"Rasa malu menyergap, menyadari bahwa selama ini aku berusaha mengatasi masalahku sendiri, padahal aku memiliki Tuhan Semesta Alam yang Maha Pemurah."
Aku meringkuk di sudut ruangan yang dibatasi jeruji besi. Udara dingin memerangkap kulitku yang hanya terbalut kaos dan celana pendek selutut, bekas siang tadi. Lantai putih yang menjadi alas terasa beribu kali lebih keras, mungkin efek menanggung beban dosa penghuninya yang silih berganti.
Seorang wanita berambut keriting dan bertato yang tidur telentang di sebelahku mendengkur keras. Berbeda dengan penghuni sel satunya yang sedang duduk bersimpuh di atas sajadah, lengkap mengenakan mukena putih yang sudah pudar. Dia memperkenalkan diri saat aku datang dan membuatku merasa sedikit diterima di lingkungan yang tak pernah ingin aku datangi ini.
Jiwa ragaku terasa begitu lelah dan penat. Otakku masih tak dapat mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Rasanya hidupku diombang-ambing seperti naik roller coaster. Kebahagiaan yang kudapat saat kedatangan Rezvan seketika dihempas oleh penangkapan kasus pembunuhan. Sepertinya, hukuman untuk dosa apa yang entah kulakukan belum berakhir, malah semakin menginjakku hingga mungkin aku tak akan sanggup lagi.
Perih. Luka di hatiku semakin bertambah luas. Rasanya seperti direndam dalam cairan asam dengan pH terendah. Tubuhku seolah mengkerut, seperti terjadi aliran osmosis yang mengeluarkan seluruh cairan di badanku hingga tersisa ampas ringkih tak berbentuk. Rasanya begitu sakit, hingga mataku terlalu lelah memeras air mata yang terus membanjiri pipi. Aku tergugu, tak bisa berhenti menumpahkan sesak menjadi isak. Mengapa semua jadi seperti ini? Aku ... aku kali ini benar-benar ingin mati.
Kurasakan sentuhan dingin di tanganku yang terlipat mengurung lutut. Aku mendongak dan dari balik bayangan air mata, kulihat wanita bermukena putih dengan sedikit keriput menghiasi wajahnya telah duduk di hadapanku.
"Hei, sudah. Jangan nangis terus," ucapnya lembut, kurasa mencoba menghiburku. "Coba tarik napas dalam, terus embuskan pelan-pelan. Biar kamu lega."
Aku ingin tertawa miris. Biasanya aku yang menyuruh pasien begitu, sekarang aku sendiri tak ingat untuk melakukannya.
"Waktu pertama saya masuk sini, saya juga nangis terus kayak kamu, kok. Sampai seluruh badan saya lemas dan sakit. Terus saya coba ambil napas panjang, kemudian ingat untuk salat dan berdoa, minta pertolongan sama Allah. Alhamdulillah, sekarang jadi lebih tenang. Kamu mau coba?" ceritanya panjang lebar tanpa diminta.
Aku mengusap air mata dengan kasar, kemudian menatapnya tajam. Wanita paruh baya itu tersenyum seraya melepas mukenanya. Kepalanya terbalut jilbab sekali pakai dan dia menyerahkan kain putih itu padaku. Tubuhku terasa kaku untuk bergerak, hanya mampu menatapnya nanar.
"Saya nggak melakukannya, Bu. Mana mungkin saya bunuh orang? Bunuh binatang aja saya sering nggak tega!" pekikku tanpa sadar meluapkan amarah yang sejak tadi terpendam.
"Heh! Berisik banget! Gua ngantuk, Bego!" bentak wanita bertato melotot, kemudian menggelundungkan badan gempalnya ke sudut lain ruangan. Ia mengusap liur yang menetes di sudut bibirnya, kemudian kembali mendengkur keras.
Aku dan wanita di depanku saling berpandangan. Dia menggeleng-gelengkan kepala, kemudian menjulurkan tangan dan mengusap pundakku lembut.
"Udah, biarin aja. Dia memang gitu sejak saya datang," ujarnya menenangkan. Dia kembali menatapku serius. "Buat masalah kamu, saya cuma bisa bilang sabar, ya. Allah Maha Melihat. Kalau kamu memang nggak ngelakuin itu, semoga Allah membukakan fakta yang sebenarnya," ucapnya dengan suara yang terdengar seperti bisikan.
"Tapi gimana? Nggak ada yang percaya sama saya. Polisi, bahkan keluargaku sendiri," racauku tertahan pada orang asing ini, disertai tangis yang kembali pecah. Entahlah. Aku tak peduli. Aku hanya ingin menumpahkan sesak yang sejak tadi kupendam sendiri. Beruntung si wanita tato dan kembali terbangun dan meneriaki kami.
"Saya percaya, Allah selalu punya jalan keluar untuk setiap permasalahan hamba-Nya. Asalkan kita sebagai hamba, mau bersujud meminta pertolongan-Nya. Coba aduin semua yang kamu alamin sama Allah. Mohon petunjuk-Nya, bersimpuh di hadapan-Nya. Kalaupun nggak dibukakan jalan sekarang, paling nggak, hati kita lebih tenang."
Aku menunduk, meresapi semua perkataannya. Tentu sulit menerima nasehat dari orang yang bahkan baru kulihat wajahnya beberapa jam lalu. Tetapi, saat ini memang tak ada yang bisa kulakukan selain mengikuti anjurannya. Tak ada salahnya mencoba. Mungkin benar katanya, selama ini aku memang jauh dari Sang Maha Pencipta. Ya Allah, apakah memang ini hukuman yang pantas aku terima karena tak jua beribadah dan berserah diri pada-Mu?
Setelah menarik napas panjang, aku kembali menatap wanita dihadapanku—yang bahkan belum kutahu namanya. Wajahnya begitu teduh, tidak seperti tipikal penghuni penjara lainnya. Dia tersenyum, membuatku memberanikan diri berucap. "Ibu sendiri, gimana bisa ada di sini?"
Seketika ekspresinya berubah muram. Ia membuang muka, menatap tembok sebelah. "Saya ... saya sudah melakukan tindakan bodoh. Kesalahan yang saya sadari, sangat konyol sampai bikin saya dipenjara."
"Maksudnya? Jadi Ibu sebenarnya nggak bersalah?"
Dia menggeleng-gelengkan kepala berkali-kali. "Nggak, saya sadar saya salah. Saya nggak bisa nahan jari saya untuk share postingan hoax di medsos. Nggak cross check dulu kebenarannya. Jadi begini akibatnya. Dan saya menyesal," jelasnya murung.
"Oh, maaf," ujarku menutup mulut. Entah mengapa aku setuju dengannya. Kesalahan yang sangat konyol untuk membuat seseorang mendekam di balik jeruji besi.
"Nggak apa-apa." Wanita itu kembali tersenyum. "Mungkin ini cara Allah negur saya, supaya berhati-hati dalam berbicara, dalam hal ini berperilaku di dunia maya. Saya akui akhir-akhir ini saya memang sering terpancing isu panas, yang sebenarnya bukan kapasitas saya untuk komentar. Kadang saya komen jelek pada postingan orang yang nggak sepemikiran sama saya. Bahkan saya sering berkata kasar, hanya untuk membenarkan keyakinan semu pada hal-hal yang bukan urusan saya. Komen tentang artis, politik, agama. Astaghfirullah...."
Dia mengelus dadanya seraya memejamkan mata. Sebagai orang yang jarang aktif di media sosial, aku sebenarnya tak begitu memahami perasaannya. Tapi melihat kasus ini, ternyata baru kusadari bahwa dunia maya tak kalah kejam dari dunia nyata. Dan aku merasa seperti manusia gua yang tak tahu perkembangan dunia.
"Saya ikut sedih, Bu. Semoga masalahnya cepat selesai," ucapku sok bijak, padahal masalahku sendiri jauh lebih berat.
"Aamiin. Kamu juga, ya. Kalau memang bukan kamu pelakunya, semoga Allah segera mengganjar pembunuh aslinya biar kamu bebas dari penjara."
Bibirku menggumamkan kata 'aamiin' dengan lirih. Wanita itu kembali menyodorkan mukenanya dan dengan ragu kuterima. Aku pernah belajar salat sampai SMA, dan sepertinya banyak gerakan yang aku lupa. Walau malu, kuutarakan masalahku hingga wanita itu, yang akhirnya kuketahui ternyata seorang guru bernama Tuti, dengan sukarela mengajarkanku.
Seusai salat, aku bermunajat kepada Allah, Tuhan yang selama ini terasa amat jauh dari hatiku. Aku memohon ampunan, karena sudah melalaikan kewajibanku beribadah padanya, serta dosa yang selama ini kuperbuat. Tangisku pecah dalam isak, mengeluarkan sesak yang terasa sangat membuat muak. Rasa malu menyergap, menyadari bahwa selama ini aku berusaha mengatasi masalahku sendiri, padahal aku memiliki Tuhan Semesta Alam yang Maha Pemurah. Seharusnya sejak awal aku berserah, memohon pertolongan dan perlindungan dari segala marabahaya. Tapi mungkin inilah saatnya. Saat aku harus bertobat dan bernaung dalam kuasa-Nya.
Aku melakukan teknik relaksasi napas dalam beberapa siklus seraya melantunkan dzikir dalam hati. Benar kata Bu Tuti, hatiku terasa sedikit lebih longgar, seperti baju kekecilan yang sudah dibesarkan. Kuseka air mata yang menggenang, seiring jiwaku yang perlahan mulai tenang.
Suara dentingan kerasmembuyarkan kekhusukanku. Aku menengadah dan seorang polisi wanita berbadan tinggi dan besar membuka gembok penjara tempatku. Pandangannya beredar, menatap tajam pada wajah yang seperti penuh dosa di matanya. Teriakannya mampu membuat penghuni rumah tahanan terjaga seketika.
"Kintana! Mana yang namanya Kintana? Ada yang mau ketemu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
One Stop Loving [END]
RomancePengumuman: Cerita akan diunpublish Jumat, 5 April 2024, pukul 06.00 karena sedang diajukan untuk proses penerbitan. --- Apa yang kau pikirkan tentangku jika mengetahui bahwa aku adalah gadis yang terpaksa tinggal di rumah seorang pria tua kaya? Wan...