22. ESCAPE PLAN

1.1K 80 3
                                    

Aku bangkit, tapi Oom Jordan menarikku, menindihku lagi, "satu setengah tahun lalu, berapa kali? Ayo lagi!"
Aku memberontak, lelaki ini gila!
Lari ke dalam, aku menabrak kursi, ia mendorongku membungkuk, dan menerobos masuk. Tubuhku menelungkup di sofa, pantatku terganjal sandaran tangan, posisinya lebih tinggi, memberikannya akses dengan mudah. Kedua tangannya mencengkeram pantatku, sementara ia menghentak. Kuingin menolak kenikmatan yang diberikannya, tapi dari mulutku yang keluar malah desahan dan erangan yang menambah gairahnya.
"Liar! Aku suka."
.
Lelaki itu diam agak lama di dalam setelah selesai, sampai kurasakan ia mengecil dan tergelincir.
Aku berdiri, ia menggendongku ke kamar tidur utama di bawah, mengisi bak jaccusi dengan air hangat. Membaringkanku di dalamnya, berdua menikmati pijatan air.

Kamar tidur utama itu sangat luas, open plan. Ruang tertutup hanya bilik shower berdinding kaca, ada sepasang closet dan bidet di situ. Bak mandi jaccusi ini sunken, masuk ke lantai. Area kamar mandi berlantai parket, ada meja wastafel dengan cermin rias besar. Tidak kelihatan lemari pakaian, tapi ada pintu kayu dengan jalusi, mungkin itu walk in closet. Tempat tidurnya modern, rangka besi, tapi punya empat tiang dengan kelambu yang kupikir hanya hiasan. Ada TV flat screen layar lebar, di bawahnya ada cradenza, kulihat DVD player, pasti koleksinya bokep semua.

Oom Jordan beringsut mendekat, jemarinya membelaiku. Sebelum wajahnya menutup pandanganku saat mencium, sempat kulihat ayunan seperti di kamarku. Dipindah ke sini, atau ada dua? Untuk apa?

Mengeringkan tubuhku dengan handuk besar, lagi ia menggendongku, ke ranjang. Dibaringkan menelungkup, mengoleskan minyak aroma lavender, dan memijatku sampai tertidur.
Sudah sore waktu aku bangun, sendirian dengan perut keroncongan. Bingung, bagaimana caranya keluar kamar, aku tak berpakaian. Kubuka pintu ya kukira walk in closet, mencari kaos paling panjang, kupakai pas menutup pinggul.

Oom Jordan di kamarku sedang bermain dengan Ivan di punggungnya. Bayi itu baru belajar berjalan, tertatih-tatih melangkah ke arahku. Refleks aku jongkok menyambutnya dalam pelukan. Oom Jordan menyeringai, dan baru kusadari posisiku membuka pemandangan indah untuknya.
Oom Jordan menyuruh Nana membawa anakku keluar sementara aku memakai celana dalam. Ia memeluk, aku menghindar, "aku lapar."

Lelaki itu menemaniku makan dalam diam, kuanggap tidak ada, sampai aku butuh sesuatu.
"Aku tidak melihat Misyel," kataku.
"Tugasnya menjagamu selama aku tak ada. Sekarang aku sudah datang."
"Siapa mengurus belanjaan?"
Oom Jordan bertepuk tangan, seorang perempuan seumurannya mendekat, "sekarang kau berhubungan langsung dengan Ratmi."
Kuserahkan daftar belanjaan ke Ratmi.

Pakaianku dipindahkan ke kamarnya, "Nana yang akan mengurus Ivan, aku butuh kau mengurusku."
Sekamar dengan Oom Jordan membuatku tak bisa mengecek nasib emailku. Kadang ia berada di ruang kerjanya, tapi waktunya selalu bertepatan dengan aku sibuk, entah memasak, bermain dengan Ivan, bahkan saat aku berenang. Tampaknya mengajak kucing-kucingan.

Kalau kubiarkan, setiap saat ia akan menyetubuhiku. Aku tahu, tak bisa menolak, hanya bisa berusaha menghindar.
"Lagi ngapain?" tanyanya tak sabar melihatku mengetik di netbook.
"Membuat catatan tentang Ivan, untuk dibaca Papanya kelak."
"Maksudmu, Adam?" Ia tertawa, "aku sudah kirim hasil tes DNA, Ivan anakku. Aku sudah melarang Adam mencarimu, kau aman bersamaku. Sayang, ia menolak menceraikanmu."

"Sini!" perintahnya sambil sambil membuka semua pakaiannya, "Jordy cerita kencannya denganmu, kau diajarinya memijat sensual."
Ia berbaring telentang.
JORDY! Nama itu menimbulkan harapan baru.
"Buka pakaianmu!"
Aku menurut, dan mulai memijat, membuatnya mekar sebesar monster. Dan .... panic attack! Begitu ia masuk aku sesak napas. Oom Jordan tidak mengerti, terus bergerak sampai full, dan otot dalamku mencekiknya erat-erat. Ia berteriak kesakitan, lalu bingung melihatku sesak napas.
Berusaha mengatur napas, aku berdoa, jangan mati, juga jangan pingsan, aku suka melihat ekspresi kesakitannya.
Dengan bagian tengah tubuh masih menyatu, ia berusaha bergeser ke tepi ranjang, susah payah berganti ke posisi duduk dengan aku di pangkuannya. Perlahan napasku mulai teratur, dan ia menyusut bisa melepaskan diri dari cengkeramanku.

Oom Jordan meninggalkanku, masuk ke ruang kerjanya, satu-satunya ruangan di villa ini yang terlarang untukku. Cepat kubuka netbook, menyiapkan email rencanaku kepada Adam. Tak lama, tanda ada sinyal Wi-Fi, segera kubuka browser, copas draft tadi, kirim sebagai email. Sent!
Buka balasan dari Adam, ia tak bisa mencariku, Oom Jordan mengancamnya.
'Kalau diambil alih, aku tidak masalah. Kau adalah hartaku yang paling berharga, kehilangan perusahaanpun aku rela. Tapi si tua itu mengancam bikin bangkrut, aku merasa bertanggungjawab atas hidup ribuan karyawanku. Maafkan aku, Renata, tapi aku tak pernah berhenti berharap untuk bersamamu kembali."

Pas! Aku sudah menduga, lelaki itu pasti mengancam suamiku. Kuhapus history di browser, kututup netbook. Mataku terpikat ayunan itu, aku mendekat, memegang setiap bagiannya dan menduga-duga fungsinya.
"Mau nyobain?"
Sepasang tangan melingkari pinggang, belum kapok dia! Diputarnya tubuhku menghadapnya, mencium lembut.
"Apa sih yang membuatmu panik?" tanyanya sambil menggerayangiku.
"Pengalaman buruk, aku pernah diperkosa!"
"Seberapa sering?"
"Aku tidak tahu, tidak bisa menduga. Pertama kali kita bertemu, Jordy memasukkan obat perangsang dalam minumanku, karena sebelumnya beberapa kali tak berhasil meniduriku."
"Sebulan ini kan kita sudah berkali-kali berhubungan intim tanpa masalah ...."
"Mungkin karena aku habis memikirkan Adam ... aku rindu ...."
"Kalau kuijinkan kalian bertemu satu kali, kau mau melayaniku dengan sukarela, bukan terpaksa dan pasif seperti sekarang?"
"Y ... yaaa ...," jawabku ragu.
"Kita coba ayunannya sekarang, ya?"
Ooo ini alat bantu sex?
"Besok, setelah aku bertemu suamiku."
*
.
"Adaam ...." Aku berlari ke pelukannya.
"Di sini saja!" kata Oom Jordan melihatku membawa Adam keluar ruang tamu.
Tak kuperdulikan, aku menariknya ke satu ruang yang pasti tak dipasangi penyadap, ruang gym!
Adam duduk mengangkangi sebuah bangku di tengah ruangan, aku duduk menyamping dalam pelukannya. Oom Jordan menyuruh diambilkan sebuah kursi dari ruang makan, duduk di pojok ruangan mengawasi kami.
"Sudah set silent mode, no vibration?" bisikku di telinganya berpura-pura mencumbunya, "mengerti semua yang kumaksudkan?"
"Ya." Adam menciumku penuh rindu.
"Harus dipastikan, datangnya sekitar jam empat sore ...."
Setelah semua diskusi beres, aku membuka celananya, mengelusnya bangun, lalu naik ke pangkuannya.
"Stop!"
"Sudah kuduga," bisik Adam menahan tawa, melepaskanku.
"Renata, yang kauminta bertemu dengan Adam, bukan berhubungan sex!"
"OK, Oom, makasih." Adam berdiri, menaikkan ritslitingnya, "boleh ke kamar mandi sebentar sebelum aku diantar pulang?"
.
"Share loc done!" bisik Adam saat berpamitan, "bersiaplah, kita akan bersama lagi."
"Tak ingin bertemu Ivan?" tanya Oom Jordan.
"Satu, Oom bilang itu anakmu. Dua, aku kuatir jatuh cinta padahal tak bisa memilikinya."
.
bersambung
.
Surabaya, 29 Desember 2019
#NWR

TRAUMA RENATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang