18. JORDY HARTONO

1.2K 81 0
                                    

RENATA
.
.
[Cantik.] pesan dari nomor tak dikenal, kuabaikan, profilnya foto sunset di laut.
[Cantik.] pesan yang sama beberapa jam kemudian, disusul [Lunch with me?]
Aku sedang makan siang di restoran Italy di lantai bawah gedung kantorku.
[I am having my lunch.]
[May I join you?]
[Who are you?]
Dan Jordy muncul menyapaku, "Hai, cantik! Boleh gabung?"
Tanpa menunggu jawaban ia langsung duduk di hadapanku, seorang waiter membawakan pesanannya, disusul yang lain mengantar makananku.
"Kebetulan yang menyenangkan, Rey."
"Bukan sengaja?" tanyaku sambil menyuap beef and mushroom aglio olio penne.
"Aku berdoa semoga kau makan di sini, dan terkabul." Jordy menatapku, "aku mengundang Adam minggu depan, kau datang bersamanya, kan?"
"Dia tidak cerita ...," aku pura-pura terkejut.
"Datanglah, walau ia tidak mengajakmu. Aku sediakan kamar lain?" Ia mengedipkan sebelah mata, mesum!
.
Sementara makan aku mengirim pesan ke Kenzo, menanyakan jadwalku sampai sore, ternyata kosong, aku mengabarkan tidak kembali ke kantor.
"Kembali ke kantor?" tanyanya saat aku mengunyah suapan terakhir.
"Tidak. Lagi ingin pijat, badanku pegal-pegal."
"Di hotelku ada tukang pijat bagus ...," cepat ditambahkannya melihatku mengernyitkan kening, "perempuan ...."
"OK," kuseruput mango smoothie sampai habis.
Let the game begins.
.
"Bawa mobil?"
"Tidak, aku diantar Adam, biasanya pulang bareng Andrew."
"Apa katanya ya, kalau tahu kau bersamaku?" Ia membukakan pintu mobil.
.
Ruang pijat itu hanya dipisahkan tirai, seorang terapis membantuku melepaskan pakaian dan berbaring menelungkup. Jordy benar, tukang pijatnya bagus, aku merasa relax dan mengantuk.

Pemijat itu membalikkan tubuhku telentang dan meneruskan memijat, memberikan stimulasi-stimulasi di payudara, membuat putingnya mengacung tegak. Turun ke bawah, melakukan yang sama di area intimku, sensasinya berbeda tapi membuatku nyaman dan mendesah.

Lalu tirai sebelah kiriku disibak, refleks aku menutup payudaraku dengan tangan, Jordy tertawa di meja pijat sebelah.
"Tak usah malu, kau boleh balas memandangku ... aarrggh ...."
Aku melirik dan cepat menutup mata, seorang pemijat perempuan sedang memijat kelelakiannya yang tegak sempurna. Bersama Adam aku hanya meraba dan menikmati, sangat jarang mengamati. Beberapa kali di awal berhubungan intim dengan Adam, aku berakhir di ruang dokter karena lecet. Di mataku ukuran Jordy lebih besar, dan aku diserang panik lagi.
Aku bangkit, memegang dadaku, berusaha mengatur napas yang tersengal-sengal, tidak memperdulikan tubuhku yang telanjang.
Jordy melompat menghampiriku, semakin nyata terpampang di mataku, ia memelukku, dan aku terkulai tak sadarkan diri.
.
Waktu membuka mata lagi, aku di kamar yang asing. Ada masker oksigen menutup mulut dan hidungku.
"Sayang, kau sudah bangun," Adam menghampiriku dengan kuatir, Jordy selangkah di belakangnya.
"Aku di rumah sakit?" tanyaku melepaskan masker oksigen.
"Di rumahku," jawab Jordy, "kami punya kamar perawatan ini, tinggal memanggil team medisnya."
"Aku kenapa?" aku berusaha bangun, lalu cepat menarik selimut menutupku lagi, aku telanjang.
"Sepertinya kau panic attack lagi ... sudah lama nggak kumat, loh." Bola mata Adam bergerak mengarah ke Jordy.
"Ya, aku tidak tahu," bisikku lemah, "aku mau pulang. Mana pakaianku?"
.
"Kau tahu penyebabnya?" tanya Adam di rumah.
"Sepertinya aku takut melihat ukurannya, Jordy pasti sengaja pamer."
Aku menceritakan kejadiannya.
"Hmmm ..., jadi ia memelukmu dalam kondisi sama-sama telanjang?"
Adam justru memperhatikan detail cerita Jordy memelukku sebelum pingsan, mengangguk-angguk senang.
.
"Bagaimana caranya Jordy mengajak menyelinap kalau kita datang berdua begini?" tanyaku Jumat malam di bandara menunggu boarding.
"Nanti ada Tania yang akan menyita perhatianku, kau berlagak cemburu dan menjauh."
"Siapa Tania?"
"Teman lama, tinggal di Australia, ia berlibur ke Bali ...."
"Hmmm ...."
"Bersama temannya," Adam tertawa, "cemburu ya?"
"Ia tahu rencana kita?"
"Tentu tidak! Tapi aku tidak cerita kau ikut ke Bali."
.
Bali satu jam lebih awal dari Jakarta, sudah hampir tengah malam waktu kami check in. Jordy menyambut di lobby.
"Welcome to Cruise Hotel."
Kami mengekor bell boy yang membawa kopor kami ke kamar.
"Bulan purnama, yuk ikut ke pantai, kalau besok, ada pesta semalam suntuk."
"Aku capai, hari ini banyak kerjaan," kata Adam, "kalau kau mau ke sana, pergi aja."
.
Pantainya sepi, hanya suara debur ombak, sinar bulan purnama menerangi langkah kami.
"Sini," Jordy menyuruhku lepas alas kaki, meletakkannya di kaki tangga salah satu kamar.
Kami menjelajah ke Utara sampai ke ujung pantai, ada bar di situ, beberapa bule sedang minum diiringi musik lembut.
"Minum apa?" tanyanya.
"Soft drink. Aku tak pernah minum yang beralkohol."
Jordy memesankan orange juice untukku dan sebotol bir hitam untuknya. Waktu isi gelasku berkurang, ia menambahkan bir hitam sedikit.
"Cobalah, enak."
Rasanya masih orange jus, tapi agak pahit. Setiap kali aku minum, ia mengisinya dengan bir hitam.
"Lama-lama aku minum bir hitam!"
Kami tertawa.
Adam punya hotel, karena itu ia sudah lama mengenal Jordy.
"Mamaku yang mendisain hotel ini."
"Mengapa dinamakan Cruise Hotel?"
Jordy tidak menjawab, ia memberikan dua bantal kepadaku, sementara ia membawa segulung tikar dan dua botol bir hitam. Kami berjalan ke selatan.
Sampai di dekat tempat sandal tadi, ia menggelar tikar, mengajak berbaring dengan kepala di arah laut.
"Lihat!" ia menunjuk ke arah hotel, dan aku melihat sebuah kapal pesiar besar.
"Giant Cruise Ship. Mamamu jenius."
Kami mengobrolkan hal yang tidak penting sampai bir di botol habis.
"Aku harus kembali, pasti Adam mencariku."
"Pasti Adam tidur." Ia menarik napas panjang, "lelaki yang beruntung."
"Oh ya, tubuhmu bagus."
Dengan berani Jordy memelukku, "waktu itu, mengapa kau pingsan? Bukan karena melihatku, kan?"
"Mungkin karena kaupeluk saat telanjang."
Aku tertawa menggoda.
Jordy menciumku, lalu menindihku, tangannya bergerak menurunkan celana pendekku, menyingkap kaos ketatku.
"Jangan pingsan sekarang," ia menarik tanganku untuk menggenggamnya, "kau harus tanggung jawab."
"Renata," panggilnya dengan suara serak, "mengapa kau tidak memakai pakaian dalam?"
Jordy menggerayangiku, berusaha membangkitkan gairahku. Lalu saat ia menggedor pintuku, aku teringat lagi yang kulihat di ruang pijat, napasku sesak.
"Shit!" Jordy memaki, menggendongku naik tangga, menurunkanku di ranjang, lalu keluar lagi.
Waktu ia kembali membawa pakaian kami, tikar dan lain-lain, aku sudah tenang.
Kami duduk bersebelahan, sama-sama tidak berpakaian, aku meliriknya, tidur. Aman. Aku menarik napas panjang.
.
Jordy memelukku.
"Panic Attack lagi. Kenapa? Pasti bukan karena berpelukan telanjang. Sekarang ini, kamu nggak apa-apa."
Aku mengedikkan bahu.
"Aku mau ke kamarku."
"Tidurlah di sini."
Jordy menarikku ke tengah, tidur memelukku, tapi ia membimbing tanganku menggenggamnya. Saat ia menghisap putingku, kurasakan ia mekar, aku sesak napas lagi. Jordy menyentakkan tanganku.
"Tidurlah, aku tak akan mengganggumu," katanya tertawa, "kurasa aku tahu penyebab panic attackmu."
.
bersambung
.
Surabaya, 25 Desember 2019

TRAUMA RENATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang