21. LABYRINTH VILLA

1.2K 85 5
                                    

RENATA
.
Aku kaget oleh dehemnya, ada orang lain di sini, aku menarik selimut menutup payudaraku, tapi tangannya menahanku, "nanti babynya tak bisa bernapas," ia memandang bayiku dengan lembut.
Aku tergetar, bibir Ivan yang menempel di putingku, tapi bisa kurasakan lelaki itu yang mengulumku. Aaah!
"Siapa namanya?"
"Ivan."
"Papa sudah ingin punya cucu?" goda Jordy, "nggak biasanya tertarik lihat baby."
.
Besoknya Oom Jordan datang sendirian.
"Kapan kau pulang?" tanyanya sambil lalu, aku menjawab apa adanya. Masih dua hari lagi, menunggu jahitan kering.
*
.
Seorang perawat mendorongku di kursi roda, baby Ivan dalam pelukanku, sopir Adam berjalan mendahului membawa travel bag.
Handphone Adam berdering, ia berhenti untuk menjawab panggilan telpon, memberi tanda supaya aku duluan. Di persimpangan koridor kehilangan jejak sopir, seingatku ia belok kanan ke lobby belakang, tapi perawat mendorong ke lobby depan. Ada yang membukakan pintu mobil hitam, mempersilakanku masuk. Begitu pintu ditutup, ada yang membekap hidungku dan aku tak ingat apa-apa lagi.
.
Waktu sadar, aku berada di sebuah kamar baby yang indah. Ivan tidur pulas di box. Keluar kamar, pintu kubentangkan lebar supaya mendengar tangisnya kalau ia bangun. Aku keluar masuk kelima kamar yang lain, semuanya punya balkon dengan pemandangan pegunungan berbeda-beda. Semuanya dengan kamar mandi dalam.
Ada ruang duduk kecil, balkonnya kuperkirakan menghadap ke depan bangunan. Dari situ aku bisa melihat taman bunga seperti labyrinth.
Kamar yang kutempati menghadap ke halaman belakang, ada kolam renang. Ingin menceburkan diri, tapi tak mungkin, masih masa nifas.
Di lemari pakaian banyak pakaian baru, semuanya ukuranku. Di kamar mandinya ada meja untuk memandikan bayi.
Yang aneh di kamar ada empat tiang dengan tali-tali, di tengahnya ada seperti tempat duduk ayunan. Ivan terlalu kecil, belum butuh.
.
"Makan siang sudah siap, Bu Renata." Suara perempuan berwibawa mengagetkanku. Kututup laci berisi pakaian bayi.
"Siapa yang membawaku ke sini?"
"Maaf, Bu, saya tidak berhak menjawabnya."
Perempuan ini sebayaku, rambut pendek, memakai setelan celana panjang. Penampilannya mengingatkanku kepada bodyguard di film-film.
"Saya Misyel, yang akan mengurus Ibu. Ada seorang baby sitter dan beberapa pelayan yang melayani, tapi mereka dilarang berbicara dengan Ibu. Segala keinginan Ibu, silakan disampaikan ke saya."
"Aku mau pulang."
"Jelas itu hil yang mustahal," katanya mencoba melucu.
"Asmuni," gerutuku.
Seorang gadis berpakaian seragam baby sitter mendekat, "Nana, jaga baby Ivan, Bu Renata mau makan siang. Silakan, Bu."
.
Selain tubuhku belum kuat, dari cerita-cerita yang kubaca, percuma saja melarikan diri. Kuputuskan mengikuti permainannya, siapapun dia.
Di dekat tangga, Misyel menunjuk sebuah kursi kecil yang terpasang di railing, mengajariku cara menggunakannya. Aku turun tanpa melangkah, kursi itu meluncur sepanjang railing sampai bawah.
"Saya tidak tahu selera Ibu, saya pilih menu asal saja, semoga Ibu suka."
"Aku boleh memasak?" tanyaku sambil makan.
Misyel menyodorkan kertas dan pen, aku menulis daftar belanjaan tiga hari ke depan.

Setelah makan aku berkeliling, ada ruang olah raga dengan jendela kaca sampai ke lantai ke arah kolam renang. Ada treadmill, sepeda statis, beberapa alat kebugaran, dan satu set barbel berbagai ukuran. Cermin besar mengisi salah satu dinding.
Ada dua ruangan terkunci.
"Itu kamar Bapak, sebelahnya ruang kerja beliau ...."
"Dan si Bapak adalah ...."
"Misyel tidak menjawab."
Kudengar tangisan Ivan, ia lapar.
"Boleh kususui di sini?" tanyaku menunjuk sofa di ruang keluarga, dengan pintu terbuka ke arah kolam renang.
Nana membawa Ivan turun, sekalian dengan bantal tipis untuk alas pangkuanku.
.
Misyel, ya ejaannya memang begitu, ia lahir di kota kecil, ibunya pernah kerja jadi pembantu bule, nama anaknya Michelle. Tentu saja saat mengisi formulir untuk membuat surat kelahirannya, ia menulis berdasarkan pengucapannya, tidak tahu ejaan yang benar.
Setelah seminggu, sikap Misyel lebih lunak, tidak sedingin awal bertemu. Ia suka masakanku.

Di sini aku bebas melakukan apa saja, kecuali menelpon, dan pulang tentunya. Ada sebuah netbook, tapi tak ada koneksi internet. Merasa percuma, tapi masih ada secercah harapan.
Aku menulis tentang Ivan, setiap hari, hampir sama, maklum ... kemajuan apa sih yang dicapai bayi sebulan pertama?
Kegiatanku tidak banyak, selain menyusui dan memandikan, Ivan lebih banyak bersama Nana. Aku memasak, olah raga ringan, dan bermain piano! Setelah aku cerita rindu menekan tuts-tutsnya, dua hari kemudian ada piano datang.
Setelah masa nifas, aku menambah kegiatan dengan berenang dan jogging. Sudah dua bulan aku jogging di labyrinth, ingin mendekati gerbang masuk, tapi langkahku selalu kembali ke rumah. Tubuhku yang melar waktu hamil sudah kembali seperti semula.
.
Suatu malam sebelum tidur, iseng kubuka netbook, ingin menambahkan cerita tentang Ivan yang belajar merangkak. Kulihat tanda netbook terhubung ke sinyal wifi!
Segera kubuka email dan mengirimkan file diary tentang Ivan ke Adam.
Terburu-buru, tak sempat menambahkan pesan pribadi. Dan cuzz ... terkirim! Lalu internet mati.
Sinyalnya darimana? Ruang kerja Bapak misterius?
.
Besoknya Misyel tidak muncul, aku sarapan sendirian. Biasa berdua, aku merasa kesepian.
Siangan sedikit aku berenang, lima kali bolak-balik di kolam renang kecil itu. Tak ada pakaian renang, aku selalu memakai pakaian dalam. Hari ini merasa sendirian, iseng aku berenang telanjang. Di villa itu ada beberapa pekerja laki-laki, pasti, tapi tak pernah kulihat, tak ada yang pernah mendekat.
Bayangan bangunan villa jatuh ke kolam renang, memberikan tempat yang rindang. Aku menari di dalam air menggerakkan tubuh merasakan belaiannya.
Larut dalam tarian, lupa sekitar. Saat aku berhenti, ada yang berdiri di belakangku, menutupkan selembar kain ke mataku. Bibirnya panas bermain di telinga, lalu turun mencium leher. Sementara kedua tangan lebar menggenggam payudaraku, putingku mengeras.
Dari dada tangannya mengelus turun ke bawah, mencari celah lipatan kulitku, mengusap tonjolan kecil, dan aku mendesah sambil menggelinjang.
Tubuhku diputarnya, ia menciumku, lembut.
Tak bisa melihatnya, kuraba dia, kurasakan mekar dalam genggamanku. Aku berharap diserang panic attack, tapi entah ... serasa tanganku mengenal lekuknya, tubuhku mendamba sentuhannya. Siapa?
Lelaki itu berusaha masuk di dalam air, aku menggeliat, pelan agar tak kentara menghindar. Tapi ujungnya yang menggeser-geser di gerbang ... membuatku ingin membuka kaki lebar-lebar.

Ia menuntunku sampai ke tangga, menepuk pantat menyuruhku naik. Dibaringkannya aku di atas matras ... matras? Sejak kapan ada matras di tepi kolam renang?
Lelaki itu menindihku, mencumbu membangkitkan gairahku. Waktu ia menerobos masuk, kugerakkan otot dalam mencengkeramnya, berharap vaginismus, tapi tidak, tubuhku berkhianat, menikmati setiap hentakannya, mengisi relung yang lama kosong. Pertama dengan yang padat, lalu ia menarik diri berbareng cairannya membasah di dalam.

Lelaki itu berguling ke sampingku, kutarik lepas penutup mataku. Ia menyeringai menyapa, "Apa kabar, Renata?"
Sudah kuduga, memang dia ....
.
bersambung
.
Surabaya, 28 Desember 2019

TRAUMA RENATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang