"Kebahagiaan sesaat dari seorang yang mengenang cinta begitu mudah tertular ke dalam hati yang gersang."
Aku memandang sendu pada sosok laki-laki tua yang duduk di bawah pohon mangga. Matanya terpejam, lengan keriputnya bersandar pada kursi kayu jati yang masih kokoh walau bantalannya sudah mulai lapuk. Tubuh kurusnya tampak nyaman bersandar pada dudukan busa. Bibirnya sesekali menyunggingkan senyum tulus yang keluar dari sanubari. Di sebelahnya, kursi tua yang sama teronggok tak berpenghuni.
Kubayangkan sepuluh atau mungkin dua puluh tahun yang lalu, sepasang insan yang saling mencintai duduk di sana. Bersenda gurau seraya menikmati semilir angin yang dihantarkan dedaunan rimbun di sekitar mereka. Sesekali sang pria memanjat pohon dan memetik beberapa buah mangga dengan warna oranye yang begitu menggugah selera. Pujaan hatinya memekik gembira sambil mengarahkan tangkai mana yang paling ranum tampaknya.
Atau mungkin, di sana tempat raga mereka bertemu untuk pertama kalinya. Tanpa sengaja, mereka berpapasan saat menuju tempat bekerja. Belum saling kenal, cukup ragu untuk menyapa. Namun, keberanian yang muncul segera disambut dengan satu kata sapa. Mereka pun saling bertutur kata.
Ah, semua itu hanya bayanganku belaka.
Ingatanku tertuju pada sosok Kakek Frederick di film kartun berjudul Up. Begitu cintanya sang kakek pada mendiang istrinya, hingga ia berkelana menggunakan rumah yang sudah dipasangi ribuan balon menuju destinasi impian mereka semasa muda. Namun sayang, saat ia bisa meraih impian, tak ada lagi sang pujaan hati menemaninya.
Satu lagi kisah yang tiba-tiba berkelebat adalah tentang kakek tua Charlie dan cinta sejatinya Grace di novel Love, Stargirl yang pernah kubaca. Setiap hari, Charlie selalu datang ke makam Grace yang telah mendahuluinya. Hingga nisan di sebelahnya sudah diberi nama, kecuali tanggal kematiannya. Grace dan Charlie, sehidup semati, begitu tulisannya.
Semua begitu indah. Hingga menimbulkan satu tanda tanya besar di hatiku yang hampa. Apa benar ada seorang yang mencintai orang lain sedemikian hebatnya?
Kalau ada, mungkin aku tak akan pernah menemukannya.
Bunyi tumbukan antara buah mangga dan tanah mengejutkan kami. Pria itu membuka mata seketika sedangkan aku segera membuang muka. Aku tak ingin dia memergokiku sedang melihatnya sedemikian rupa. Bukan menganggapnya akan berpikiran macam-macam, hanya saja menurutku tidak sopan memandangi seorang tua yang sedang terbuai dalam nostalgia.
"Kintana, coba ke sini!" panggil pria tua itu, membuatku yang sedang memungut buah jatuh berpaling padanya.
Aku mengangguk dan memenuhi panggilannya. Merasa tak pantas duduk di singgasana ratunya, aku hanya berdiri sambil mencondongkan sedikit badan ke depan.
"Iya, Pak? Ada yang bisa dibantu?"
Pria tua itu tersenyum seraya membelai sandaran kursi di sebelahnya. "Bu Ningsih mau bilang terima kasih sama kamu, sudah bantu ngurusin saya." Ia beralih pada kursi kosong di sebelahnya. "Iya, kan, Bu? Dia baik dan manis. Andai dia jadi anak kita, Bu."
Desau angin membelai tengkukku lembut, menegakkan bulu kuduk hingga berdiri. Aku mengusap leher belakangku pelan seraya meringis, bingung antara harus tersenyum atau merinding.
"Sama-sama, Ibu Ningsih. Semoga Pak Harjanto lekas sembuh ya, Bu," ucapku pelan, mengusir pikiran konyol yang sempat bersemayam. Tenang. Ini kisah cinta, bukan cerita horor. Pak Harjanto hanya merasakan kehadiran Bu Ningsih sebagai pasangan sehidup sematinya, bukan berarti dia benar-benar ada dalam wujud yang tak terduga.
Hilangnya binar mata Pak Harjanto seolah menimbulkan awan kelabu yang bergelayut di atas kepalanya. "Kalau Tuhan mengizinkan, saya tidak ingin sembuh."
KAMU SEDANG MEMBACA
One Stop Loving [END]
RomancePengumuman: Cerita akan diunpublish Jumat, 5 April 2024, pukul 06.00 karena sedang diajukan untuk proses penerbitan. --- Apa yang kau pikirkan tentangku jika mengetahui bahwa aku adalah gadis yang terpaksa tinggal di rumah seorang pria tua kaya? Wan...