ADAM
.
.
Aku menimang-nimang kalung itu dan mengembalikannya ke laci lagi. Sudah hampir setahun, Alvin tidak bisa menemukan Tatik, dan selama ini kehidupan seksualku kacau. Aku kehilangan minat, di mataku tak ada perempuan yang menarik, desahan Tatik saat aku menyetubuhinya tak bisa hilang dari ingatanku. Mengenang geliatnya menyatu bersamaku membuatku mengeras, tapi memandang perempuan lain yang akan melayaniku meluruhkan gairah.
.
Yang bisa mengalihkannya hanya Renata, setiap melihatnya, ada keinginan melindungi gadis rapuh itu. Aku meminta Alvin memusatkan kegiatan penting di pagi hari, supaya sore aku bisa bekerja sambil memantau CCTV di area Alex melalui tab, menyimak setiap gerak Renata. Ada rindu ingin bertemu, ada gelora ingin mendekap. Mengapa?
.
Sering kuzoom tampilan layar, mengamati lebih dekat lekuk sintal Renata. Datang dengan rambut terurai, langsung diikat dan ditutup kain khusus kepala unik, bukan ala chef di film kartun, lalu ia mulai memeriksa menu, menyiapkan masakan hari itu dan sarapan besoknya.
Belakangan ini ia ngotot tak mau datang Sabtu Minggu, tetap menolak berapapun pembayaran yang kutawarkan. Alasan pribadi, katanya, apakah ia sudah punya pacar lagi? Apakah masih seapartemen dengan Andrew? Aku sampai mengalah, melakukan beberapa kerjasama kecil dengan lelaki itu supaya bisa mendekati Renata, tapi Andrew selalu datang bersama sekretarisnya, tak pernah mengajak gadis itu bila kuundang makan malam.
**
.
Suatu Jumat aku pulang lebih awal, memakai celana renang berjalan ke kolam, berpapasan dengan Alex.
"Kemana?"
"Undangan ulang tahun," melihatku lalu tersenyum, "Renata masih belum selesai berenang."
Alex pergi, aku bergegas, tak ingin melewatkan waktu bersama perempuan yang kurindukan.
.
"Hai," sapaku melepaskan mantel mandi, Renata terkejut dan berenang menjauh.
Aku menceburkan diri, menyusulnya. Sengaja tak menggunakan kecepatan penuh, waktu aku sampai titik terjauh ia sudah berputar, menjejakkan kaki dan meluncur kembali. Beberapa kali lintasan pulang pergi aku mengekornya, waktu kulihat gerakannya seolah meronta, dan ia tenggelam.
Kuangkat tubuhnya, kubaringkan telentang di tepi kolam renang. Mataku tak sempat menjilat tubuh bohay dibalut bikini biru tosca itu, sosoknya diam tak bergerak, aku memagut mulutnya, memberikan nafas buatan, beberapa kali sampai Renata terbatuk-batuk dan bernafas lagi.
Kulitnya dingin, aku ke kamar di dekat situ, kamar yang pernah kutawarkan untuknya tinggal, masuk ke kamar mandi mengisi bathtube dengan air hangat. Waktu aku kembali, ia duduk terbatuk-batuk, sepasang payudaranya yang mungil ikut terguncang, lekuk pusarnya kecil sempurna di perutnya yang rata, aku ingin memasukkan lidahku di ceruk itu.
Renata berusaha berdiri, tapi limbung, cepat kuraih sebelum jatuh, sama seperti hampir setahun lalu setelah ia jatuh di depan mobilku. Bedanya, saat itu ia berpakaian lengkap, sekarang kulitku bergesekan dengannya, menimbulkan denyar-denyar seluruh tubuh, tiba-tiba aliran darahku mengarah ke satu titik, aku menginginkannya!
.
Tanpa menghiraukan protesnya kugendong Renata ke kamar mandi, kubaringkan di bath tube. Kutuangkan bubble bath ungu beraroma lavender, dan kutinggalkan menuju bilik shower.
Aku mandi menghadap ke arahnya, ia memalingkan wajah ke arah lain, aku tak perlu malu, rajin berolahraga, aku bangga dengan bentuk tubuhku. Agak lama aku menyabun bagian penting kebanggaanku, aliran darah tadi membuatnya mengembang penuh, aku ingin tahu bagaimana rasanya berada dalam genggaman perempuan di bath tube itu.
Aku melilitkan handuk di pinggang, mendekatinya. Air di bath tube mulai dingin, gelembung menghilang. Aku manarik penyumbat, permukaan air turun cepat, aku menariknya berdiri, cekatan melepaskan bra dan celana bikininya.
"Hey, Pak!" tanganku lebih cepat, sekejab ia sudah telanjang di depanku kedua tangan menutup dada dan pangkal paha sebisanya.
Aku meraih handuk besar, membungkusnya, tanpa kata menggendongnya ke kamar.
Menurunkannya di dekat ranjang, gesekan tubuh membuat handuk yang membelitku terlepas, aku menunduk meraihnya, melepaskan pegangan di tubuhnya, yang melilitnya ikut jatuh.
Renata menjerit tertahan, entah mengapa, apakah karena melihat kebanggaanku? Yang pasti, waktu berdiri memegang dua handuk di antara kami, ia memandangku dengan ekspresi aneh, mengingatkanku kepada Tatik di keremangan bar setelah aku menghajar lelaki yang berniat kurang ajar kepadanya.
Aku tenggelam dalam warna hitam bola matanya, kutundukkan kepala, bibirku mencarinya, melumat lembut. Pegangan ke handuk terlepas saat ia membalas ciuman, desahnya membawa tanganku menjelajahnya, menarik lebih dekat, mendesakkan bagian keras ke perutnya, ia harus tahu akibat perbuatannya kepadaku.
.
Yang terjadi selanjutnya bukan sepenuhnya salahku, binatang liar terlepas dari tubuhku, tapi korbanku menyambut dengan sama ganasnya. Kerinduanku berbulan-bulan mendekapnya terlampiaskan dalam semalam. Renata bukan hanya diam pasif, ia juga mencakar, menggigit dan menghisap. Di pagi hari, leher, payudara sampai perutnya penuh cupangku, sebaliknya juga ada perih di punggung dan dadaku, ada bekas gigitan di atas putingku.
.
Gerakan kelopak mata di dada memberitahukan Renata sudah bangun, ia menggeser tubuhnya sedikit, ada bulu halus mengusap pahaku, dan lututnya membangunkan titik sensitif yang layu. Tungkai kami memang saling silang.
"Pak!" ia memundurkan badannya, kaget mengenaliku dan menyadari ketelanjangannya, merapatkan tubuhnya lagi. Aneh!
"Kurang?" godaku berbisik di telinganya.
"Eh ... anu, bukan ... saya tak mau Bapak melihat saya telanjang!"
"Terlambat!" aku mendorongnya telentang dan merangkak ke atasnya, "aku sudah melihat semuanya."
"Ehm ... ah ... uh," tak kuberi kesempatan berbantah, kulumat bibirnya, menggesek-gesekkan dada ke gumpalan payudaranya yang kenyal, berbarengan merangsek masuk.
Reflek Renata membuka kaki, mengangkat lututnya, memberikan akses yang mudah, aku membenamkan diri sedalam-dalamnya, lalu ia mulai gerakan meronta membuat gesekan lebih terasa, tak lama akupun terkapar di atasnya. Saat itu kusadari matanya berair.
"Jangan menangis," kucium matanya, berguling sambil tetap mendekapnya, sekarang ia di atasku, "apakah kau menyesal?"
Renata mengangguk dalam diam, mungkin ia tak tahu, tapi aku sangat yakin bagian tubuhku masih mengisi relungnya penuh, belum terlepas.
"Renata," panggilku, "aku belum siap berlutut menyodorkan cincin, tapi maukah kau menikah denganku?"
.
Pertanyaanku membuatnya terlepas dari hipnotis, Renata turun dari tubuhku, matanya nyalang mencari-cari ....
"Aku juga tak tahu dimana pakaianmu," aku tertawa, "di lemari ada beberapa stel pakaian baru."
"Tunggu di sini, jangan pergi."
Aku keluar menyambar kimono mandi, ke kamar memakai pakaian. Renata duduk di ranjang, memakai rok terusan longgar tanpa lengan.
"Yuk, sarapan," ajakku.
"Renata menginap?" sambut Alex gembira, aku melihatnya mengernyitkan wajah sambil memegang perut.
"Ia tak sehat," jawabku, "ayo sarapan sedikit, kuantar kau ke rumah sakit."
.
bersambung
.
Surabaya, 16 Desember 2019

KAMU SEDANG MEMBACA
TRAUMA RENATA
Romansablom ada, 100% halu n micin proyek eksperimen (lagi) berusaha menulis cerita tentang Renata dari sisi trauma psikologis setelah dengan gegabah menyerahkan keperawanannya kepada sembarang lelaki. masih dilabeli 25+ kuatir jalan yang diatur lurus teti...