8. SEX THERAPY

4.1K 91 2
                                    

ANDREW
.
.
"Renata mengenal lelaki itu," lapor Laila, "tapi tak mau mengungkap identitasnya."
Aku berpikir keras, Renata tak punya banyak teman pria.
"Mungkin bukan salah satu teman, bisa customer, atau ... kerabatnya. Yang paling susah bila pelakunya keluarga, ada ketakutan, ada nama baik yang harus dijaga."
"Bukan Alvin, ya? Waktu kita makan malam, ia melirik Renata terus-menerus, kau tak cemburu?"
"Tidak," Laila tertawa, "aku dan Alvin hanya friends with benefit, ia belum punya pengganti teman tidur dan aku lebih suka pasangan tetap. Yang lalu itu kencan formal pertama ... dan mungkin yang terakhir, belum ada ajakan lagi."
"Tampaknya bukan Alvin," imbuh Laila, "Renata hanya risih dipandangnya, padahal ia mengaku mengalami sesak nafas bila berdekatan dengan pelaku."
.
"Kepada seseorang yang phobia terhadap ular, sering-sering ditunjukkan foto bermacam ular ... dari ngeri menutup mata, lama-lama ia akan terbiasa, akhirnya bisa dicobakan bertemu dengan ular hidup."
"Maksudmu?"
"Vaginismus Renata, harus dicoba dengan stimulasi klitoris ... lain waktu lanjutkan dengan sisipkan satu jari ... dua jari ... coba dengan dildo ... sampai sembuh."
"Sesak nafasnya?"
"Sugesti! Selalu bisikkan supaya ia memikirkan kenikmatan, bukan kesakitan ...."
"Sepertinya, traumanya berkaitan dengan ukuran," aku tertawa, "ia tidak cerita sempat periksa ke ginekolog? Dokternya menyuruh libur seminggu, dan mengingatkan untuk tidak memakai alat bantu."
"Coba dulu saranku tadi ... sex therapy."
.
"Laila, kau di rumah?" bisikku di telpon, tak mau membangunkan Renata, lalu segera menuju apartemennya setelah ia mengiyakan.
"Jam berapa ini?" ia membuka pintu sambil menggerutu, aku tak memperdulikannya, langsung melumat bibirnya.
"Aku butuh pelepasan, please, penjelasan menyusul."
.
"Aku tidak tahan," kataku sejam kemudian berbaring memeluknya, "Renata merintih-rintih, orgasme dua kali dengan kuusap klitorisnya, memohon-mohon minta aku masuk ... aku kuatir kalap dan memperkosanya."
"Kau sisipkan jari?"
"Begini," aku memperagakannya, mengusap klitoris Laila, membuatnya menggelinjang menahan nikmat, "yang kedua kali, ia memohon-mohon aku masuk, kusisipkan satu jari ...," kusisipkan langsung dua jari, aku sudah hafal titik sensitifnya, ia menggeliat, balas menggenggamku.
"Druu ... kubunuh kau bila tak kautuntaskan!"
Aku tertawa mesum, menyisipkan bagian tubuhku yang lain, bersama bergerak mencapai puncak.
"Karena ia masih nyaman dengan satu jari kususupkan dua, dan hampir puncak waktu ia menjepit jariku erat-erat. Untung tidak dipatahkannya," lanjutku menjelaskan saat sudah terkapar di sampingnya, "ia tertidur, tapi aku hampir meledak menahan nafsu."
"Makasih, Laila," aku mencium bibirnya sambil meremas payudaranya, "aku senang bisa mengandalkanmu."
.
"Bawa kunci apartemenku," kata Laila waktu aku pamitan menjelang subuh, mengejar waktu sebelum Renata bangun, "next langsung datang saja, tanpa telpon, kutunggu!"
"Bagaimana kalau terpergok Alvin?"
"Bersama Alvin selalu di apartemennya, selain itu ... sudah lama ia tak menghubungiku."
"Mengapa sex therapy untuk Renata, tapi aku yang multi-orgasme ya?" ia tertawa waktu melepasku pulang.
.
Begitulah selama beberapa bulan aku meniduri Renata setiap malam, bila tak bisa menahan diri, aku mencari Laila, tapi sedapat mungkin melampiaskannya pada si boneka karet. Tidur dengan sekretarisku menimbulkan rasa bersalah, seolah aku selingkuh. Dan aku kuatir tumbuh perasaan di hati sahabatku itu, sebelumnya frekwensi hubungan sex tanpa ikatan tak pernah seintens ini.
"Maafkan aku, Dru," tangis Renata suatu malam.
Kami selalu berhenti di dua jari, padahal ukurannya masih lebih kecil dari yang sebenarnya.
"Jangan mengenang rasa sakit itu, fokus kepada kenikmatannya," kataku, tidak berniat menyalahkan, "apakah kau tidak merasakan nikmat? Tadi sempat menggeliat liar ...."
"Aku tidak tahu," ia menangis lagi, tak segera terlelap, menyiksaku, tak bisa lari kepada Laila.
.
[Ke kantor pakai rok lebar, tanpa CD.] instruksiku kepada Laila, pagi sebelum berangkat..
"Meeting pukul sepuluh, Pak," Kenzo mengingatkan sambil membawakan kopi, "Bapak kelihatan tidak sehat. Perlu ke dokter?"
"Tidak bisa bongkar muatan tadi malam," jawabku asal saja, frustrasi, Laila mengirim pesan, palang merah.
"Maaf Pak, mungkin tidak sopan, tapi Bapak butuh konsentrasi, untuk meeting penting nanti," katanya hati-hati.
"Ada koneksi perempuan bayaran yang mau melayani dadakan?" aku masih tidak menganggap serius omongannya.
"Kalau Bapak tidak keberatan, saya bisa membantu pelayanan oral."
Aku kaget, tidak menyangka Kenzo ....
Asisten pribadiku yang atletis dan flamboyan mengunci pintu ruangan, menyiapkan sekotak tissue dan tas kresek kecil, lalu memutar kursiku, berlutut di depanku ... aku tak sempat berpikir, lidah dan mulutnya dengan piawai memberiku kenikmatan, berbeda, tapi memang aku jarang mendapatkan oral sex sih, tahu-tahu aku menumpahkan produksi semalam ke rongga mulutnya. Dengan gesit ia membersihkanku dengan tissue, mengumpulkannya di dalam kresek, mengikatnya, dimasukkan ke kantong celana.
Kenzo berkumur dengan kopiku, membawanya keluar, tepat dengan Laila masuk membawa dokumen, "maaf Pak, saya lupa, sebentar saya buatkan kopinya lagi."
Laila memandang punggungnya curiga, hidungnya mengendus-endus udara, "tumben menyemprotkan pengharum ruangan?"
"Kenzo," sahutku mengulurkan tangan menerima dokumennya, "dia bilang ruanganku bau apek. Disemprot sekarang, kuatir tamu jam sepuluh nanti alergi terhadap pengharum."
Semoga Laila percaya.
.
Ada undangan pernikahan kerabat Papa di Singapore, l pergi bersama Papa dan Bunda Wita, tapi sekalian mengurus bisnis di sana, aku pulang belakangan, hari Rabu.
Kangen dengan Renata, tapi ia mengelak malam itu aku mencumbunya, "aku sedang tidak mood, Dru."
"Cuma peluk cium aja," bisikku.
Ia menggeleng, menepiskan tanganku, dan tidur di pojokan, menjauh sejauh-jauhnya. Aneh.
.
Aku keluar, mengirim pesan, dan mengarahkan mobil ke apartemen Laila.
[Aku menginap di tempat lain.] jawabannya masuk di kelokan terakhir.
Tak punya tujuan pasti, aku asal mampir ke sebuah hotel bintang lima terdekat, menuju bar dan memesan minuman.
"Bapak tidak bawa sopir, bahaya sekali nyetir setelah minum."
Aku menoleh, Kenzo tersenyum di sebelahku.
"Ayo, saya temani Bapak di atas, sebelum diganyang yang lain," ia membayar minumanku dan menggamitku mengikutinya masuk ke sebuah kamar.
"Bapak tak sengaja datang di bar kaum gay," katanya menuangkan anggur Chardonnay.
"Oh ya?" aku tak percaya, "aku sudah pernah ke sini."
"Acara kaum gay tidak menetap, Pak, malam ini di sini. Bapak beruntung, kencan saya batal, jadi saya bisa menyelamatkan Bapak ...."
"Bapak mungkin tidak menyadari, tapi sejak masuk, banyak mata mengincar Bapak," Kenzo tertawa.
"Apa imbalan yang kauinginkan?"
"Saya sudah lama tertarik kepada Bapak, tapi saya tak berani mendekati. Setelah insiden yang lalupun, saya tetap menjaga jarak ...."
"Udah, ngomong aja!"
"Saya ingin merasakan Bapak!"
Aku hampir menyemburkan minuman yang baru masuk ke mulutku.
"Itu kalau Bapak bersedia, saya tak akan memaksa, setidaknya, ijinkan saya membantu melepaskan ketegangan Bapak, seperti yang di kantor."
.
Setengah mabuk kubiarkan Kenzo menelanjangiku, lalu dengan mulutnya membawaku ke puncak.
Lalu, ia memasangkan kondom, mengoleskan gel ke duburnya, membimbingku melewati lorong asing.
.
bersambung
.
Surabaya, 15 Desember 2019

TRAUMA RENATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang