
Dalam hatiku ingin menyanyikan lagu Pelangi, merah kuning hijau ... seperti itulah gambaran wajah Pak Adam. Beliau hanya manggut-mamggut tidak membantah.
.
"Saya mau langsung pulang, Pak," kataku di mobil mendahului instruksinya kepada sopir.
Saat berangkat tadi ia bilang mau mampir toko perhiasan, beli cincin untukku.
"Apartemen Senopati," katanya kepada sopir, lalu merengkuh tubuhku dalam pelukannya, "mengapa Renata? Kau tidak percaya aku serius?"
Aku menggelengkan kepala.
"Dimana orang tuamu tinggal? Aku akan melamarmu minggu depan!"
"Tapi Pak ...! Bila menikah, saya mau karena cinta."
"Aku mencintaimu."
Aku kaget, tidak menduga ucapannya.
"Waktu Alvin cerita kasusmu, aku serius akan membayar detektif mencari bajingan itu. Dari situ aku memperhatikanmu, ingin melindungimu. Aku tak tahu itu cinta, sampai tadi pagi, merasa kau akan pergi meninggalkanku ...."
Pak Adam masih tidak menyadari dialah bajingan itu.
"Bapak bisa mencari perempuan lain, yang tidak murahan seperti saya."
"Hai," ia menciumku sekilas, "aku minta maaf, kemarin tak bisa menahan diri ... aku tidak menganggapmu murahan karena mengimbangiku."
"Tapi ... saya pernah ... itu ... yang pertama ...."
"Kau tahu," ia tertawa, "aku dulu sering berganti teman tidur, aku tak menuntut masa lalu yang bersih. Yang penting, masa depan."
"Tapi Pak ...! Saya tidak mencintai Bapak."
"Andrew?" tanyanya getir, aku mengiyakan.
"Kalau kau berbahagia dengannya, mengapa semalam responmu begitu hot?"
.
bersambung
.
Surabaya, 16 Desember 2019

TRAUMA RENATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang