20. HIDDEN COVE

1.2K 76 1
                                        

RENATA
.
.
Lama kutunggu Jordy tidak kembali, aku bosan, ingin duduk di pasir memandang sunset, tapi tak ada tempat, terganggu lalu lalang petugas menyiapkan party. Berjalan tanpa alas kaki sampai ke ujung selatan, ada tebing mengakhiri area Cruise Hotel. Melangkah ke air, bermaksud berjalan kembali dengan kaki basah.
Tepian pasir yang berbatasan dengan laut melebar sekitar satu meter dari dinding tebing. Penuh rasa ingin tahu aku melangkah ke sana, setelah sekitar lima belas meter di pantai sempit itu, pasirnya meluas, ada pantai tersembunyi di situ. Aku seperti menemukan harta karun, duduk di pasir sendirian, menikmati matahari terbenam.
Angin senja dingin membelaiku, tapi aku merasakan ada panas di tubuh. Ada hasrat birahi. Apakah Jordy mencampurkan sesuatu? Aku berjalan ke arah hotel, tapi laut sudah pasang, airnya sudah selutut, ombak agak besar. Maju lima meter, tersiram ombak, aku cepat putar balik, takut terseret.Mencoba lagi dua meter, aku keder, balik dengan tubuh basah kuyup.
Aku berdiri di ujung tebing, dengan air sepaha, ragu ... lalu ombak besar datang, aku terpeleset, terseret arus baliknya. Gelagapan minum air, aku panik, sesak napas, tapi kurasakan ada lengan kekar memelukku sebelum kesadaranku hilang.
*
.
Aku terjaga karena angin dingin membelai area intimku, aku bangkit duduk menarik turun kaos kebesaran yang disingkap tiupan angin malam. Ini bukan pakaianku!
"Basah kuyup, kupakaikan kaosku." Suara berat mengagetkanku dari belakang, duduk di tikar di sampingku menyodorkan sepiring makanan.
"Kau perempuan luar biasa," matanya lekat menelanjangiku, "maaf, tidak kupinjamkan celana pendekku, kebesaran ...."
"Luar biasa?"
"Ya ...," ia tersenyum aneh, ada kilatan nafsu di matanya, "tidak memakai pakaian dalam."
Aku tertunduk malu, menghabiskan makananku. Menenggak air mineral, rasa panas itu muncul lagi. Aku melirik lelaki di hadapanku, tinggi, tegap, ada sedikit lemak di perutnya, kutaksir sebaya Papa. Kok rasanya kenal, ya?
.
Lamat-lamat terdengar suara dentuman musik di pantai sebelah, bulan purnama tinggi di atas kepala, malam semakin larut.
"Kok Oom di sini?" tanyaku waktu ia kembali setelah membereskan bekas makan, dipindahkan entah kemana.
"Dua tiga bulan sekali aku menyepi di sini, berdua istriku." Ia membaringkan tubuhnya, aku juga.
"Aku tidak melihat istri Oom."
"Kali ini ia tidak ikut, mertuaku sakit."
Diam.
"Lain kali jangan bertindak gegabah seperti tadi," katanya, "untung aku berhasil menyambarmu. Pantai selatan, ombaknya lebih besar."
"Aku kuatir dicari," kataku sedih, aku meninggalkan handphone di kamar, sedang dicharge posisi mati.
"Kau cantik," katanya, "aku suami yang setia, tapi melihatmu telanjang tadi ... membuatku menginginkanmu."
Aku tercekat. Kalimatnya menimbulkan denyar-denyar halus di sekujur tubuh, membangkitkan hasrat birahi yang sejak tadi berusaha kuredam.
"Oom ...," aku berguling mendekat, "aku mau berterimakasih."
Aku merapatkan diri, kutarik satu tangannya, kubimbing ke bawah. Sinar bulan purnama menerangi wajahnya yang ragu-ragu. Bibirnya setengah terbuka, ingin berucap tapi enggan, aku menciumnya. Pertama ia menolak, dapat kurasakan ototnya menegang, sementara itu, aku berhasil menyusupkan telunjuknya di relung tubuhku, lalu ia balas melumat bibirku.
Lelaki itu berusaha mengontrol diri, tapi birahi menguasai benakku, mungkin aku memperkosanya, karena aku yakin telah memaksa.
"Kau ganas," bisiknya setelah selesai.
Ada satu tenda di tempat yang lebih tinggi, di dekatnya ada bentangan tali, dua stel pakaian tergantung di situ. Berjalan kemari telanjang, saat aku merangkak masuk ke tenda, lelaki itu menyergapku, menghentakku dari belakang sampai tersungkur bersama.
Tidur memelukku sampai pagi, sering bergumam tak jelas, menggerayangiku, dan saat di luar langit mulai terang, ia membisikkan, "sekali lagi?"
.
"Pergilah!" usirnya menyodorkan pakaianku yang sudah kering dengan membelakangiku.
"Oom ...." Aku memeluknya dari belakang, menekankan payudaraku ke punggungnya. Ia melepaskan diri, menjauh.
"Oom ...," panggilku setelah berpakaian, memutar supaya aku bisa melihat wajahnya yang tampan dan berwibawa.
"Ciuman perpisahan." Kulingkarkan lenganku di lehernya, menarik kepalanya turun.
Kami berciuman agak lama, panas menggelora, sampai ia menindihku lagi, menyingkapkan kaos dan mengisap putingku. Lelaki itu baru tersadar ketika aku membuka celananya.
"Tidak!"
Ia bangun, berdiri menjauh.
"Pergilah! Cepat! Sebelum aku berubah pikiran," lenguhnya, "maafkan aku. Anggaplah tak ada apa-apa di antara kita. Pura-puralah tidak mengenalku, bila nanti kita bertemu."
.
Laut surut, aku melangkah ke hotel tanpa halangan. Masuk ke kamar Jordy, mandi.
Pemuda itu masuk ke kamar saat aku sudah rapi, pakaian kotor kumasukkan ke laundry bag.
"Maaf, aku tidak bisa menemanimu tadi malam. Adam mencarimu, tentu saja aku menghindari kamar ini." Jordy memeluk, meremas pinggang.
"Kau memasukkan sesuatu ke minuman tadi malam?"
"Obat perangsang yang ringan." Ia tertawa, memaki, "sayang mubazir!"
.
Jordy mengantarku ke kamar, Adam menggeliat bangun dengan malas, lalu marah, "darimana kau semalaman? Tidur dengannya?"
"Demi Tuhan! Aku tidak tidur dengan Jordy!"
"Sabar, bro!" Jordy menenangkannya, "kau lupa, tadi malam aku bersamamu, bagaimana aku bisa bersama istrimu?"
Aku packing sambil menunggu Adam mandi.
"Kapan bisa datang ke sini lagi, sendirian?" tanya Jordy, "atau ... kencan di Jakarta?"
Aku hanya menggeleng.
.
Jordy menyelesaikan makan paling cepat, melihat ke arah pintu, lalu cepat minum, pamitan.
"Maaf, aku harus mengurus Papaku," menjabat tanganku dan Adam, "datanglah lagi kapan-kapan."
Aku memandangnya menjauh, ingin melihat sosok ayahnya, dan aku hampir serangan jantung, itu si oom tadi malam! Pantas aku merasa kenal, ia mirip dengan Jordy, versi yang lebih matang. Cepat aku menghadapi piringku lagi, berharap lelaki itu tak melihatku.
*
.
JORDAN
.
Aku dan Jordy keluar dari kamar perawatan Mama menuju parkiran, tapi anakku memencet tombol ke lantai atas.
"Mampir bentar, Pa," katanya. Maternity? Siapa yang melahirkan.
"Maaf, Pak," seorang perawat menghalangi kami masuk, "ini bukan masalah di luar jam bezoek, tapi pasien sedang menyusui."
"Aku sudah melihatnya telanjang, Sus! Tidak masalah hanya melihat payudara, pasti ia tak keberatan." Jordy ngotot.
"Jordy?" suara perempuan itu seperti nyanyian surgawi.
"Tuh, kan?" Jordy tersenyum menang, perawat itu meninggalkan kami. Aku menutup pintu pelan-pelan, anakku bergegas mendekat.
"Tahu nggak, kamu itu nggak sopan memandangi perempuan menyusui!"
Pasien itu berbaring miring membelakangiku.
"Aku sudah pernah menciumi setiap senti tubuhmu, bahkan ... kalau tak ada masalah saat party itu, aku akan yakin bayi ini anakku!"
Party?
"Belum tentu! Kalau saat itu aku bertemu dengan Adam ...."
"Kau lupa, Renata? Kita sudah hampir melakukannya, tapi kau kena panic attack. Karena itu kuberikan obat perangsang di minumanmu, tapi kau malah menghilang."
Aku ingin melihat wajah perempuan yang ingin ditiduri anakku, aku melangkah memutari ranjang. Perempuan itu menoleh, dan aku menyesal, seharusnya aku tak ikut Jordy masuk. Setelah bersusahpayah menghalau bayangannya dari kepalaku berbulan-bulan, melihatnya lagi membuat usahaku sia-sia..
bersambung
.
Surabaya, 26 Desember 2019

TRAUMA RENATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang